Tiga Tahun berumah tangga, Amanda merasa bahwa pernikahannya benar-benar bahagia, tapi semua berubah saat ia bertemu Yuni, sahabat lamanya.
Pertemuan dengan Yuni, membawa Amanda pergi ke rumah tempat Yuni tinggal, dimana dia bisa melihat foto pernikahan Yuni yang bersama dengan pria yang Amanda panggil suami.
Ternyata Yuni sudah menikah lima tahun dengan suaminya, hancur, Amanda menyadari bahwa dia ternyata adalah madu dari sahabatnya sendiri, apakah yang akan Amanda lakukan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Tiga Puluh Tiga
Hari sidang pertama itu akhirnya tiba.
Pagi itu, langit tampak mendung seolah ikut menanggung beratnya perasaan seseorang yang tengah berdiri di halaman Pengadilan Agama. Azka memandang gedung itu lama, dadanya terasa penuh, langkahnya berat. Jaket hitam yang ia kenakan tak cukup untuk menutupi gugup dan getir yang menyelimuti dirinya.
Ia datang lebih awal, berharap bisa melihat Amanda sebelum sidang dimulai. Mungkin, pikirnya, masih ada kesempatan bicara. Masih ada kemungkinan untuk memperbaiki semuanya.
Tapi waktu berjalan. Setengah jam berlalu. Kemudian satu jam. Amanda tak muncul juga.
Yang datang justru seorang pria paruh baya dengan jas abu-abu rapi, wajahnya tenang dan profesional, Roni, pengacara Amanda.
Azka segera mengenalinya. Mereka pernah bertemu singkat saat pertemuan di kantor Davino dulu. Dia langsung menduga itu pengacara istrinya.
Roni menghampiri meja pendaftaran, menyerahkan berkas, lalu menoleh sekilas ke arah Azka yang duduk di kursi tunggu. Tatapan singkat, datar, tapi sopan.
Azka berdiri, menghampirinya. “Pak Roni,” suaranya bergetar menahan emosi. “Amanda di mana?”
Roni menatapnya sesaat sebelum menjawab, nada suaranya tetap tenang. “Maaf, Pak Azka. Klien saya tidak bisa hadir hari ini. Beliau memberikan kuasa penuh kepada saya untuk mewakilinya.”
Azka mengernyit. “Kenapa nggak datang sendiri? Ini kan soal pernikahan kami! Setidaknya dia bisa bicara langsung.”
Roni menarik napas pelan. “Beliau merasa tidak perlu hadir, karena semua sudah dijelaskan dalam gugatan. Sidang hari ini hanya tahap awal. Nanti majelis hakim akan memutuskan apakah perlu mediasi atau tidak.”
Azka menatapnya lama, rahangnya mengeras. “Saya pengin ketemu dia, Pak. Tolong kasih tahu saya di mana Amanda sekarang. Saya cuma mau bicara baik-baik.”
Roni menggeleng pelan, nada suaranya tetap netral. “Maaf, Pak Azka. Saya tidak bisa memberikan informasi pribadi tentang klien saya. Itu melanggar kode etik.”
“Privasi?” suara Azka meninggi sedikit. “Saya suaminya! Saya berhak tahu!”
Beberapa orang di ruang tunggu mulai menoleh. Roni menatap sekeliling sebentar lalu menurunkan suaranya. “Saya mengerti, tapi saya tetap tidak bisa. Ibu Amanda berhak menentukan siapa yang boleh tahu keberadaannya. Dan sejauh ini, beliau tidak mengizinkan saya memberi tahu siapa pun.”
Azka mengepalkan tangan, menahan amarah yang mulai naik ke tenggorokan. “Jadi kamu sengaja nyembunyiin dia, gitu?”
Roni tetap tenang. “Saya hanya menjalankan tugas, Pak. Tidak lebih.”
Azka mengembuskan napas keras, berusaha menahan diri. Tapi wajahnya merah, matanya berair. “Dia pergi dan menghilang tanpa kabar, lalu sekarang malah kirim surat cerai lewat pengacara. Kamu tahu nggak gimana rasanya?”
Roni tidak menjawab. Ia hanya menatap Azka dengan pandangan penuh pengertian. “Saya mengerti perasaan Anda, Pak. Tapi, mungkin yang terbaik sekarang adalah fokus pada proses mediasi nanti. Jika memang Ibu Amanda bersedia, sidang berikutnya bisa jadi kesempatan untuk bicara.”
Azka terdiam. Ia menatap lantai, bahunya turun perlahan. Semua tenaga seperti lenyap dari tubuhnya. “Mediasi …,” gumamnya pelan. “Kalau dia nggak mau datang juga, buat apa?”
“Kalau itu keputusannya,” kata Roni lembut, “Mungkin Anda harus belajar menerima.”
Kata-kata itu sederhana, tapi terasa seperti batu besar yang dijatuhkan di dada Azka. Ia tak bisa menahan lagi air matanya yang akhirnya menetes pelan. “Aku cuma pengin dia tahu, aku masih cinta sama dia.”
Roni menghela napas. “Mungkin dia tahu, Pak. Tapi kadang cinta saja memang tidak cukup.”
Setelah itu, percakapan berhenti. Azka kembali duduk di kursi tunggu hingga namanya dipanggil oleh panitera. Sidang berjalan singkat, formal, penuh istilah hukum yang sebagian besar hanya lewat di telinganya. Ia tak benar-benar mendengarkan. Satu-satunya yang terus berputar di kepalanya hanyalah wajah Amanda, yang tidak pernah muncul hari itu.
Sementara itu, di kota lain, kedua orang tua Azka memutuskan melakukan sesuatu tanpa sepengetahuan anak mereka. Mereka kembali datang ke kota tempat tinggal menantunya Yuni.
Setelah menempuh perjalanan dua jam diudara, mereka akhirnya sampai. Mama menatap pagar rumah bercat krem itu dengan tatapan ragu. “Apakah Yuni mau menemui kita, Pa?"
"Semoga saja," jawab Papa Azka singkat.
Mereka turun dari taksi. Mama menarik napas panjang sebelum menekan bel. Tak lama kemudian, pintu pagar terbuka sedikit. Seorang anak laki-laki kecil muncul dari balik pintu.
“Nathan?” sapa Mama Azka lembut.
Anak itu menatap sebentar, kemudian tersenyum. “Nenek?”
Mama ikut tersenyum. “Iya, Nak. Nenek sama Kakek mau ketemu Bunda kamu. Apa bundanya ada?”
Nathan mengangguk kecil, lalu berlari masuk memanggil. Tak lama kemudian, dari dalam rumah muncul sosok Yuni. Ia mengenakan baju rumah berwarna lembut, wajahnya tampak lebih tirus dari terakhir kali mereka bertemu. Tatapannya kaku, tapi tidak marah. Lebih ke lelah.
“Ada apa, Ma, Pa?” tanyanya datar, berdiri di ambang pintu.
Mama menatapnya penuh harap. “Yuni, boleh kami masuk sebentar?”
Awalnya Yuni tampak ragu. Tapi setelah melihat Nathan yang berdiri di sampingnya dengan mata penasaran, ia akhirnya membuka pintu lebih lebar. “Silakan.”
Mereka bertiga duduk di ruang tamu. Ada aroma teh melati dari cangkir yang disajikan Yuni. Namun suasana tetap canggung.
Beberapa menit hanya diisi oleh diam, sampai akhirnya Papa membuka suara. “Yun, kami datang karena ingin bicara baik-baik.”
Yuni menatap mereka tanpa ekspresi. “Tentang apa?”
“Azka,” jawab Mama pelan.
Nama itu membuat Yuni menghela napas panjang. “Azka sudah nggak mau bahas dia, Ma.”
“Tapi tolong dengarkan dulu,” pinta Mama. “Amanda sudah pergi, Yun.”
Yuni menoleh pelan, alisnya berkerut. “Pergi ke mana?”
“Dia gugat cerai Azka,” sambung Papa tenang. “Suratnya sudah datang minggu lalu. Sekarang tinggal menunggu sidang.”
Yuni terdiam. Tangannya yang tadi memegang cangkir tiba-tiba gemetar sedikit. “Jadi … mereka benar-benar pisah?”
Mama mengangguk. “Iya. Dan sekarang, hanya kamu yang masih sah sebagai istrinya.”
Kalimat itu membuat Yuni mengalihkan pandangan. Ia menatap ke arah jendela, berusaha menyembunyikan air matanya yang hampir jatuh. “Aku nggak tahu harus senang atau sedih dengar itu, Ma. Karena semua ini bukan hal yang aku inginkan.”
Papa menatapnya serius tapi lembut. “Kami tahu Azka banyak salah. Tapi dia juga manusia, Yun. Dia menyesal.”
Yuni tersenyum miris. “Penyesalan nggak akan bisa mengubah apa pun, Pa. Luka yang dia buat terlalu dalam.”
Mama menggenggam tangan Yuni pelan. “Kami tahu. Tapi tolong … kalau bukan buat dia, maafkanlah demi Nathan. Anak itu butuh ayahnya.”
Yuni menatap tangan Mama di atas tangannya. “Selama ini hanya aku yang berjuang buat Nathan, Ma. Tanpa Azka. Waktu dia sibuk dengan wanita lain, aku sendirian. Sekarang kenapa aku harus membuka pintu untuk orang yang menutup hatinya untukku?”
Mama menunduk, tak bisa menjawab. Tapi kemudian ia berkata lirih, “Karena kamu perempuan yang berhati besar, Yun. Kami selalu lebih suka kamu jadi menantu kami. Kamu sederhana, sabar, dan sayang keluarga. Kami menyesal nggak lebih tegas waktu Azka mulai berubah.”
Air mata Yuni akhirnya jatuh. “Tapi sekarang semuanya sudah terlambat, Ma.”
Papa menatapnya dalam. “Tidak ada kata terlambat untuk memaafkan. Kalau kamu belum bisa menerima Azka lagi, kami paham. Tapi jangan tutup pintu sepenuhnya. Nathan tetap anaknya. Biarkan hubungan mereka tetap terjaga.”
Yuni menatap mereka, matanya basah. “Aku nggak akan melarang Mas Azka ketemu Nathan. Mas Azka sendiri yang tak mau menemui anaknya. Tapi tolong, jangan paksa aku kembali. Aku belum siap.”
Mama mengangguk pelan. “Kami nggak akan paksa, Nak. Kami cuma mau kamu tahu, kami di pihakmu. Bukan karena kami marah pada Amanda, tapi karena kami tahu kamu yang paling banyak terluka.”
Suasana hening. Nathan yang sejak tadi bermain di pojok ruangan tiba-tiba menghampiri mereka, memeluk kaki Yuni.
“Bunda, aku kangen ayah,” ucap Nathan dengan polos.
Yuni menunduk, memeluk anak itu erat. “Mama tahu, Nak.”
Mama menatap pemandangan itu sambil menahan air mata. Ia tahu, mungkin butuh waktu lama untuk memperbaiki semuanya. Tapi setidaknya hari ini, mereka sudah mencoba membuka jalan.
Sore menjelang ketika Papa dan Mama berpamitan. Yuni mengantar mereka sampai ke teras. Sebelum naik taksi, Mama sempat memegang tangan Yuni lagi.
“Kalau ada apa-apa, kabari kami ya, Yun. Kamu tetap bagian dari keluarga ini.”
Yuni hanya mengangguk, matanya masih berkaca. “Terima kasih, Ma.”
Mobil itu perlahan menjauh, meninggalkan Yuni berdiri di depan rumah dengan Nathan yang menggenggam tangannya. Ia menatap langit yang mulai jingga. Ada rasa sesak, tapi juga sedikit lega. Mungkin, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, dia merasa tidak sendirian. Ada mertuanya yang selalu berpihak padanya.
supaya adil tdk ada yg tersakiti..
amanda dan yuni berpisah saja..
klo terus bersm yuni hanya amanda yg diikiran azka ..hanya u status nathan..
klo terus dengan amanda..azka melepas yuni merampas nathan..bagai mana perasaan yuni apalagi amanda sahabat nya..
kita mah pembaca nurut aja gimana kak authornya..walau baper gemesh😂😂😂
.manda juga milih mundur .yuni sangking cinta nya ke azka repot jg ya😤