‘Dulu, ibuku pernah menjadi permaisuri satu-satunya, dan aku Putri mahkota dalam istana mahligai rumah tangga orang tuaku, tapi lihatlah kini! Kami tak ubahnya sampah yang dibuang pada sembarang tempat!’
Dahayu – wanita berpenampilan sedikit tomboy, harus menelan pil pahit kehidupan. Sang ayah menjual dirinya kepada sosok asing, yang mana ia akan dijadikan istri kedua.
Tanpa Dahayu ketahui, ternyata dirinya hendak dijerumuskan ke jurang penderitaan. Sampai dimana dirinya mengambil keputusan penting, demi sang ibu yang mengidap gangguan mental agar terlepas dari sosok suami sekaligus ayah tirani.
Siapakah sosok calon suaminya?
Mampukah Dahayu bertahan, atau malah dirinya kalah, berakhir kembali mengalah seperti yang sudah-sudah?
Pengorbanan seperti apa yang dilakukan oleh wanita berpendirian teguh, bersifat tegas itu …?
***
Instagram Author : Li_Cublik
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
09 : Impas
Bandi langsung melangkah terburu-buru menyambut pimpinan tertinggi perkebunan yakni, Manager perkebunan. Ada juga seorang kepala afdeling, atasan bapaknya Dahayu.
Kedua pria berkharisma itu tinggal di villa bukit, area khusus diperuntukkan bagi jajaran petinggi perkebunan sawit dan karet milik Amran Tabariq.
“Selamat sore bapak Bandi,” sapa sang manager ramah, penuh nada kehangatan.
Bandi langsung mengangguk sedikit membungkuk, mengelap tangan pada celana kolor selutut, baru menerima jabat tangan.
Di belakangnya – Ijem dan Nafiya memasang raut berlebihan, tersenyum lebar hingga barisan gigi terlihat.
“Dah macam Kambing saja kedua badut dibelakang si Bandi itu.” Nelli merapat pada Dahayu, sama-sama memperhatikan interaksi orang penting yang bisa dibilang tidak pernah berkunjung ke rumah bawahannya, berlebih pak manager berambut putih.
“Mari masuk, Bapak terhormat. Maaf, kalau hunian kami apa adanya,” basa-basi Ijem. Dia melirik sombong pada tetangga sebelah rumah.
“Yu, besok Ayah antar ke rumah buktinya. Sekarang waktunya tidak tepat.” Bandi berlalu.
Sementara Nafiya mencibir, dan Ijem mendengus.
Dahayu tetap bergeming. Kali ini dia tidak mau mengalah, dirinya akan pulang setelah menggenggam bukti proses perceraian ibunya.
“Kau tak dengar apa? Sana pulang! Jangan buat malu, apalagi dengan penampilan lusuh mu ini!” Nafiya mendorong bahu Dayu.
Namun yang didorong tetap berdiri kokoh. Tanpa diduga – Dayu memelintir kebelakang lengan kanan sang kakak tiri yang baru saja mendorongnya.
“Lepas!” Fiya menggeram pelan, menahan sakit, tidak berani berteriak dikarenakan sedang menjaga image agar terlihat anggun di depan orang berpangkat tinggi.
“Sakit, Yu! Lepaskan, Dungu!” Wajah Fiya sudah memerah, dia ingin menjerit. Rasanya sungguh tersiksa menahan nyeri, tetapi harus bungkam.
“Lagak kau dah macam korban habis dihajar massa, padahal baru dipelintir lengan gatal yang suka membelai dada pria berjoget denganmu agar menambah jumlah uang saweran – dasar lemah!” hina Nelli, dia sangat menikmati raut nelangsa Nafiya.
Dahayu melonggarkan cekelan nya lalu mendorong punggung sang kakak tiri hingga jatuh tersungkur.
Bugh!
“Mamak!” jeritan kencangnya menarik perhatian para tamu yang sudah duduk di sofa.
“Nafiya! Kau kenapa, Nak?!” Ijem tergopoh-gopoh menolong sang putri untuk berdiri. Wajah dan bibir Fiya berdebu.
“Ada apa ini?” tanya pak Manager, sekilas dia melirik sungkan pada Dahayu yang tidak memperhatikan, tapi Nelli melihat hal itu.
“Saya putrinya ibu Warni – istri pertama Bandi, sedang menunggu bukti yang telah dijanjikan olehnya, perihal pengajuan cerai,” suaranya lugas, sedikitpun tak terdengar nada gentar.
Bandi melotot, tetapi tidak berani menyela apalagi menegur. Dia berada di posisi serba salah.
“Jadi Anda anak pertama bapak Bandi?" tanya atasannya jajaran Mandor.
“Iya.” Dayu mengangguk samar, menatap sekilas.
“Kebetulan sekali, mari masuk bergabung! Kedatangan kami kesini – untuk membahas sistem PT perkebunan perihal perceraian karyawannya.”
Tanpa dipersilahkan pemilik rumah, Dayu dan Nelli masuk.
Ijem mengepalkan tangannya, dia pun tidak berdaya untuk sekadar memperingati apalagi mengusir.
Semua orang sudah berada di dalam ruang tamu, duduk pada sofa. Hanya Dayu dan Nelli yang berdiri, menolak ketika dipersilahkan duduk.
Pak Manager menegakkan punggung, menatap tegas sang kepala keluarga. “Bapak Bandi – saya selaku pimpinan tertinggi jajaran para pengawas perkebunan PT Tabariq. Ingin meminta kejelasan atas laporan seseorang yang mengatakan kalau Anda akan menggugat cerai bu Warni selaku istri pertama, apa memang benar seperti itu?”
‘Siapa yang melapor? Apa Dayu? Rasanya mustahil. Mana mungkin wanita tak berpendidikan tinggi itu berani menemui para jajaran petinggi,’ benak Fiya dipenuhi tanda tanya.
Kening dan pelipis Bandi terlihat berkilat dipenuhi keringat. Dia gamang, dan dilema harus menjawab apa. “Betul, Pak.”
“Berarti benar ya, kalau bapak Bandi ingin melepaskan istri pertama? Sudah mantap kah hatinya?” tanyanya lagi untuk meyakinkan.
Tak ada yang bisa dia lakukan selain mengangguk. Bila mencoba mempertahankan dengan berkata tidak jadi cerai, maka posisinya sebagai mandor panen akan terancam – Dahayu pasti langsung bertindak saat ini juga.
“Baiklah kalau sudah yakin, tidak ada keraguan, dan memang untuk kebaikan bersama – esok hari pengacara perkebunan Tabariq, akan membantu perceraian itu. Tolong Bapak Bandi sportif, jangan ada drama penyesalan dan berniat menarik gugatan saat proses persidangan,” dibalik kata-kata lugas, terdapat nada tajam memperingatkan.
‘Alhamdulillah, terima kasih ya Rabb,’ Dayu mengucapkan puji syukur. Tinggal selangkah lagi, dia dan ibunya terbebas dari sang tirani.
Nelli mengelus lengan sahabatnya, netranya ikut berkaca-kaca. ‘Alhamdulillah.’
Selepas menghabiskan suguhan air teh dan sepotong kue, kedua jajaran petinggi perkebunan PT Tabariq – berpamitan. Saat bersalaman dengan Dahayu, terlihat gesture mereka sedikit kaku.
.
.
“Kau lihat dan dengar sendiri kan? Kalau perceraian itu nyata adanya, dan bapakmu sudah menyetujuinya. Jadi, jangan lagi mencari perkara! Setelah suamiku resmi menceraikan ibumu, kau dilarang keras datang kesini mengemis bantuan bila terjadi apa-apa dengan wanita berpenyakitan itu!” Ijem berkacak pinggang, hatinya tengah kesal luar biasa.
Dia pikir kedatangan dua orang penting tadi mau mengabarkan kalau suaminya dipromosikan naik jabatan, ternyata malah ikut mengurusi hal tak penting.
“Kata-kata mu barusan juga berlaku untuk kalian!” Dahayu menunjuk ketiga sosok dihadapannya menggunakan dagu. “Selepas akte cerai itu turun. Maka antara aku dan Bandi maupun kau Ijem, terlebih Fiya – sama sekali tak ada lagi hubungan. Aku memutuskan tali hubungan apapun itu! Bila kita bersisian di jalan, anggap saja tidak saling mengenal.”
Dahayu mundur, untuk terakhir kalinya menatap sosok yang dulu sering mengajak bercanda, menggendongnya di punggung, dan mengabulkan apapun keinginannya. Kini, mereka seperti dua orang asing, setiap berkomunikasi hanya ada perdebatan.
Sang ayah yang dulu hangat, berubah dingin, berlidah tajam. Merendahkan, menghina, bahkan memanfaatkan dan menjual dirinya.
“Aku menganggap telah melunasi hutang budi denganmu, Bandi. Kau menjualku kepada salah satu penghuni villa bukit! Dengan sadar menyetujui kalau aku cuma dijadikan alat pencetak anak, lalu setelahnya akan dicampakkan. Maka dari itu – ku anggap lunas. Diantara kita tak ada lagi siapa paling banyak memberi dan menerima, melainkan sudah impas! Di masa depan, bila dirimu menemui kesulitan – harap sadar diri untuk tidak menyusahkan anak yang sudah dibuang demi sosok murahan.” Dia berbalik lalu melangkah keluar.
Netra Bandi bergetar – ulu hatinya nyeri. Dia merasa benar-benar telah kehilangan sang putri. Dayu belum pernah menatap hampa, hambar seperti tadi. Seolah perasaannya benar-benar mati.
“Sudahlah, Bang! Tak perlu kau pikirkan wanita congkak itu. Kita lihat saja, seminggu lagi pas awal bulan – pasti dia kembali kesini dengan raut memelas hendak meminjam kartu kesehatan!” Ijem menarik lengannya suaminya.
Nafiya masih menyimpan amarah. Dia tidak terima diperlakukan hina oleh Dahayu. Gadis itu merogoh saku celana, mengeluarkan ponsel yang tombolnya warna merah dan putih. Mengirim pesan kepada seseorang.
‘Tak lama lagi kau akan menangis darah Dahayu!’
.
.
Bersambung.
tiap karyamu selalu ku pantau ☺️😍