Shen Wuyan lahir dengan ribuan wajah di dalam jiwanya.
Setiap wajah punya kekuatan dan masa lalu sendiri.
Saat dunia mengejarnya sebagai iblis, ia sadar—
menjadi iblis sejati bukan berarti kehilangan kemanusiaan,
tapi menerima semua sisi manusia yang ia benci.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Demon Heart Sage, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12 — Pertarungan Pertama
Langit masih berat setelah hujan. Awan kelabu menggantung rendah di atas lembah, menahan sisa gemuruh yang belum mau pergi. Tanah di halaman latihan sekte Langit Tenang basah dan memantulkan cahaya pucat dari obor yang belum padam. Udara penuh dengan aroma besi basah dan tanah yang terguncang oleh aliran spiritual yang tak stabil.
Shen Wuyan berdiri di tengah halaman, mengusap telapak tangannya yang kedinginan. “Qi di sekitar sini masih kacau,” gumamnya. Nafasnya membentuk kabut tipis. Beberapa murid lain sibuk mengeringkan peralatan latihan, tak menyadari tekanan samar yang menggantung di udara.
Namun, Wuyan merasakannya — denyut halus dari sesuatu yang bukan manusia.
Sesuatu yang menatap.
Dari balik pepohonan, kabut perlahan menebal. Daun-daun berguncang tanpa angin, dan hawa dingin yang menusuk sumsum menjalar pelan ke kulit. Dalam kabut itu, muncul suara samar… seperti napas yang patah-patah.
“Berhenti bergerak,” kata Wuyan dengan tenang. Murid lain menghentikan aktivitasnya, menatap ke arahnya dengan bingung.
“Kenapa, Senior Shen?”
Ia tak menjawab. Tatapannya tajam ke arah kabut, dan jari-jarinya mulai membentuk mudra kecil di depan dada. Qi-nya bergetar, mengalir dalam pola tak sempurna — masih belum stabil setelah insiden terakhir. Namun sesuatu dalam dirinya tahu, bahaya sedang mendekat.
Kabut itu kemudian pecah — dan keluar dari dalamnya, makhluk itu muncul.
Sosok tinggi dengan tubuh terbuat dari tulang dan kabut perak, matanya seperti dua bara yang mati. Dari setiap retakan tulangnya, keluar bisikan samar seperti rintihan manusia yang dicabik dari mimpi buruk.
Murid-murid lain mundur ketakutan. “Apa itu… roh rusak?”
“Tidak,” Wuyan menjawab dengan nada rendah. “Itu bukan roh biasa. Itu sesuatu yang pernah hidup… dan dipaksa mati dua kali.”
Makhluk itu mengaum — suaranya mengguncang udara. Angin dingin menyapu halaman. Wuyan menatap tajam, lalu melangkah maju, memutar pergelangan tangannya. Qi-nya menumpuk, membentuk pola energi keunguan di sepanjang lengannya.
Namun di dalam dirinya, suara lain berbisik.
“Kau akan gagal lagi jika hanya mengandalkan kekuatanmu sendiri.”
Wuyan menutup mata sejenak. “Diam.”
“Kau sudah tahu caranya… biarkan aku membantu.”
Bayangan itu berbicara lembut tapi dingin, seperti gelombang laut yang naik perlahan sebelum menelan segalanya. Di balik kelopak matanya, Wuyan melihat wajahnya sendiri — samar, hitam, tanpa mata.
Ia menarik napas panjang. “Tidak kali ini.”
Makhluk itu menyerang. Dalam sekejap, kabutnya berubah menjadi tangan-tangan yang mencakar udara. Wuyan melompat mundur, membentuk segel perisai qi, tapi gelombang energi dari serangan itu membuat tubuhnya terhempas ke belakang.
Darah terasa hangat di bibirnya.
“Senior Shen!” salah satu murid berteriak. Tapi Wuyan mengangkat tangan, memberi isyarat agar mereka tidak mendekat. Ia berdiri, menatap makhluk itu dengan pandangan gelap.
Di dalam tubuhnya, Hun dan Po bergetar tak sinkron.
Rasa panas menjalar ke dada.
Dan suara ketiga muncul — bukan milik bayangan, bukan pula miliknya.
“Kau meminjam kekuatanku… tapi menolak kehadiranku?”
Wuyan membeku. Suara itu rendah, familiar, namun penuh amarah. Liang Yu.
Seketika, dada Wuyan terasa berat. Pandangannya bergetar — bayangan wajah Liang Yu muncul di antara kabut, tepat di sisi makhluk itu, seolah keduanya satu wujud.
“Tidak… kau bukan dia.”
“Aku bagian darimu sekarang.” Suara itu tertawa lirih, disertai gema samar yang membuat seluruh tubuh Wuyan menggigil. “Tapi kau terus berpura-pura seolah aku mati.”
Makhluk itu kembali menyerang. Kali ini cepat. Wuyan tak sempat berpikir — ia hanya menurunkan tangan, membiarkan energi dari dalam tubuhnya meledak. Hun dan Po berputar liar, membentuk pusaran cahaya gelap di sekelilingnya.
Udara pecah. Tanah bergetar.
Serangan makhluk itu berhenti beberapa langkah darinya, tertahan oleh dinding qi hitam keunguan yang berdenyut seperti jantung. Namun bayangan Wuyan — yang sebelumnya hanya samar di tanah — kini menegak di belakangnya, bergerak tidak sesuai dengan gerak tubuhnya sendiri.
“Sekarang kau meminjam kekuatanku juga,” bisik bayangan itu, suaranya hampir lembut. “Tapi apa kau yakin bisa menahannya?”
Wuyan menggertakkan gigi. “Selama aku sadar, aku masih mengendalikannya.”
Bayangan tertawa pelan. “Kesadaran hanyalah tirai, Wuyan. Begitu koyak sedikit saja, aku yang akan mengambil alih.”
Ia tidak menjawab. Ia hanya fokus. Qi-nya berdenyut makin keras, menyalakan pola kuno di sepanjang kulitnya. Retakan cahaya tampak muncul di bawah kakinya, dan udara di sekeliling berubah berat, menekan dada semua orang yang masih berdiri di sana.
Makhluk itu maju lagi, tapi Wuyan sudah bergerak. Dalam sekejap, tubuhnya melesat seperti bayangan, menghantam dada makhluk itu dengan telapak tangan. Ledakan qi yang keluar membuat kabut di sekitarnya menyebar, menciptakan gelombang yang mengguncang pepohonan di sekitar halaman.
Makhluk itu menjerit. Retakan muncul di tubuh tulangnya. Dari dalam, sinar perak keluar seperti darah spiritual.
Namun saat Wuyan hendak melanjutkan serangan, tubuhnya membeku.
Matanya tiba-tiba memanas.
Dunia di sekitarnya bergetar — dan dalam sekejap, ia tidak lagi berdiri di halaman sekte.
Ia berdiri di lautan perak. Lagi.
Laut Tanpa Dasar.
Wajah-wajah itu menatapnya dari bawah permukaan air. Dan di antaranya — Liang Yu, tersenyum getir.
“Kau terus mengulang dosa yang sama,” kata Liang Yu, suaranya tenang tapi menusuk. “Kau membunuh… lalu menyerap… hanya karena takut kehilangan.”
Wuyan menatap ke bawah. “Aku tidak punya pilihan.”
“Selalu ada pilihan.”
Dunia itu bergetar, dan ia kembali ke tubuhnya — tapi kini qi-nya tak terkendali.
Matanya berubah keunguan sepenuhnya. Energi spiritualnya meledak liar, mencabik udara.
Bayangan di belakangnya menatap dengan ekspresi tak terbaca. “Lihat, bahkan wajah pertamamu tak mau diam. Ia marah.”
Wuyan berlutut, menahan dadanya. Setiap napas seperti pisau. Energi Hun–Po di dalam tubuhnya bertabrakan.
“Berhenti… hentikan suara kalian…”
“Kau tidak bisa melawan bagian dari dirimu sendiri,” jawab bayangan, kini berdiri di depannya, wajahnya samar, seperti kabut yang berubah bentuk. “Semakin kau menolak kami, semakin cepat dirimu hancur.”
Makhluk tulang itu kembali bergerak, tapi sebelum bisa menyerang, Wuyan berdiri lagi.
Kali ini tanpa ragu.
Energi hitam keunguan membalut tubuhnya sepenuhnya — seperti jubah kabut.
“Baiklah,” katanya pelan. “Kalau aku harus kehilangan sebagian diriku untuk menang, maka biarlah.”
Ia menatap makhluk itu, lalu menembus ke arahnya dengan gerakan cepat.
Satu tebasan tangan.
Satu dentuman keras.
Makhluk itu meledak menjadi ribuan partikel cahaya perak, menjerit sebelum lenyap ke udara.
Namun ketika semuanya berakhir, Wuyan tidak segera berdiri tegak.
Tubuhnya bergetar, dan dalam pantulan air hujan di tanah, ia melihat tiga bayangan berdiri bersamanya — dirinya, bayangan hitamnya, dan wajah Liang Yu di antara mereka.
Ketiganya menatap satu sama lain dalam diam.
Hening.
Hanya suara hujan yang menetes perlahan dari atap aula pelatihan.
Udara terasa berat, seperti baru saja menyaksikan sesuatu yang seharusnya tidak terjadi. Shen Wuyan berdiri di tengah halaman yang porak-poranda — tanahnya berlubang, bebatuan spiritual retak, dan jejak qi hitam masih berputar seperti pusaran asap.
Di hadapannya, kabut perak perlahan menghilang, meninggalkan hanya serpihan tulang makhluk itu yang kini mencair menjadi embun.
Namun Wuyan tahu, pertempuran sebenarnya belum selesai.
Ia menatap ke bawah — pantulan air di genangan menampilkan wajah yang bukan miliknya.
Liang Yu.
Tersenyum samar.
Menyedihkan, tapi juga menuduh.
“Jangan muncul lagi,” bisik Wuyan.
Namun suara itu menjawab, lembut tapi menohok.
“Kau sudah memanggilku. Kau hanya menolak mengakuinya.”
Wuyan menutup matanya. Hujan turun semakin deras, membasahi rambutnya, menuruni wajahnya seperti darah dingin. Ia ingin merasakan hanya dingin air — tapi yang ia rasakan hanyalah kehangatan aneh di dalam dadanya.
Energi itu berdenyut.
Hun dan Po terus bertarung dalam pusaran liar di tubuhnya, membuat dunia di sekitarnya terasa seperti berputar.
Ia mundur beberapa langkah, menatap ke arah tangan kanannya yang masih bergetar. Pola retakan qi ungu di sepanjang kulitnya belum hilang.
Dan di ujung jemarinya, kilau perak samar — sisa jiwa monster itu — mengalir masuk perlahan ke tubuhnya, menyatu tanpa ia sadari.
“Aku... menyerapnya lagi?” gumamnya.
Suaranya serak, nyaris tak terdengar di tengah deras hujan.
“Jiwa itu tidak murni,” bisik bayangan dari belakangnya. “Tapi kau membiarkannya masuk. Kau tahu apa artinya itu, bukan?”
Wuyan tidak menjawab. Ia menatap ke langit. Petir samar menyalakan siluet gunung jauh di balik kabut. Dalam cahaya sesaat itu, ia melihat dua bayangan di tanahnya sendiri — satu mengikuti gerakannya, satu lagi berdiri diam, mengamati.
“Kalau aku menolak kekuatan ini,” katanya pelan, “apa aku bisa menyelamatkan siapa pun?”
Bayangan tertawa pendek. “Pertanyaan yang bodoh. Tapi setidaknya, itu pertanda kau mulai menyerah pada kejujuran.”
Wuyan menunduk. “Kejujuran?”
“Ya. Bahwa kau haus kekuatan. Bahwa setiap darah yang kau lihat hanya membuatmu ingin bertahan sedikit lebih lama. Kau bukan murid suci lagi, Wuyan. Kau calon iblis sejati yang masih belajar berdusta pada dirinya sendiri.”
Ucapan itu menggema di dalam pikirannya, dan sesuatu dalam dirinya runtuh sedikit demi sedikit.
Hujan turun lebih deras, memukul tanah dan tubuhnya tanpa ampun, tapi rasa itu tak menenangkan sama sekali.
Ia berlutut. Tangan kirinya menekan dada, sementara suara-suara di kepalanya mulai tumpang tindih.
Bayangan. Liang Yu. Dirinya sendiri.
Semuanya berbicara — tumpang tindih, saling menuduh, saling memanggil.
“Kau mengambilku tanpa izin.”
“Aku hanya ingin hidup.”
“Kita sama.”
“Tidak. Aku masih aku.”
“Benarkah?”
Suara terakhir itu menggema paling keras.
Tiba-tiba, pandangannya berubah gelap.
Wuyan tersadar berada di ruang hitam yang tanpa batas — seperti lautan tanpa warna.
Di sana, tiga sosok berdiri di hadapannya: dirinya sendiri, bayangan hitamnya, dan Liang Yu dalam wujud samar cahaya perak.
Ketiganya membentuk segitiga yang tak stabil.
Cahaya spiritual berdenyut di antara mereka.
“Ini ranah jiwa,” desis Wuyan. “Aku... terperangkap?”
Bayangan menatapnya datar. “Tidak. Ini bukan perangkap. Ini pertemuan pertama kita sebagai tiga wajah dalam satu tubuh.”
Liang Yu menatapnya dengan mata kosong. “Dan kau harus memilih.”
“Memilih apa?”
Bayangan menjawab pelan, tapi tajam, “Siapa yang akan menjadi ‘kau’.”
Keheningan panjang.
Wuyan menatap keduanya satu per satu.
Liang Yu tampak rapuh, namun cahaya di tubuhnya begitu murni. Bayangan, sebaliknya, gelap pekat tapi berdenyut kuat, seperti nadi kehidupan.
“Aku tidak akan memilih,” katanya akhirnya. “Kalian berdua bagian dariku.”
Bayangan tersenyum samar. “Kau pikir itu pilihan bijak?”
Liang Yu menatap dengan tatapan dingin. “Maka bersiaplah menanggung semuanya, Shen Wuyan. Karena mulai sekarang, setiap darah yang kau tumpahkan… akan membangunkan wajah kami satu per satu.”
Tiba-tiba, dunia itu pecah. Suara ledakan menggema, dan Wuyan terlempar kembali ke dunia nyata. Ia tersedak udara, menatap sekeliling. Hujan sudah reda — tapi semua murid yang tadi bersamanya kini berjarak, menatapnya dengan wajah pucat.
“Senior Shen… apa yang barusan kau lakukan?” salah satu dari mereka bersuara dengan gemetar.
Wuyan menatap tangannya — penuh noda darah hitam yang mulai menguap seperti asap. Ia ingin menjawab, tapi tak ada kata yang keluar.
“Energi spiritualmu…” murid itu mundur. “Itu bukan energi manusia lagi.”
Ia hanya diam.
Dalam diam itu, langkah pelan terdengar dari arah aula. Elder Ming Zhao muncul dari balik kabut — jubahnya basah, rambut putihnya berantakan oleh hujan.
Tatapan sang elder menusuk, penuh kesedihan dan amarah yang tertahan. “Apa yang telah kau lakukan, Wuyan?”
Wuyan menunduk. “Aku bertarung.”
“Tidak,” kata sang elder dengan suara berat. “Kau membiarkan jiwamu robek lagi.”
Kata-kata itu menghantam seperti pedang. Bayangan di belakang Wuyan menatap diam, lalu menghilang dalam kabut samar. Liang Yu tak tampak lagi — tapi rasa kehadirannya masih terasa di dada, berdenyut lembut seperti detak jantung kedua.
Elder Ming Zhao mendekat, menatap langsung ke mata muridnya. “Kau tahu apa akibatnya?”
“Aku tahu,” jawab Wuyan pelan. “Tapi aku juga tahu apa artinya diam saat yang lain mati.”
Sang elder memejamkan mata sejenak, lalu berbisik, “Kau melangkah di jalan yang tidak bisa kau kembali.”
Wuyan tersenyum lemah. “Mungkin. Tapi aku sudah berjalan terlalu jauh untuk berhenti.”
Hening lagi.
Hanya sisa angin yang meniup abu spiritual dari tubuh makhluk itu.
Murid-murid mulai bubar, tapi beberapa masih menatap Wuyan dengan ketakutan. Bukan karena kekuatannya — tapi karena sesuatu di dalam sorot matanya yang kini berbeda: dingin, namun menyala seperti bara di bawah salju.
Elder Ming Zhao berbalik tanpa bicara lagi, meninggalkan halaman yang masih berkabut. Wuyan berdiri sendirian di tengah kehancuran, menatap tangannya sekali lagi.
Di sana, di antara retakan cahaya ungu dan bekas darah spiritual, muncul pantulan wajah lain. Liang Yu.
Wajah itu menatapnya dengan mata kosong — tidak marah, tidak sedih, hanya… kecewa.
Lalu bibirnya bergerak pelan, tanpa suara, tapi kata-katanya bergema langsung di benak Wuyan:
“Kau seharusnya tidak menggunakan kekuatanku untuk membunuh.”
Wuyan menatap balik. “Kalau aku tidak membunuh, aku yang akan mati.”
Namun pantulan itu perlahan menghilang, meninggalkan permukaan air yang kembali tenang.
Bayangan Wuyan muncul lagi di belakangnya, samar namun jelas tersenyum.
“Selamat datang,” katanya pelan. “Kau baru saja menulis wajah pertamamu dengan darah.”
Wuyan menatap langit yang mulai cerah. Di ufuk timur, matahari berusaha menembus sisa kabut. Tapi di matanya, cahaya itu terasa terlalu jauh untuk disentuh.
Ia tahu — mulai saat itu, dirinya bukan lagi murid Sekte Langit Tenang sepenuhnya.
Ia adalah wadah dari sesuatu yang belum memiliki nama, tapi sudah menuntut eksistensi.
Hujan berhenti.
Namun suara di dalam kepalanya belum.
Masih ada bisikan lembut dari dalam, seolah Laut Tanpa Dasar beriak lagi — menunggu wajah berikutnya lahir dari dalam dirinya.