"Apakah kamu sudah menikah?" tanya Wira, teman satu kantor Binar. Seketika pertanyaan itu membuatnya terdiam beberapa saat. Di sana ada suaminya, Tama. Tama hanya terdiam sambil menikmati minumannya.
"Suamiku sudah meninggal," jawab Binar dengan santainya. Seketika Tama menatap lurus ke arah Binar. Tidak menyangka jika wanita itu akan mengatakan hal demikian, tapi tidak ada protes darinya. Dia tetap tenang meskipun dinyatakan meninggal oleh Binar, yang masih berstatus istrinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Me Akikaze, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ungkapan Hati
"Binar...sejak pertama kali Tama bercerita tentang kamu, Mama meragukan kamu,"
Binar sedang mencuci piring bekas sarapan mereka, Tama sudah berangkat ke kantor. Kalimat itu kembali membuat luka di hatinya. Binar masih sibuk mengusap piring dengan busa bersabun. Sambil menunggu kalimat kejutan lainnya.
"Sama seperti halnya keluargamu, saya juga sebenarnya keberatan dengan hubungan kalian,"
Binar mematikan kran air, semua piring kotor sudah tercuci dan tersimpan di rak basah. Binar mengeringkan kedua tangannya dengan lap yang menempel di atas kran. Binar menatap Ibu mertuanya, tanpa mengeluarkan sepatah katapun.
"Saya kesini ingin memastikan jika Tama bisa menjalani kehidupannya dengan baik,"
"Apakah Mama melihat mas Tama tidak baik?"
Wanita itu menyedekapkan kedua tangan lalu menatap Binar, menantunya. "Binar...harusnya Tama bisa menikah dengan orang yang lebih daripada kamu,"
"Maaf ma, kenapa baru sekarang aku mendengar ini semua?" Binar masih menatap mama mertuanya dengan tatapan datar, dia mampu mengelola emosinya dengan baik.
"Binar, saya tidak suka dengan mantu yang hanya berpangku tangan saja di rumah, tanpa membantu suaminya bekerja, kerjaan hanya menghabiskan uang suami saja, dan lagi, ini sudah satu tahun kenapa kalian tidak bergegas ingin punya anak...atau jangan-jangan kamu tidak ingin punya anak?" kalimat demi kalimat yang intinya sama dengan semalam kembali terdengar. Binar yang sudah terlatih sejak tadi malam pun mampu menguasai dirinya.
Binar menghela nafas panjang.
"Lalu mama maunya bagaimana? Mas Tama baik-baik saja di sini, aku juga bisa melayani mas Tama. Jika mama merasa keberatan kenapa aku nggak kerja, mama bisa nanya ke mas Tama langsung. Dan untuk kenapa sampai saat ini kita belum memiliki anak...itu...." Binar tidak melanjutkan kalimatnya.
"Inilah yang aku maksud, ini....dari nada bicaramu, kamu sombong. Hanya awal saja kelihatan bagus.
"Ma, tidak ada angin, tidak ada hujan, kenapa Mama seperti ini? mohon maaf ya, ini saya tidak mengurangi rasa hormatku ke mama" Binar mengepalkan kedua tangannya, matanya menatap Ibu mertuanya tegas.
"Karena kamu tidak sepadan dengan Tama, dan sekarang baru terasa,"
Binar masuk ke dalam kamarnya, menghela nafas panjang, memegang kepalanya dengan kedua tangannya. Tadi saat sarapan semua baik-baik saja, Binar pun sudah melupakan kejadian semalam. Tapi sesaat setelah Tama berangkat kerja, ibu mertuanya semakin menjadi.
Binar tidak habis pikir, ibu mertua yang dulu baik bisa berubah julid seperti ini. Mengatakan dia tidak sepadan dengan Tama. Iya, diakui, keluarganya tidak sekaya Tama. Binar mengambil ponselnya, hendak menghubungi suaminya. Namun urung, Binar sadar jika keadaan Tama juga berbeda dari sebelumnya. Binar merasa sendiri, merasa tidak ada yang berpihak padanya, bahkan suaminya.
***
Selama mamanya berada di rumah, Tama menjadi jarang lembur. Ada rasa senang yang dirasakan oleh Binar karena suaminya bisa makan malam di rumah.
"Kita harus bicara mas," Binar menatap suaminya lekat.
"Ada apa? mama?"
Binar terdiam sesaat, dia menundukkan pandangannya, bersiap menyusun barisan kalimat yang mengganggunya. Binar mengangguk perlahan.
"Ada apa dengan mama?" Tama memperjelas pertanyaannya.
"Mama menanyakan perihal cucu," jawab Binar.
"Udah biarin aja, lagian ngapain mikirin omongan Mama" Tama mengibaskan tangannya. Binar menghela nafas, respon yang dia inginkan bukanlah respon yang seperti ini.
"Mas," Binar mencegah Tama dengan memanggilnya saat laki-laki itu hendak keluar kamar. "Kita perlu bicara" Binar menegaskan. Tama menghentikan langkahnya dan melihat ke arah Binar.
"Kenapa mas Tama akhir-akhir ini berubah sekali? ada apa mas?" tanya Binar terus terang, dia sudah tidak tahan dengan perubahan drastis suaminya. "Apa aku menjadi beban hidupmu? ok aku bisa kerja kok mas, atau ada sesuatu yang kamu sembunyikan dariku, mas?" Binar memberanikan diri mengatakan demikian.
Tama melangkah mendekat ke arah Binar, lalu menatapnya tegas.
"Kamu mencurigaiku, Binar?"
Binar melangkah ke arah laci mejanya, mengambil sesuatu. Sebuah nota dari toko perhiasan yang baru dibeli sekitar dua minggu yang lalu.
"Ini" Binar menunjukkan nota tersebut hanya berjarak beberapa centi dari wajah Tama. Tama masih nampak tenang menganggapinya. Hal bodoh yang dia lakukan adalah tidak menyimpan nota tersebut dan malah ketahuan oleh Binar.
"Siapa yang kamu kasih perhiasan ini? bukan mama kan?" Binar menegaskan. Tidak ada jawaban yang meluncur dari bibir laki-laki itu. "Mas Tama nggak bisa menjelaskan?"
Binar mencelos, membuang mukanya dari pandangan ke arah laki-laki itu. Matanya menatap ke arah jendela, dilihatnya ibu mertuanya sedang duduk di taman samping rumah.
"Aku hafal sifat dan sikap kamu mas, aku kenal kamu tidak hanya satu atau dua tahun, dan kamu tidak bisa menjelaskan ini. Dan apakah memang benar apa yang dikatakan oleh Mama kamu kalau aku memang tidak sepadan dengan kamu mas?"
"Apa ada perempuan lain mas? tanya Binar dengan nada hati-hati tapi pasti, matanya menatap lelakinya, menunggu respon yang muncul. Dalam hati yang paling dalam, dia amat ketakutan meluncurkan pertanyaan itu, namun harus dia lakukan.
"Kamu bicara apa? jangan ngaco," Tama mengambil nota tersebut dari tangan Binar. "Kamu tahu ini? tapi kamu juga harus tahu dengan pertemananku di kantor"
"Tapi aku tidak pernah tahu mas dengan circle kamu di sana, karena aku adalah istri rumahan yang tidak tahu-menahu tentang kehidupan kamu di luar sana,"
"Binaar....ini punya temenku Bi...percaya deh," Tama menatap Binar lekat, mencoba meyakinkan istrinya. "Kebetulan istrinya mau ulang tahun, hampir bareng dengan kamu, dia nggak sempet beli, nah kebetulan aku beliin kamu kan...jadi sekalian. Buanglah jauh-jauh pikiran burukmu," Tama menghela nafas panjang.
Binar menatap suaminya dengan tatapan jengah, antara harus percaya dengan penjelasan Tama atau harus mempercayai kecurigaannya.
"Aku mau kerja lagi, Mas" Binar duduk di tepi ranjang, kembali menunggu respon suaminya.
"Tiba-tiba sekali"
"Bukan tiba-tiba, tapi kata Mama aku terlalu duduk manis di rumah, meskipun aku tidak suka menghamburkan uangmu, aku ingin kerja" Binar kekeh.
Tama menghela nafas, diakuinya kehidupan rumah tangganya beberapa bulan ini terasa hambar, berantakan, dan mengabaikan istrinya. Dia menyadari akan hal itu, tapi dia juga bingung dengan perasaannya dan apa yang harus dia lakukan.
Menjelang tengah malam, Binar membuka laptop dan mencari lowongan pekerjaan di internet. Tekadnya sudah bulat, dia ingin kembali bekerja, ingin menunjukkan kepada Ibu mertuanya jika dia mampu, dia bisa memenuhi apa yang diinginkan. Bukan hanya sekedar menghamburkan uang suaminya.