NovelToon NovelToon
Hujan Di Istana Akira

Hujan Di Istana Akira

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Fantasi / Romansa Fantasi / Harem / Romansa / Dokter
Popularitas:359
Nilai: 5
Nama Author: latifa_ yadie

Seorang dokter muda bernama Mika dari dunia modern terseret ke masa lalu — ke sebuah kerajaan Jepang misterius abad ke-14 yang tak tercatat sejarah. Ia diselamatkan oleh Pangeran Akira, pewaris takhta yang berhati beku akibat masa lalu kelam.
Kehadiran Mika membawa perubahan besar: membuka luka lama, membangkitkan cinta yang terlarang, dan membongkar rahasia tentang asal-usul kerajaan dan perjalanan waktu itu sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon latifa_ yadie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Permaisuri yang Menangis

Musim semi datang lebih cepat tahun ini.

Pohon-pohon plum di tepi desa mekar serentak, menebar warna merah muda yang menenangkan hati.

Tapi di balik keindahan itu, aku merasakan sesuatu yang ganjil.

Setiap malam, aku bermimpi tentang istana — tapi bukan istana yang dulu kukenal.

Istana itu sudah tua, ditelan waktu, namun di dalamnya masih terdengar suara tangis.

Tangis seorang perempuan.

Suatu pagi, seorang anak desa datang ke rumahku.

“Sensei, ada orang tua yang mencarimu di tepi sungai,” katanya.

Aku mengerutkan kening. “Orang tua?”

Anak itu mengangguk cepat. “Perempuan. Pakai kimono putih, rambutnya panjang sekali.”

Aku merasa jantungku berhenti sesaat.

Tanpa pikir panjang, aku berlari ke arah sungai.

Langit sedang mendung, angin bertiup lembut membawa aroma bunga.

Dan di tepi sungai, di antara kabut tipis, aku melihat sosok itu.

Perempuan berkimono putih, berdiri membelakangi aliran air.

Rambutnya terurai panjang sampai punggung, sebagian beruban.

Tapi aku tahu betul siapa dia.

Permaisuri Mei.

Aku berhenti beberapa langkah di belakangnya. “Yang Mulia…”

Dia tidak menoleh. “Sudah lama aku tidak mendengar panggilan itu.”

Suara itu masih sama — tenang, tapi menyimpan luka yang dalam.

Aku melangkah pelan. “Bagaimana… bisa Anda ada di sini?”

Dia memandangi air yang beriak lembut. “Waktu mempermainkanku, Mika. Mungkin karena aku belum menebus semua kesalahanku.”

Aku menatap wajahnya ketika dia akhirnya berbalik.

Keriput di sekitar matanya dalam, tapi sorotnya tetap tajam.

Namun kali ini, ada kelelahan yang tak bisa disembunyikan.

“Aku pikir aku sudah mati malam itu,” katanya pelan. “Tapi ketika dunia pecah dan menyatu lagi, aku terbangun di tempat asing. Dunia ini.”

Aku menunduk. “Jadi waktu juga membawamu ke dunia baru ini.”

Dia mengangguk. “Mungkin untuk mengingatkanku bahwa tidak semua luka bisa disembuhkan oleh waktu.”

Kami duduk di batu besar di tepi sungai.

Suara air mengalir menenangkan, tapi hati kami sama-sama berat.

“Aku sering datang ke sini,” katanya lirih. “Setiap kali hujan, aku berharap bisa melihat wajah Akira lagi.”

Aku menatapnya. “Dia… sudah tidak ada, Yang Mulia.”

Dia tersenyum pahit. “Aku tahu. Tapi seorang ibu selalu bisa merasakan anaknya, bahkan ketika dunia berubah.”

Aku terdiam lama sebelum akhirnya berkata, “Dia mencintaimu sampai akhir, Yang Mulia. Meski Anda menolaknya, dia tak pernah menyimpan dendam.”

Air mata jatuh dari matanya perlahan. “Jangan panggil aku Yang Mulia. Aku bukan siapa-siapa lagi. Aku hanya seorang ibu yang gagal.”

Aku menatap sungai itu bersama dia, dan di permukaannya aku melihat bayangan masa lalu — istana megah, perang, dan hujan yang tak henti turun malam saat Akira memelukku terakhir kali.

Permaisuri Mei menatap air yang bergetar. “Dulu aku percaya bahwa cinta hanya membawa kehancuran. Aku melihat suamiku hampir mati karena wanita dari dunia langit. Aku takut sejarah berulang lewat Akira dan dirimu.”

Aku menggenggam tangan di pangkuanku. “Dan Anda salah tentang itu.”

Dia menatapku.

“Cinta memang membawa kehancuran,” lanjutku, “tapi dari kehancuran itu lahir dunia baru. Dunia ini. Dunia yang mempersatukan masa lalu dan masa depan.”

Permaisuri terdiam lama, lalu tersenyum samar.

“Mungkin itu sebabnya waktu tidak membiarkanku pergi. Aku harus melihat bahwa cinta anakku tidak salah.”

Dia menatapku dalam. “Terima kasih, Mika. Karena kau mencintainya tanpa takut.”

Aku nyaris tak bisa menahan air mata. “Kalau bukan karena dia, aku takkan pernah tahu artinya hidup dua kali untuk orang yang sama.”

Dia menunduk. “Dan aku takkan pernah tahu artinya kehilangan dua kali untuk orang yang sama.”

Kami duduk lama tanpa bicara.

Angin bertiup membawa kelopak bunga plum menari di udara.

Dan tiba-tiba, Permaisuri bertanya, “Kau pernah bertemu Kaisar Ryou, bukan?”

Aku menatapnya kaget. “Bagaimana Anda tahu?”

Dia tersenyum kecil. “Karena aku ingat matamu. Tatapan yang sama dengan wanita yang pernah diceritakan Ryou dalam legenda lama.”

Aku menelan ludah. “Dia bilang cinta kami akan menulis ulang waktu.”

“Dan ternyata benar,” katanya. “Dulu aku membenci Reina, wanita yang mencuri suamiku dari masa lalu. Tapi mungkin dia hanya melakukan hal yang sama seperti kau — mencoba menyembuhkan dunia lewat cinta.”

Dia menatap langit yang mulai berwarna jingga. “Kau tahu, Mika? Waktu itu tidak pernah adil, tapi ia selalu jujur. Ia memberi kita kehilangan supaya kita mengerti arti bertemu.”

Aku menunduk, air mata menetes tanpa suara.

“Kadang aku berharap waktu berhenti di saat terakhir aku melihat Akira tersenyum,” kataku lirih.

Dia menatapku lembut. “Jangan. Karena kalau waktu berhenti, cinta juga berhenti.”

Sore itu kami berjalan ke arah kuil tua di bukit.

Kuil itu kini sudah seperti bagian dari alam — batu-batunya diselimuti lumut hijau, tapi di tengah altar masih berpendar cahaya biru lembut.

“Tempat ini selalu hidup,” bisikku.

Permaisuri mengangguk. “Karena waktu tidak mati, hanya berputar mencari makna baru.”

Dia berhenti di depan altar, menyentuh batu dingin di sana.

“Aku pernah berdoa di sini, bertahun-tahun lalu. Memohon agar waktu menghapus semua kesalahanku.”

“Apakah waktu mengabulkannya?” tanyaku.

Dia menggeleng pelan. “Tidak. Waktu memberiku kesempatan untuk menebusnya sendiri.”

Permaisuri menatap simbol spiral di batu itu lama.

“Aku tidak ingin jadi permaisuri lagi, Mika. Aku hanya ingin jadi seorang ibu yang bisa memeluk anaknya… sekali saja.”

Aku menatapnya, lalu berkata pelan, “Mungkin kau masih bisa.”

Dia menoleh pelan, mata basah. “Bagaimana maksudmu?”

Aku mengeluarkan liontin kecil dari saku jubahku — liontin yang dulu Akira berikan malam sebelum kuil waktu tertutup.

“Aku menyimpan ini,” kataku sambil memegangnya. “Kadang saat hujan, aku bisa mendengar suaranya lewat cahaya yang keluar dari liontin ini.”

Aku meletakkannya di altar.

“Kalau waktu masih mengingatnya, mungkin ia akan mendengar doa kita sekarang.”

Permaisuri menatap liontin itu, lalu menutup mata.

“Akira,” bisiknya. “Maafkan Ibu. Ibu terlalu takut kehilanganmu sampai lupa bahwa cinta bukanlah kutukan.”

Angin bertiup kencang, dan simbol spiral di batu itu mulai bersinar lebih terang.

Suara lembut bergema di udara, seperti gema dari masa yang jauh.

“Ibu…”

Aku menatap sekeliling, mataku membesar. “Itu—”

Permaisuri terisak. “Itu suaranya.”

Suara itu terdengar lagi, pelan tapi jelas.

“Jangan menangis lagi, Ibu. Dunia baru sudah aman. Aku bahagia di sini.”

Permaisuri menutup mulut, bahunya bergetar hebat. Air matanya jatuh deras.

“Aku merindukanmu setiap hari, Nak…”

“Aku juga, Ibu. Tapi kali ini, jangan tangisi waktu. Nikmati hidupmu, karena itu cara terbaik untuk mengingatku.”

Cahaya dari liontin makin terang, lalu perlahan memudar, meninggalkan kehangatan yang lembut di udara.

Permaisuri berdiri terpaku, lalu menatapku dengan senyum basah air mata.

“Dia bahagia.”

Aku mengangguk, ikut tersenyum meski mataku pun basah. “Ya. Dan sekarang waktunya kau juga bahagia.”

Dia menghela napas panjang. “Mungkin ini saatnya aku berhenti menunggu hujan.”

Aku menatapnya. “Kenapa?”

“Karena sekarang aku tahu, hujan bukan tanda kesedihan.”

Dia tersenyum, menatap langit. “Hujan adalah cara waktu memberi tahu kita bahwa cinta masih turun ke bumi.”

Menjelang malam, kami berdiri di depan kuil yang mulai gelap.

Permaisuri menatap matahari tenggelam, lalu berkata pelan, “Aku sudah tua, Mika. Tapi kalau waktu memberiku satu hari lagi, aku ingin hidup di dunia yang kalian selamatkan — bukan sebagai permaisuri, tapi sebagai ibu, warga biasa.”

Aku tersenyum hangat. “Dunia ini masih butuh orang seperti Anda.”

Dia menatapku dalam. “Dan dunia ini butuh orang sepertimu, Mika. Penjaga waktu yang tahu bahwa cinta bukan tentang menahan, tapi membiarkan pergi dengan tenang.”

Aku menunduk, air mata kembali menetes.

Permaisuri memegang pundakku, lembut tapi tegas. “Jangan biarkan waktu menentukan siapa kau. Karena waktu hanya tahu bagaimana berputar, bukan bagaimana mencintai.”

Kami berpelukan lama di bawah langit jingga yang berubah jadi kelam.

Dan ketika aku menatap ke arah sungai dari kejauhan, aku bersumpah melihat dua siluet — satu pria muda dengan jubah hitam, satu anak kecil berlari di belakangnya.

Akira… dan Riku.

Mereka melambai, sebelum larut dalam cahaya senja.

Aku tersenyum.

Untuk pertama kalinya, tidak ada air mata, hanya rasa damai.

“Waktu tidak lagi menahan siapa pun,” pikirku.

“Karena akhirnya, bahkan permaisuri pun telah berhenti menangis.”

1
Luke fon Fabre
Waw, nggak bisa berhenti baca!
Aixaming
Nggak kebayang akhirnya. 🤔
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!