Sellina harus menerima kenyataan bahwa dirinya ternyata menjadi istri kedua. Tristan suaminya ternyata telah menikah siri sebelum ia mempersuntingnya.
Namun, Sellina harus berjuang untuk mendapatkan cinta sang suami, hingga ia tersadar bahwa cinta Tristan sudah habis untuk istri pertamanya.
Sellina memilih menyerah dan mencoba kembali menata hidupnya. Perubahan Sellina membuat Tristan perlahan justru tertarik padanya. Namun, Selina yang sudah lama patah hati memutuskan untuk meminta berpisah.
Di tengah perjuangannya mencari kebebasan, Sellina menemukan cinta yang berani dan menggairahkan. Namun, kebahagiaan itu terasa rapuh, terancam oleh trauma masa lalu dan bayangan mantan suami yang tak rela melepaskannya.
Akankah Sellina mampu meraih kebahagiaannya sendiri, atau takdir telah menyiapkan jalan yang berbeda?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Uswatun Kh@, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32. Malam panjang.
Sellina segera berjongkok, menurunkan tinggi badannya agar sejajar dengan mata si anak. Raut wajahnya kini dipenuhi kekhawatiran.
"Hei. Mana orang tuamu?" tanyanya lembut, sambil memegang kedua tangan kecil itu.
Anak laki-laki itu hanya menatap Sellina dengan sorot mata yang polos tanpa ekspresi. Kemudian, tanpa diduga, ia bergerak maju. Tubuhnya yang mungil merangkul Sellina, mengalungkan kedua tangannya erat melingkari lehernya.
Sellina terenyuh. Merasa kasihan dan ingin melindungi, ia segera menggendong anak itu ke dalam pelukannya.
Langkahnya bergegas, ia harus segera menemukan Elena dan meminta bantuan untuk mencari orang tua anak ini. Ia tahu Elena tadi masuk ke sebuah butik di ujung koridor untuk mencoba beberapa pakaian.
"Elena!" panggil Sellina begitu ia menemukan Elena yang baru saja keluar dari ruang ganti.
Elena terkejut melihat Sellina muncul dengan seorang anak dalam gendongannya. Ia segera menghampiri, alisnya bertaut. "Ya ampun, Sellina! Siapa yang kau bawa itu?"
Sellina menghela napas, menggelengkan kepala. "Aku juga gak tau. Tiba-tiba dia mendekatiku, menarik bajuku, dan langsung memeluk. Sekarang gimana ini?"
Elena memajukan wajahnya untuk mengamati si anak, matanya menyipit. "Tunggu sebentar, kok aku ngerasa gak asing dengan anak ini?"
Saat Elena mencoba mendekat, si anak itu justru ketakutan. Ia mengeratkan pelukannya pada leher Sellina dan membenamkan wajahnya dalam-dalam di bahu Sellina.
"Ah, aku baru ingat!" seru Elena, matanya melebar girang. "Dia keponakan Bos kita, Sellina! Dia anak dari kakaknya Pak Erza! Dulu aku pernah lihat fotonya di meja kerja Pak Erza!"
Sellina merasakan kerutan di dahinya semakin dalam. Dunia terasa sempit. Kenapa dari sekian banyak anak yang hilang di mal, harus keponakan bos mereka yang ia temukan? Ia menatap anak dalam gendongannya, lalu menatap Elena dengan ekspresi panik.
"Keponakan Pak Erza?" ulang Sellina, suaranya tercekat.
"Ya, ampun! Cepat hubungi dia, Sellina!" desak Elena. "Pasti keluarganya panik sekali. Anaknya setampan dan selucu ini hilang di mal sebesar ini!"
Dengan cepat, Sellina mencari kontak Erza di ponselnya.
"Halo," suara Erza langsung menyambut di seberang sana, terdengar ada nada khawatir dan tergesa-gesa.
"Pak Erza," potong Sellina cepat. "Saya Sellina. Saya di mal. Mal Plaza Bintang. Saya menemukan keponakan Bapak."
Hening sejenak. "Apa? Keponakanku? Maksudmu ... Arka?"
Suara Erza berubah sangat panik, ia terdengar sedang bergegas. "Astaga! Tunggu di sana! Jangan ke mana-mana. Saya segera ke sana!"
Sellina dan Elena memutuskan menunggu di area kedai kopi yang sepi, memastikan anak itu tetap tenang. Tak lama kemudian, sosok Erza muncul, berlari tergesa-gesa dengan wajah tegang. Ia tampak tidak rapi, karena sebelumnya kakaknya juga mengabari jika Arka hilang saat bersama Nathan dan Valen juga tengah menuju tempat yang sama.
"Astaga, Arka!" Erza langsung menghampiri. Ia menghela napas lega saat melihat keponakannya aman dalam dekapan Sellina.
"Terima kasih, Sellina. Terima kasih banyak. Kakakku pasti panik setengah mati."
Erza mengulurkan tangannya, bermaksud mengambil alih Arka dari gendongan Sellina. "Ayo, Arka. Om yang gendong, ya. Kita pulang."
Namun, Arka, yang baru berumur sekitar empat tahun dan sudah merasa nyaman dengan Sellina, langsung menggeleng kuat. Ia semakin mengeratkan pelukan di leher Sellina dan merengek kecil, membenamkan wajahnya.
Erza terdiam, tangannya menggantung di udara. Ia memandang Sellina, dan Sellina hanya bisa mengangkat bahu, sedikit bingung dan canggung dengan situasi yang tiba-tiba ini.
"Sepertinya dia sudah betah denganmu, Sellina," ujar Erza, tersenyum tipis namun penuh rasa terima kasih.
Tidak lama setelah Erza tiba, suasana di area kedai kopi menjadi semakin tegang. Muncul seorang wanita cantik dengan wajah pucat dan mata sembab—Valen, kakak Erza sekaligus ibu Arka—bersama suaminya, Nathan. Wajah Valen menunjukkan panikan, ia segera berlari menghampiri putranya.
"Arka! Ya Tuhan, Nak!"
Valen segera mendekat, air mata langsung menetes. Ia berusaha meraih Arka dari gendongan Sellina, namun Arka hanya semakin mencengkeram erat leher Sellina, menggelengkan kepala dan merengek.
Melihat kakaknya yang histeris dan keponakannya yang hilang, Erza meledak. Ia langsung menghadap Nathan, yang berdiri canggung di belakang Valen.
"Nathan! Apa yang terjadi?! Kenapa kau bisa sebodoh ini?! Anakmu hilang di tengah keramaian! Kau seharusnya menjaganya!" Suara Erza meninggi, menggema di sudut yang sepi itu. Matanya menyala penuh amarah dan kekecewaan.
Nathan tampak tertunduk, tidak berani membalas tatapan Erza. "Maaf, Erza. Aku tadi menerima telepon penting. Sebentar saja aku berpaling, dia sudah tidak ada di sampingku," gumam Nathan, suaranya dipenuhi rasa bersalah.
Valen hanya bisa menangis sesenggukan, frustrasi karena Arka bahkan tak mau ditenangkan olehnya.
Arka yang memiliki kebutuhan khusus sudah biasa tanpa ibu dan ayahnya. Ia setiap hari hanya di asuh baby sisternya, kini ia merasa nyaman di dekapan Sellina enggan melepaskan.
"Lupakan telepon pentingmu itu!" Erza membentak, kemudian beralih menatap Sellina yang mematung. "Sellina, aku mohon. Arka kayaknya cuma mau denganmu. Kau mau kan pulang bareng aku, antar Arka?"
Erza mendekat dengan nada yang kini lebih memohon. "Bisakan? Hanya sampai Arka tenang dan mau dilepas. Aku gak mungkin menggendongnya sementara dia meronta di tengah jalan. Aku akan mengantarmu pulang setelah itu."
Sellina menoleh pada Elena, yang mengangguk meyakinkan. Mengingat keadaan Arka, Sellina tidak tega menolak.
"Baik, Pak Erza. Saya ikut," jawab Sellina, membenahi posisi Arka di gendongannya.
Perjalanan menuju rumah Erza terasa hening dan canggung. Di kursi belakang, Sellina duduk memangku Arka yang akhirnya tertidur pulas dalam pelukannya, sementara Erza sesekali mencuri pandang memperhatikan wajah dua orang yang kini mendiami hatinya.
Mobil Erza akhirnya berhenti di depan sebuah kediaman yang tampak megah dengan empat lantai menjulang tinggi. Arsitekturnya modern dan elegan, mencerminkan kekayaan pemiliknya. Saat mesin dimatikan, keheningan segera menyelimuti.
Sellina yang hendak membuka pintu mobil dari dalam, terkejut saat Erza menoleh ke belakang dan mencegahnya.
"Tunggu, biar aku bukakan," cegah Erza, suaranya pelan.
Erza segera keluar dari sisi kemudi, lalu dengan sigap berjalan memutari mobil dan membukakan pintu untuk Sellina. Arka masih tertidur pulas, menempel dalam dekapan Sellina. Dengan gerakan yang sangat pelan dan penuh kehati-hatian, Erza mengambil alih Arka. Ia mengangkat keponakannya itu.
Saat Erza berhasil menggendong Arka dan menutup pintu mobil, Nathan segera mendekat, berniat mengambil putranya.
Namun, Erza langsung menolak niat itu dengan sebuah gerakan sederhana—menggeser tubuhnya, menghalangi Nathan. Tatapannya dingin dan menusuk.
"Aku tahu kalian sibuk dengan urusan masing-masing. Sibuk dengan pekerjaan, sibuk dengan masalah bisnis," ucap Erza dengan nada yang tak terbantahkan. "Tapi tolong lebih perhatikan Arka."
Setelah melontarkan kalimat menusuk itu, Erza berbalik tanpa menunggu jawaban, membawa Arka masuk ke dalam rumah.
Valen yang berdiri tak jauh dari sana membeku. Ekspresinya segera berubah menjadi tatapan kesal yang ditujukan pada Nathan. Ia merasa dirinya kena imbas kemarahan sang adik, dan semua ini karena kelalaian suaminya. Valen segera bergegas menyusul Erza masuk ke dalam rumah.
Nathan hanya bisa berdiri kaku di depan pintu mobilnya. Setelah jeda sesaat, ia pun mengikuti istri dan iparnya masuk ke dalam kemewahan rumah itu.
Sementara itu, Sellina terdiam, ditinggalkan sendirian di depan rumah yang begitu mewah. Setelah drama panjang kini tiba-tiba sepi dan hening. Sellina hanya menatap ke atas rumah, mencelos melihat kemegahan itu.
bawa semua rasa bersalahmu