Ibu Susu Anak Sang Menteri

Ibu Susu Anak Sang Menteri

Hari Pertama Badai.

Ruang keluarga itu luas dengan langit-langit tinggi dan lampu gantung kristal yang berkilauan. Lantai marmer dingin berlapis karpet tebal, sementara jendela besar terbuka menghadap taman belakang, membiarkan cahaya oranye sore menyusup masuk. Meski sangat luas, ruangan itu terasa hangat karena suara lembut Elsa yang tengah menata perlengkapan bayi di sofa panjang.

Ia duduk bersandar, perut besarnya membuat geraknya terbatas. Tangannya sibuk melipat baju-baju mungil warna pastel. Sesekali Elsa berhenti, menempelkan baju ke pipinya sambil tersenyum tipis, membayangkan aroma tubuh bayinya nanti.

Pintu utama berderit pelan. Dewa masuk dengan kemeja yang sedikit kusut, jas kerja tersampir di lengannya. Ia melepas jam tangan, lalu menjatuhkan tubuh ke sofa kulit di seberang istrinya, menghela napas panjang.

“Kamu baru pulang?” suara Elsa lembut, penuh lega.

“Iya,” jawab Dewa sambil meneguk air putih dari gelas di meja. “Baru selesai makan siang sama Papa.”

Mata Elsa berbinar. “Sama Papa? Ceritain dong. Papa pesan apa?”

Dewa terkekeh kecil. “Kamu tahu sendiri lah. Diundang ke restoran hotel, eh beliau malah minta supir belok ke warung soto pinggir jalan. Katanya, ‘buat apa makan mahal kalau rasanya kalah sama soto kampung’.”

Elsa ikut tertawa, meski tangannya tetap sibuk. “Itu Papa banget. Dari dulu nggak pernah bisa diajak gaya-gayaan. Aktivis tulen. Buat Papa kalau bisa sederhana, kenapa harus ribet.”

“Yang bikin aku heran,” lanjut Dewa, “orang-orang di sana banyak yang nyapa. Ada yang nyalamin, ada juga yang nyeletuk katanya hebat, pejabat tinggi tapi masih mau makan di warung kaki lima. Papa kamu cuma senyum-senyum, kayak nggak peduli.”

Elsa meletakkan lipatan baju di pangkuannya, lalu mengusap perutnya. “Makanya aku bangga. Dari dulu Papa nggak pernah berubah. Aku kira setelah jadi pejabat bakal lebih jaim, lebih jaga citra. Ternyata tetap sama.”

Dewa menatap istrinya lama, matanya redup. “Kamu yakin dia nggak berubah sama sekali?”

Elsa mendongak. “Maksudmu?”

“Nggak tahu…” Dewa mengangkat bahu. “Aku cuma mikir, orang bisa kelihatan bersih di luar, tapi dalamnya siapa tahu. Aku nggak nuduh Papa, cuma… politik itu kejam, El.”

Elsa menarik napas dalam, lalu menatap suaminya penuh keyakinan. “Aku percaya Papa. Hidupnya selalu buat orang lain, nggak pernah buat dirinya sendiri.”

Dewa menunduk, jemarinya sibuk menggulir layar ponsel, seolah sengaja menghindari tatapan istrinya. Wajahnya kaku, menahan sesuatu yang tak ia ucapkan.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Malamnya, Elsa sedang membereskan sisa lipatan baju bayi di kamar besar yang dindingnya dipenuhi rak buku dan lemari kaca penuh kristal. Baru saja ia hendak merebahkan diri, telepon rumah berdering nyaring.

Elsa bangkit dengan susah payah. “Hallo?” .

“Elsa?” suara di seberang panik. “Kamu udah lihat berita? Papamu disebut terima aliran dana miliaran! Semua TV lagi siarin.”

Jantung Elsa serasa berhenti. “Tidak mungkin… Papa? Papa nggak mungkin…”

Tangan Elsa gemetar saat menyalakan televisi layar datar yang menempel di dinding. Breaking news memenuhi layar: “Pejabat Humanis Diduga Terlibat Korupsi. Aliran Dana Miliaran Rupiah.”

Foto Papanya terpampang jelas, tersenyum ramah dalam balutan batik sederhana.

Elsa menutup mulut, tubuhnya lemas. “Ya Allah…”

Dewa keluar dari kamar mandi, rambutnya masih basah, lalu ikut menatap layar. Keningnya berkerut tajam.

“Dewa…” suara Elsa pecah, penuh air mata. “Ini pasti jebakan. Papa nggak mungkin kayak gini. Kamu tahu sendiri, kan?”

Dewa menghela napas berat. “Elsa, aku baru ketemu beliau siang tadi. Aku ingin percaya kalau Papamu salah. Tapi lihat itu, data rekening, aliran dana… ini bukan gosip, mereka tidak mungkin menuduh sembarangan.”

“Bisa direkayasa!” Elsa berkeras, suaranya meninggi. “Papa selalu jadi penghalang orang-orang rakus. Mereka pasti menjebak Papa!”

Dewa menatap Elsa lama, nadanya makin dingin. “Aku ngerti kamu anaknya. Tapi jangan sampai itu menjadikan kamu buta. Dunia politik itu kotor, El. Kalau kamu terus membabi buta membela Papamu, bisa-bisa kita yang ikut kena imbas.”

Air mata Elsa jatuh deras. Tangannya refleks memeluk perut, seolah melindungi bayinya. “Dewa… aku cuma butuh kamu percaya. Jangan tinggalkan aku sendirian dalam situasi seperti ini.”

Dewa terdiam. Pandangannya tetap tertuju pada layar televisi, rahangnya mengeras. Diamnya Dewa terasa lebih menusuk daripada kata-kata.

Malam itu, di rumah megah itu, Elsa merasa kesepian untuk pertama kalinya.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Suara televisi masih menyala di ruang tengah rumah megah itu. Wartawan silih berganti menyiarkan perkembangan kasus korupsi yang menjerat Papa Elsa. Di layar, barisan angka aliran dana ditampilkan, grafik naik-turun seolah menyudutkan satu nama: Dr. Hadi Wirawan… ayah Elsa.

Elsa duduk di ujung ranjang besar, tubuhnya gemetar. Tangannya memeluk perut yang makin menegang. Napasnya terasa pendek, peluh dingin mengalir di pelipis.

“Dewa… “ suaranya serak. “Aku… perutku sakit. Perutku… kayak ditarik.”

Dewa masih berdiri di depan televisi, kedua tangannya bersedekap. Tatapannya tajam ke layar, bukan ke istrinya. Butuh waktu beberapa detik sebelum ia menoleh. “Sakit? Kamu sudah waktunya, El?”

Elsa mengangguk, wajahnya pucat. “Kayaknya kontraksi… aku takut, Dewa.”

Wajah Dewa berubah sedikit cemas, tapi suaranya tetap datar. “Oke. Aku ambil kunci mobil. Kita ke rumah sakit sekarang.”

Ia meraih kunci, lalu menahan napas sebentar, seolah ada yang mengganjal. “Elsa… coba kamu tenang dulu. Jangan pikirin berita. Fokus aja ke bayi kita.”

Elsa menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Gimana aku bisa tenang, kalau semua orang tuduh Papa pencuri? Kamu sendiri nggak percaya Papa!”

“Elsa…” Dewa menahan nada suaranya. “Aku bukan nggak percaya. Aku cuma realistis. Aku juga harus mikirin nama baik keluarga kita.”

Elsa merasa dadanya sesak, bukan hanya karena kontraksi, tapi karena ucapan suaminya. Ia ingin membalas, tapi rasa sakit di perutnya lebih mendesak.

...****************...

Malam itu sirine mobil melaju kencang menuju rumah sakit swasta yang berdiri gagah di tengah kota. Lampu-lampu neon menyilaukan mata, lorong rumah sakit penuh bau antiseptik menusuk.

Elsa terbaring di ranjang dorong, wajahnya tegang, rambutnya basah oleh keringat. Dewa berjalan cepat di sampingnya, tapi tatapannya sibuk melirik layar ponsel yang terus berdenting oleh notifikasi. Grup keluarga pejabat, teman, bahkan wartawan yang menanyakan komentar.

Sesekali Elsa meremas tangannya, memohon kekuatan. “Dewa… jangan lepasin aku.”

Dewa menggenggam balik, tapi hanya sekilas, lalu kembali menoleh ke layar ponsel.

Di ruang bersalin, suara monitor berdetak cepat. “Ayo, Bu Elsa, tarik napas dalam, keluarkan perlahan… lagi… kuat ya,” bidan memberi arahan.

Elsa menggigit bibirnya, menahan jerit. Matanya mencari-cari Dewa, tapi suaminya berdiri agak jauh, sibuk menempelkan ponsel ke telinga.

“Ya, Pa. Iya, saya ngerti. Tenang saja, saya bakal pisahkan diri dari kasus itu. Iya, demi nama baik keluarga…” suara Dewa terdengar jelas di sela teriakan Elsa.

Air mata Elsa pecah, entah karena sakit melahirkan atau karena hatinya terkoyak.

Beberapa jam kemudian, saat akhirnya diputuskan untuk operasi sesar, tangis bayi pertama kali pecah di udara. Nyaring, penuh kehidupan.

“Selamat ya, Bu Elsa. Bayinya sehat, perempuan.”

Elsa mengulurkan tangan, tubuhnya lemah, matanya berbinar. “Lily… namanya Lily…” bisiknya dengan suara gemetar.

Bayi mungil itu diletakkan di pelukannya. Elsa menangis, memandang wajah polos itu dengan cinta yang meledak-ledak.

Namun ketika ia menoleh ke sisi lain ranjang, Dewa tidak di sana.

Ia menemukan Dewa berdiri di pojok ruangan, menatap layar ponsel dengan wajah tegang. Tak ada senyum bangga, tak ada tatapan haru. Hanya dingin.

“Dewa… “ panggil Elsa lirih. “Ini Lily. Anak kita.”

Dewa menoleh sekilas, lalu melangkah mendekat. Ia menyentuh kepala bayi itu singkat, kemudian menghela napas. “Ya… baguslah. Bayinya sehat.”

Elsa menatapnya tak percaya. “Hanya itu? Kamu nggak bahagia?”

Dewa menutup mata, lalu berkata pelan tapi tegas. “Elsa, kamu tahu posisi kita sekarang. Ayahmu ditahan. Semua orang menyorot kita. Aku… aku nggak bisa pura-pura semuanya baik-baik aja.”

“Jadi… kamu bahkan nggak bisa tersenyum untuk anakmu sendiri?” suara Elsa pecah.

Dewa diam. Diam yang menusuk, dingin, dan terasa asing.

Di pelukan Elsa, Lily menangis lagi, seolah mengerti betapa dunia yang menyambutnya begitu penuh badai.

(Bersambung)…

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!