Jika bukan cinta, lalu apa arti ciuman itu? apakah dirinya hanya sebuah kelinci percobaan?
Jelas-jelas Satya menyayangi Hanin hingga pernah menciumnya, tapi setelah suatu kebenaran terungkap dia justru menghindar dan menjauh.
Satya berubah menjadi sosok kakak yang dingin dan acuh, bahkan memutuskan meninggalkan Hanin.
Apakah Hanin akan menyerah dengan cintanya yang tak berbalas dan memilih laki-laki lain?
Ataukah lebih mengalah dengan mempertahankan hubungan persaudaraan mereka selama ini asalkan tetap bersama dengan Satya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dwi Asti A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dijodohkan
Melihat masalah yang semakin memburuk dan berimbas pada perusahaan papanya, Hanin merasa semakin yakin untuk melanjutkan niatnya membuat Satya memiliki pacar.
Hanin kemudian membicarakan niatnya itu dengan Rio dan Zaki ketika Satya sedang berada di toilet.
“Jadi rencana kalian apa?” tanya Hanin.
“Memasang pengumuman,” usul Rio.
“Membuat poster, membuat pengumuman, itu terkesan seakan Satya tidak bisa menarik perhatian perempuan, Rio,” protes Zaki.
“Bagaimana kalau kita langsung datangi kandidatnya saja. Kita tanyakan kesediaannya baru kita bawa untuk Satya pilih,” ujar Zaki.
“Itu bagus juga.” Hanin setuju. “Bagaimana kalau Kak Satya menolak?” tanya Hanin mendadak berubah ragu.
“Itu tugasmu Hanin, untuk meyakinkan kakakmu.”
“Baiklah, aku setuju.”
“Kalau begitu kita urus calonnya, setelah dapat kita kabari tempat pertemuannya, kau harus bisa bawa Satya ke sana nanti.”
“Oke.”
“Ada apa ini? Pertemuan apa?” tanya Satya tiba-tiba sudah berdiri di tempat itu. Rio, Zaki dan Hanin kaget.
“Zaki ulang tahun, dia ingin traktir kita makan, Kak,” jawab Hanin. Mendengar jawaban itu Zaki memelototi Hanin.
“Bagus, kapan?” tanya Satya.
“Besok sore,” jawab Rio cepat-cepat sebelum Zaki menyelanya. “Tempatnya di kafe ...,”
“Rumah Makan Selera, jam 4 sore.” Kali ini Zaki yang menentukan. Dia tidak mau nantinya dirinya yang disuruh bayar, makanya dia mencari tempat yang agak miring harganya.
•••
Esok harinya di rumah makan, semuanya sudah berkumpul. Satya tak merasa curiga sedikit pun dengan acara tersebut, dia benar-benar berpikir itu adalah ulang tahun Zaki.
“Selama ini kau tidak pernah membuat acara seperti ini, Zaki, ini tumben,” celetuk Satya.
“Benar, aku memang tidak suka, tapi ...,”
“Sekali-sekali tidak apa-apa kan menyenangkan teman,” sela Rio. Zaki hanya mendengus.
Tak berapa lama datang beberapa gadis berjalan menghampiri meja mereka. Ada sekitar tujuh orang dan penampilan mereka tak biasanya, mereka berpakaian menarik bahkan ada yang sedikit terbuka.
“Kau mengundang mereka juga?” tanya Satya.
“Iya benar, aku juga mau meminta tolong padamu Satya, untuk memilihkan satu untukku jadi pacar,” jawab Zaki terbata.
Satya menyunggingkan bibirnya tak percaya Zaki minta dicarikannya pacar.
“Kau serius?” Satya masih dengan senyum tak percaya.
“Serius, kau pilihkan mana yang menurutmu paling menarik, kau pasti lebih paham.”
“Aku rasa sebaiknya kau pilih sendiri, Za, akan lebih sesuai dengan hatimu.”
“Justru itu salahnya, aku selalu memilih dengan hati, akhirnya tak pernah berakhir baik,” keluh Zaki.
“Sudah, pilihkan saja, Zaki sudah kebelet ingin punya pacar.”
“Iya, Kak, tapi jangan asal pilih ya,” bisik Hanin.
Satya terlihat masih berpikir lama, dia paling malas saat berurusan dengan perempuan. Tak heran selama ini dia dianggap cowok dingin, dan kali ini dianggap tidak punya selera pada wanita.
Berhubung hari itu Zaki berulang tahun Satya pun menyetujuinya. Dia mengamati ke tujuh gadis itu dalam waktu singkat lalu menunjuk Salah satu di antara mereka. Reaksi gadis itu sangat berlebihan, dia melompat girang lalu berlari dengan cepat ke arah Satya, tiba-tiba langsung ingin memeluk Satya. Namun, dengan cepat Satya menahan gadis itu untuk mendekat.
“Kenapa mau memelukku? Kalau mau peluk, peluk saja itu Zaki, dia yang sebentar lagi menjadi pacarmu,” kata Satya.
“Siapa bilang, aku datang untuk Kakak, karena acara perjodohan ini diadakan untuk menjadi pacar Kak Satya.”
Mendengar jawaban gadis itu Satya seketika memandang pada kedua temannya dan juga Hanin dengan tatapan muram. Pancaran matanya dipenuhi kemarahan. Ketiganya hanya bisa pasrah karena tujuan mereka sebenarnya akhirnya terbongkar.
“Siapa yang membuat ide ini?” tanya Satya.
Hanin, Rio dan Zaki, mereka saling menunjuk. Satya dibuat kecewa ternyata mereka bertiga sudah menjebaknya dan merencanakan semua itu. Satya beranjak siap meninggalkan tempat itu.
“Sorry, Satya, tapi kami melakukan semua ini karena kami peduli denganmu. Kami tidak suka orang-orang menganggapmu seperti itu.” Zaki berusaha menjelaskan.
“Benar, setidaknya cobalah terlebih dahulu,” kata Rio.
“Aku tidak peduli dengan anggapan orang padaku, asal kalian tahu aku juga tidak suka coba-coba,” balas Satya dingin lalu melanjutkan langkahnya.
“Kak,” cegah Hanin. “Kali ini Kakak tidak bisa egois, kita melakukan semua ini bukan hanya untuk kepentingan Kak saja, tapi juga menolong perusahaan papa,” jelas Hanin, mengingatkan imbas dari isu itu.
Satya Menghentikan langkahnya. Dia ingat sudah berjanji dengan papanya akan mengurus masalah itu.
“Tidak semudah itu untuk meyakinkan pandangan orang yang sudah berpikir negatif, Hani. Meskipun aku memiliki pacar mereka tetap akan mengira aku melakukan semua ini hanya untuk menutupi dan membersihkan nama baik. Mereka tetap akan menganggap diriku seperti sebelumnya.”
“Coba dulu, Kak,” bujuk Hanin.
“Aku tidak bisa,” jawab Satya tegas. Kali ini dia tidak bisa dicegah lagi, pergi meninggalkan tempat itu begitu saja. Hanin sampai berlari mengejarnya hingga mereka tiba di tempat parkir.
Satya sudah berada di atas motornya, mengenakan helm. Hanin masih berusaha membujuknya.
“Pikirkan lagi, Kak. Kasihan teman-teman, mereka serius membantu kakak. Lagi pula ini cuma pacaran bukan menikah,” ujar Hanin dengan sikap manja.
Mendengar bujukan Hanin, Satya semakin tidak senang.
“Naik!” perintah Satya.
“Jawab dulu, mau tidak?” Hanin masih kekeh membujuk Satya.
“Kalau tidak segera naik, kakak tinggal.”
Perintah memaksa itu benar-benar membuat Hanin tidak bisa melawan. Dia tidak punya pilihan lain, selain mengikuti perintah Satya.
Di sepanjang jalan mereka diam. Sama-sama kesal hingga tak ada pembicaraan. Penolakan Satya hari itu untuk memilih salah satu gadis justru semakin membuat Hanin curiga kakaknya benar-benar seperti yang dituduhkan orang-orang. Tiba-tiba saja pikiran Hanin membayangkan saat Satya berpacaran dengan laki-laki.
“Menjijikkan,” gumam Hanin, terlalu dalam menghayati imajinasinya.
“Siapa yang kau bilang menjijikkan?” tanya Satya, jelas ucapan Hanin begitu dekat di telinganya.
“Bukan apa-apa,” jawab Hanin ketus.
••
Saat berada di rumah, Hanin masih mondar-mandir di dalam kamarnya, memikirkan cara lainnya. Sayangnya dia tak menemukan jalan keluarnya. Dia juga menghubungi Rio dan Zaki, mereka pun belum mendapatkan ide lain.
“Bagaimana keadaan di perusahaan, Pah?” tanya Satya ketika mereka berkumpul di ruang keluarga.
“Masih tidak baik,” jawab Elvan. Raut wajahnya tampak murung.
“Apa yang akan papa lakukan untuk bisa mengembalikan situasi? Sampai saat ini aku belum menemukan caranya. Aku pikir keadaan ini akan mereda dengan sendirinya.”
“Tidak semudah itu.”
“Hani punya usul, Pah.” Hanin tiba-tiba datang menyela, lalu duduk di dekat Elvan.
“Usul apa? coba kau katakan,” balas Elvan.
“Cukup, Hani! Idemu itu sampai kapan pun kakak tidak akan menyetujuinya.” Satya menyela, dia tahu ide yang akan diungkapkan Hanin.
“Tapi papa pasti menyetujuinya kali ini,” ucap Hanin penuh percaya diri.
Elvan semakin dibuat penasaran ide apa yang ingin Hanin utarakan.
“Kalau begitu katakan, papa akan mempertimbangkannya jika itu masuk akal.”
“Jangan didengar, Pah. Hanin itu idenya tidak pernah benar.”
“Satya, diam!” pinta Elvan.
Setelah diberi kesempatan untuk bicara Hanin mulai menyampaikan pendapatnya.
“Jadi, menurut Hani dan teman-teman, cara yang pas hanya dengan mencarikan pacar untuk Kak Satya.”
“Pacar?” Miranda datang menyela dengan kaget. “Siapa yang punya pacar?” tanya Miranda. Memandang satu persatu kedua putranya. Dia terlihat tak suka mendengar kata-kata itu.
“Hani mengusulkan Satya untuk cari pacar Ma, biar tidak lagi ada yang menuduh seperti yang ada di berita itu,” jelas Elvan.
“Itu bukan usul yang baik, Pah, Papa tahu sendiri kan kenapa?”
Elvan terdiam beberapa saat membuat semua orang bertanya-tanya. Dia kemudian mengajak Miranda meninggalkan ruangan itu dan berbicara di ruangan lain hanya berdua.
Satya berubah tegang, dia khawatir kedua orang tuanya setuju dengan usulan itu. Jika memang itu terjadi apa yang harus dia lakukan. Semua itu memang untuk kepentingan perusahaan, sedangkan dia tak pernah memikirkan hal itu.
Satya bisa melihat kedua orang tuanya berbicara serius. Wajah Hanin pun tampak berseri-seri merasa idenya kali ini akan berhasil.
Tak berapa lama Miranda dan Elvan kembali lagi ke ruang keluarga. Raut wajah Miranda terlihat tak senang juga cemas.
“Jadi sebenarnya ide yang Hanin katakan juga sempat diusulkan beberapa rekan bisnis papa di perusahaan. Bahkan salah satu teman papa sudah mengusulkan putrinya untuk dikenalkan dengan Satya.”
“Apa??” Satya dan Hanin kompak terkejut mendengar ucapan Elvan.
“Papa berniat menjodohkan Satya dengan anak teman papa?” tanya Satya.
“Bukan dijodohkan, Satya, tapi hanya dikenalkan. Soal lanjut atau tidaknya itu urusan nanti, lagi pula mereka tahu kau masih sekolah.”