“Papa bukan koruptor, Dewa!” suara Elsa pecah, matanya sembab, tubuhnya masih terkulai lemah di ranjang rumah sakit. “Kau tahu sendiri, Papa tak pernah hidup berlebihan. Semua ini jebakan, aku yakin.” Dewa berdiri di sisi ranjang, jas mahalnya kontras dengan wajah dingin yang nyaris tanpa ekspresi. “Elsa, media sudah memberitakan. Bukti aliran dana itu ada. Aku tidak bisa membela sesuatu yang jelas-jelas mencoreng nama keluarga.” “Jadi kau lebih percaya berita daripada aku?” Elsa menatapnya tak percaya. “Aku baru melahirkan anakmu, Dewa! Anak kita! Bagaimana bisa kau memilih pergi di saat seperti ini?” Dewa menarik napas panjang, suaranya datar, seperti sudah bulat dengan keputusannya. “Aku sudah menandatangani surat cerai. Dan Lily… aku akan membawanya bersamaku. Julia akan membantuku merawatnya.” Air mata Elsa langsung pecah. “Julia? Sahabatku sendiri?” Suaranya bergetar, penuh luka. “Kau… kalian… tega sekali.” Dewa tidak menjawab. Ia hanya menoleh sebentar, seolah ada sedikit rasa bersalah, lalu melangkah pergi. Suara pintu menutup menjadi tanda perpisahan yang paling menyakitkan. Elsa menjerit, mencoba bangkit, tapi jahitan di perutnya membuatnya tersungkur. Tangannya terulur, seakan masih bisa menggenggam bayinya yang sudah dibawa pergi. “Lily… jangan bawa anakku!” Namun dunia tetap saja kejam. Tidak ada yang berbalik. Tidak ada yang mendengar. Hanya isakannya yang menggema, memenuhi ruangan sunyi yang baru saja ia isi dengan kehidupan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shinta Aryanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Langkah Adam Demi Elsa…
Suara ketukan halus di pintu ruang kerja Adam terdengar bersamaan dengan denting jarum jam yang menandai pukul sebelas siang. Di luar, suasana kementerian masih sibuk, orang berlalu-lalang, telepon berdering, suara sepatu mengetuk lantai marmer berulang. Tapi di dalam ruangan Adam, suasana tenang dan tertutup rapat. Lampu gantung menerangi meja besar dari kayu jati dengan rapi: tumpukan berkas, laptop terbuka, dan setengah cangkir kopi yang sudah dingin.
“Masuk,” suara Adam datar, tanpa menoleh dari layar laptopnya.
Arman melangkah masuk, menutup pintu perlahan. “Bapak memanggil saya?”
Adam menatapnya beberapa detik, kemudian menyandarkan punggung di kursi. “Duduk dulu, Man.”
Nada itu berbeda. Tidak seperti biasanya saat mereka bicara soal rapat atau proyek kementerian. Arman menelan ludah, lalu duduk hati-hati di kursi seberang. Ia mengira Adam akan membahas tentang dirinya dan Sandra karena kejadian tadi pagi.
Adam menghela napas panjang sebelum berbicara lagi. “Saya mau kamu atur sesuatu. Saya ingin menemui seseorang di lapas.”
Arman mengernyit. “Siapa, Pak?”
“Pak Hadi.”
Arman langsung menegang. “Ayahnya… Bu Elsa?”
Adam menatapnya sekilas, singkat tapi tajam. “Ya.”
Arman buru-buru menunduk. “Kalau boleh saya tahu, apa tujuannya, Pak?”
“Ada yang harus saya tanyakan langsung padanya. Tentang kasusnya.”
Arman menghela napas berat. “Pak… maaf saya bicara terus terang. Kalau Bapak sampai ketahuan menemui seorang tahanan kasus korupsi, apalagi yang namanya sudah viral di media, dampaknya bisa besar. Banyak yang sedang mengincar Bapak. Satu foto saja bisa diolah jadi isu besar. Ini berisiko.”
“Justru karena itu saya minta kamu yang atur, supaya tidak ada yang tahu,” jawab Adam tenang, tapi matanya dingin.
Arman masih mencoba bertahan. “Tapi, Pak… wartawan sekarang seperti serigala. Mereka bisa mencium berita bahkan dari bayangan. Kalau sampai… “
“Saya tahu risikonya,” potong Adam. “Dan saya tahu siapa yang bisa saya percaya.”
Kalimat itu tajam tapi juga memberi tekanan halus. Arman terdiam. Ia tahu, ketika Adam berbicara dengan nada seperti itu, tidak ada ruang untuk negosiasi.
“Baik, Pak,” katanya akhirnya, suaranya pelan. “Saya akan coba hubungi beberapa orang yang bisa bantu. Tapi ini butuh waktu, setidaknya beberapa jam untuk memastikan semuanya bersih.”
“Lakukan hari ini,” kata Adam sambil menutup laptop. “Sebelum sore.”
Arman menatap Adam lama, lalu mengangguk. “Baik, Pak.”
Setelah Arman keluar, Adam menatap cangkir kopinya yang kini benar-benar dingin. Ia meneguk sedikit, pahit. Tapi bukan rasa kopi yang menekan dadanya, melainkan wajah Elsa yang terbaring lemah di ranjang, keringat dingin di pelipisnya, dan tatapan kosong yang berulang kali muncul di kepalanya.
Ia tak bisa menjaganya secara langsung, tapi setidaknya, ia bisa melakukan sesuatu untuk orang yang telah membuat hidup Elsa jadi hancur.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Menjelang sore, matahari condong ke barat. Langit ibu kota mulai berubah oranye keemasan, memantul di kaca gedung tinggi. Sebuah mobil SUV hitam berhenti di depan gedung parkir bawah tanah. Arman keluar dari lift, napasnya sedikit terburu.
“Semua sudah siap, Pak,” katanya sambil membuka pintu penumpang.
Adam duduk di dalam mobil, mengenakan jaket hitam, masker medis, dan topi. “Tidak ada yang tahu?”
“Sudah saya pastikan. Kita pakai jalur belakang, bukan pintu kunjungan umum. Petugas di sana sudah diatur, mereka pikir Bapak ini pengacara dari Jakarta Selatan.”
Adam mengangguk tanpa banyak bicara. “Bagus. Kamu ikut.”
Arman tampak ragu, tapi akhirnya masuk ke mobil. “Baik, Pak.”
Mobil melaju keluar dari basement, melewati arus kendaraan yang mulai padat. Di dalam mobil, hanya suara mesin yang terdengar. Arman sesekali melirik ke arah Adam yang duduk bersandar, matanya menatap keluar jendela. Bayangan gedung-gedung berganti, seolah memantulkan potongan masa lalu yang menyesakkan.
Di benaknya, suara Elsa menggema, suara lirih di antara demam dan delirium:
“Saya hanya ingin semuanya selesai, Pak… saya capek… semua orang membenci saya karena kasus Ayah…”
Adam menggenggam lututnya erat. Ia tak tahu kapan mulai merasa terlibat sejauh ini. Tapi ia tahu satu hal: Elsa tidak pantas menanggung dosa yang bukan miliknya.
...----------------...
Perjalanan menuju Lapas itu memakan hampir dua jam. Saat mobil memasuki kawasan industri yang mulai sepi, langit sudah berwarna ungu gelap. Bangunan lapas berdiri di tengah area yang dijaga ketat. Lampu-lampu sorot menyorot pagar kawat berduri, dan pos penjagaan tampak sepi tapi waspada.
Mobil berhenti tak jauh dari pintu belakang. Dua orang petugas sudah menunggu. Arman keluar lebih dulu, berbicara sebentar sambil menyerahkan beberapa dokumen. Tak lama, salah satu dari mereka membuka gerbang kecil.
Adam melangkah turun. Udara di sekitar lapas lembab dan sedikit berbau besi karatan. Ia berjalan cepat melewati lorong panjang dengan dinding semen kusam dan lampu neon redup. Suara langkah sepatunya menggema pelan.
“Lewat sini, Pak,” ujar petugas.
Sebuah ruangan kecil menanti di ujung lorong. Di dalamnya hanya ada satu meja panjang dengan dua kursi. Di dinding, kamera CCTV mati, atau setidaknya, tampak mati. Arman menunggu di luar, sementara Adam duduk diam, menunggu.
Beberapa menit kemudian, pintu besi terbuka. Seorang pria berambut putih, mengenakan baju tahanan oranye yang sudah agak lusuh, melangkah masuk. Wajahnya kurus, tapi matanya masih tajam. Saat melihat Adam, ia sempat berhenti.
“Bapak…” suaranya parau, sedikit goyah. “Saya kira… yang datang itu anak saya.”
Adam berdiri. “Maaf kalau saya datang tanpa pemberitahuan.”
Pak Hadi menarik kursi dan duduk perlahan, masih menatapnya. “Saya tahu Anda… Menteri Muda yang sering muncul di berita itu, bukan?”
Adam mengangguk singkat. “Benar.”
“Untuk apa Anda datang ke tempat kotor seperti ini, Pak Menteri?”
“Untuk mendengar sesuatu yang tidak pernah dikatakan di depan publik,” jawab Adam pelan.
Pak Hadi tersenyum samar. “Kalau Anda mau dengar kisah orang kalah, banyak di sini. Tapi kalau soal saya… kisahnya sudah selesai.”
Adam menyandarkan tangan di meja. “Kalau benar sudah selesai, kenapa masih banyak yang harus menderita karena itu?”
Wajah Pak Hadi berubah sedikit tegang. “Anda bicara tentang siapa?”
“Elsa.”
Satu kata itu membuat udara di ruangan seperti berhenti.
Pak Hadi menatapnya lama, seolah mencoba memastikan ia tak salah dengar. “Anda bilang siapa?”
“Elsa. Putri Anda. Dan juga Lily.”
Pak Hadi terdiam. Sekian detik kemudian, ia memejamkan mata, suaranya serak. “Dari mana Anda tahu nama-nama itu?”
“Saya kenal Elsa,” jawab Adam akhirnya. “Ia di bawah perlindungan saya sekarang. Sedangkan Lily masih di tangan mantan menantu Anda, Dewa.”
Suara napas Pak Hadi menjadi berat. Ia memegang dahinya. “Jadi… apa mereka baik-baik saja?”
Adam mengangguk. “Ya. Tapi tidak hidup dengan tenang. Elsa harus menanggung malu, hinaan, fitnah. Semua karena nama Anda dikaitkan dengan korupsi yang bahkan mungkin bukan Anda pelakunya.”
Pak Hadi menghela napas panjang, mata tuanya menatap kosong ke meja. “Saya sudah terlalu lelah, Nak. Ketika mereka menangkap saya, semua sudah diatur. Kalau saya bicara, yang lain ikut jatuh. Saya hanya kambing hitam.”
“Dan Anda biarkan anak perempuan dan cucu Anda hidup dengan beban itu?” tanya Adam dengan nada tajam.
Ada kemarahan, tapi juga kepedihan di suaranya.
Pak Hadi menatapnya kembali. “Saya kira Elsa sudah memulai hidupnya yang baru tanpa saya. Saat Elsa pertama dan terakhir menjenguk saya, saya bilang padanya agar tak lagi datang atau sekedar menanyakan kabar Ayahnya ini, saya tidak mau Elsa terluka lagi.”
Adam menunduk sejenak. “Dan Anda pikir Elsa bisa melakukannya? Sampai detik ini pun, dia masih berjuang untuk membuktikan kalau Anda tak bersalah, meski dia sendiri pun berjuang untuk bertahan.”
Keheningan menggantung lama. Air mata menetes tanpa suara di wajah Pak Hadi mengingat Elsa dan cucunya. Di luar, terdengar suara rantai pintu, langkah petugas, dan bunyi jangkrik samar dari kejauhan.
Akhirnya Pak Hadi bicara lagi, pelan tapi tegas. “Kalau saya buka kasus ini lagi, akan banyak orang kuat yang terguncang. Saya tidak yakin saya bisa melawan dari dalam sini.”
Adam menatapnya dalam-dalam. “Kalau Anda mau bicara, saya akan bantu dari luar. Saya akan siapkan pengacara terbaik, dan media yang bersih. Tapi keputusan ada di tangan Anda.”
Pak Hadi memandangi wajah Adam lama sekali, lalu perlahan berkata, “Kenapa? Kenapa Anda peduli?”
Adam terdiam. Banyak alasan yang berkecamuk di kepalanya,!kebenaran, nama baik, keadilan. Tapi yang paling jujur bukan itu.
“Karena seseorang yang saya pedulikan, hidupnya hancur karena ini,” jawab Adam akhirnya. “Dan karena saya tidak ingin melihatnya terus menanggung dosa yang bukan miliknya.”
Pak Hadi memejamkan mata, bahunya sedikit bergetar. Ia menunduk, lama, sebelum akhirnya berkata lirih, “Kalau begitu… tolong bantu saya untuk membuka kasus ini lagi. Saya akan ungkap semuanya. Apa pun risikonya.”
Adam mengangguk perlahan. Senyum tipis muncul di sudut bibirnya. “Terima kasih, Pak Hadi. Saya janji, ini bukan akhir.”
Ketika ia berdiri, Pak Hadi menatapnya lagi. “Sampaikan pada Elsa… saya minta maaf. Dan terima kasih karena sudah menjaganya.”
Adam tak menjawab. Ia hanya menunduk sebentar, lalu melangkah keluar ruangan. Di lorong, udara terasa lebih berat dari sebelumnya. Arman menatapnya dari kejauhan, tapi Adam hanya berkata singkat, “Kita pulang.”
Di dalam mobil, sepanjang perjalanan, Adam tak bicara sepatah kata pun. Hanya tatapan kosong ke luar jendela, di mana langit sudah hitam, dan lampu jalan menyorot lembut wajahnya yang tenggelam dalam pikiran panjang.
Ia tahu, malam ini baru permulaan, dan apa pun yang ia mulai, tak akan bisa berhenti di tengah jalan.
(Bersambung)…
lagi kak🙏🙏❤️❤️
ihhh tambah penasaran 😁😁
jangan2...Noah anak mereka😅
gimna ya kalau sampai ketahuan oleh adam..