NovelToon NovelToon
MANTAN TENTARA BAYARAN: IDENTITAS ASLINYA SEORANG MILIARDER

MANTAN TENTARA BAYARAN: IDENTITAS ASLINYA SEORANG MILIARDER

Status: sedang berlangsung
Genre:Identitas Tersembunyi / Mata-mata/Agen / Trauma masa lalu / Action / Romantis / Crazy Rich/Konglomerat
Popularitas:10.3k
Nilai: 5
Nama Author: BRAXX

Mereka memanggilnya Reaper.

Sebuah nama yang dibisikkan dengan rasa takut di zona perang, pasar gelap, dan lingkaran dunia bawah.

Bagi dunia, dia adalah sosok bayangan—tentara bayaran tanpa wajah yang tidak meninggalkan jejak selain mayat di belakangnya.

Bagi musuh-musuhnya, dia adalah vonis mati.

Bagi saudara seperjuangannya di The Veil, dia adalah keluarga.

Namun bagi dirinya sendiri... dia hanyalah pria yang dihantui masa lalu, mencari kenangan yang dicuri oleh suara tembakan dan asap.

Setelah misi sempurna jauh di Provinsi Timur, Reaper kembali ke markas rahasia di tengah hutan yang telah ia sebut rumah selama enam belas tahun. Namun kemenangan itu tak berlangsung lama. Ayah angkatnya, sang komandan, memberikan perintah yang tak terduga:

“Itu adalah misi terakhirmu.”

Kini, Reaper—nama aslinya James Brooks—harus melangkah keluar dari bayang-bayang perang menuju dunia yang tak pernah ia kenal. Dipandu hanya oleh surat yang telah lusuh, sepotong ingatan yang memudar, dan sua

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BRAXX, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

MENCOBA MENEMUI

James menatap berkas yang dikirim oleh Paula, cahaya dari layar menerangi baris-baris yang menggambarkan perjalanan berat yang ditempuh oleh ibunya. Wanita itu telah berjuang bangkit dari kehilangan yang tak terbayangkan—kehilangan dirinya saat masih kecil, membangun kembali hidupnya dari pecahan hati yang hancur. Ia menikah lagi, menemukan pria baik bernama Julian, dan membangun keluarga bersama anak kembar mereka. Namun saat hidup tampak mulai tenang, takdir kembali kejam: Julian jatuh sakit parah, koma berkepanjangan, dan tagihan yang menumpuk membebani pundaknya.

Membaca jadwal harian yang tertera di berkas itu, James melihat rutinitas tak kenal lelah ibunya—bangun pagi untuk menyiapkan si kembar, mengantar mereka ke sekolah, lalu berangkat kerja dengan tekad kuat, dan kembali di sore hari untuk merawat Julian. Itu adalah keseimbangan yang rapuh, seorang ibu yang menahan segalanya agar tetap utuh meski dunia terus menekan.

James mengeluarkan ponselnya dan segera menekan angka nol, jarinya bergerak cepat dengan kebiasaan yang terlatih. Sambungan terhubung hampir seketika, dan suara tenang serta mantap terdengar di seberang.

“Dokter Calvin berbicara,” ujar sang dokter dengan nada hormat namun akrab, jelas menandakan hubungan kerja yang sudah terjalin lama. “Ada apa, bos? Kau jarang menelpon langsung kecuali ini penting.”

James terdiam sejenak, menata pikirannya, lalu berbicara dengan ketenangan yang berwibawa. “Ada seorang pasien di Crestent Bay yang butuh perhatian segera. Aku ingin kau kesana secepat mungkin. Paula akan mengirimkan semua detail dan lokasinya. Ini harus ditangani besok. Jangan ada kesalahan. Kau tahu betapa pentingnya hal ini.”

Dokter Calvin tidak ragu, suaranya penuh kesetiaan dan tekad yang tak tergoyahkan. “Dimengerti, bos. Kau selalu mempercayakan kasus berat padaku, dan aku takkan mengecewakanmu kali ini. Kirimkan saja berkas dan koordinatnya, aku akan segera menyiapkan segalanya. Kau memiliki janjiku, aku akan lakukan segalanya secepat dan seefisien mungkin.”

James merasakan rasa lega yang akrab—kelegaan karena tahu ada seseorang seperti Calvin di sisinya. “Bagus. Aku mengandalkanmu, Calvin. Ini bukan kasus biasa.”

“Tak pernah ada yang biasa kalau menyangkut dirimu,” jawab Dokter Calvin dengan nada setengah tersenyum. “Tapi kau tahu aku akan selalu siap. Aku akan berkemas sekarang juga dan berangkat segera setelah mendapat detailnya. Tak ada yang bisa menangani situasi seperti ini selain kita, bos.”

James menutup panggilan dan segera mengirim pesan pada Paula, memerintahkannya untuk meneruskan semua berkas dan informasi yang diperlukan kepada Dokter Calvin tanpa penundaan.

James memasukkan kembali ponselnya ke saku, beban percakapan itu masih terasa di pikirannya. Ia bersandar di kursi kulit Rolls-Royce yang mewah, sementara Lukas menyetir melewati jalan-jalan sepi menuju penthouse yang telah diatur oleh Paula. Lampu kota berpendar di luar jendela, namun pikirannya jauh dari gemerlap langit malam.

Berkas yang dikirim Paula bukan sekadar ringkasan hidup Sophie—itu adalah bukti keteguhannya. Setelah kehilangan segalanya, dia bangkit dari abu. Dia menemukan cinta lagi, pria baik bernama Julian, dan membangun keluarga meski luka masa lalu masih membekas. Namun takdir kembali mempermainkannya dengan penyakit Julian. Tagihan medis yang menumpuk, perjuangan diam-diam melawan penagih hutang—semua itu adalah pertempuran yang ia jalani sendiri, di balik wajah yang tampak tenang.

James mengizinkan dirinya untuk sejenak merenung. Bertahun-tahun dia menghindari masa lalu, mengubur rasa sakit di balik lapisan dingin dan diam. Tapi kini, melihat ibunya berjuang untuk bertahan dan menjaga keluarganya tetap utuh, membangkitkan sesuatu di dalam dirinya—tekad untuk tidak hanya mencari jawaban, tapi juga melindungi apa yang masih tersisa.

Dia melirik jam. Malam telah sepenuhnya turun, dan denyut kota melambat menjadi irama lembut. Besok, dia memutuskan, dia akan menemui mereka—Sophie dan si kembar. Tidak ada lagi waktu untuk ragu. Masa lalu bukan lagi bayangan jauh. Masa itu telah datang, menunggu.

Ponselnya bergetar lembut di tangan. Pesan dari Paula memastikan bahwa Dokter Calvin telah menerima berkas dan sedang bersiap untuk berangkat. Pikiran James beralih ke urusan logistik. Dia butuh istirahat—tapi bukan sembarang istirahat.

Saat Lukas menghentikan mobil di depan penthouse, kemewahan yang tenang di dalamnya terasa asing dan dingin dibandingkan kehangatan rumah yang baru saja ia tinggalkan. Di dalam, James melepas mantelnya dan duduk di kursi dekat jendela, menatap kota yang terhampar di bawah sana.

Malam menyelimuti penthouse dalam bayangan ketika akhirnya James tertidur dengan gelisah. Namun malam itu, kedamaian adalah hal yang asing.

Dalam mimpinya, udara terasa berat oleh kabut dingin yang menyesakkan. Dia berdiri di koridor redup, dindingnya lembab dan retak, gema bisikan samar menggema di sekelilingnya. Tiba-tiba, tangisan lembut seorang anak menembus keheningan—rapuh, putus asa.

Di depan, seorang wanita muncul, wajahnya kabur, fitur-fitur bergeser seperti asap. Dia berjuang, ditarik oleh tangan-tangan tak terlihat, suaranya pecah menembus kabut saat dia mengulurkan tangan gemetar.

“Mama...!” James berteriak, kata itu pecah dari tenggorokannya dengan rasa sakit yang murni.

Namun wanita itu semakin menjauh ke dalam kegelapan, menghilang seiring setiap jeritan putus asa. Koridor itu terasa tak berujung, dan seberapa cepat pun ia berlari, jarak di antara mereka tak pernah tertutup.

Dia terbangun dengan terengah, jantung berdebar keras, keringat dingin menempel di kulitnya. Ruangan hening, suara malam kota teredam oleh kaca tebal jendela.

Buku-bukunya menekan bibirnya, mencoba menenangkan diri. Gema jeritan itu masih terngiang, bayangan masa lalu yang tak pernah bisa benar-benar dia hindari.

Di luar, cahaya pertama fajar mulai menyapu cakrawala.

James menghela napas perlahan. Besok, dia akan menghadapi yang hidup—bukan para Reaper.

Cahaya pucat fajar menembus jendela penthouse ketika James terbangun, otot-ototnya tegang tapi pikirannya gelisah. Tanpa ragu, ia mengenakan sepatu lari dan melangkah ke balkon. Udara pagi yang sejuk menyentuh kulitnya saat ia menarik napas panjang, kota masih terbungkus dalam keheningan awal.

Dia menuruni tangga dan berlari keluar ke jalan, hentakan kakinya di aspal menjadi irama yang menenangkan. Napasnya stabil saat dia memasuki taman terdekat, di mana embun masih menempel di rumput dan suara burung mulai terdengar. Taman itu hidup dengan aktivitas pagi—pasangan tua berjalan bersama anjing, anak-anak berlari, orang-orang sendirian tenggelam dalam pikiran mereka.

James berlari melewati air mancur, di mana air berkilau di bawah sinar matahari yang malu-malu, lalu mengitari jalur lari, otot-ototnya mulai hangat. Udara beraroma tanah basah dan dedaunan, pengingat lembut bahwa hidup terus berjalan, bahkan ketika kenangan berusaha menahannya.

Setelah menyelesaikan larinya, dia menuju ke lingkungan tempat ibunya tinggal. Jalanan mulai ramai—mobil melaju, toko-toko dibuka, tetangga saling menyapa. Lalu, di tengah kabut pagi, dia melihat mereka.

Sophie berjalan dengan langkah anggun seorang wanita yang memikul beban dengan tenang. Rambut hitamnya diikat longgar, beberapa helai jatuh dan tertangkap cahaya matahari. Pakaiannya sederhana, tidak mewah, tapi rapi dan praktis. Matanya tampak jauh, membawa kelelahan yang tak terlihat, tapi melembut setiap kali si kembar menggenggam tangannya.

Kedua anak itu adalah cermin satu sama lain, penuh energi dan ceria. Gadis kecil itu berlari kecil sambil tertawa, sementara saudara laki-lakinya tersenyum lebar, memperlihatkan celah gigi yang baru terlepas. Tawa mereka ringan, seperti gelembung rapuh di tengah kesulitan.

Dada James terasa sesak. Melihat mereka—ibunya, nyata di depan mata setelah bertahun-tahun, dan anak-anak yang dilahirkannya—membangkitkan rasa takjub, sesal, dan rindu yang bercampur jadi satu. Segala instingnya berteriak untuk mendekat, untuk memanggil, untuk mengucapkan kata-kata yang lama terkubur.

Namun rasa takut menahannya. Dia mengikuti dari jauh, berhati-hati agar tak terlihat, mengamati saat ibunya mengantar anak-anak ke gerbang sekolah. Anak-anak melambai ceria sebelum masuk ke dalam gedung. Sophie menatap mereka sesaat lebih lama, bibirnya terkatup rapat menahan kekhawatiran.

James ingin memanggilnya—memecah keheningan, menjembatani jarak yang telah terbentang begitu lama. Tapi keberanian itu goyah seperti nyala lilin tertiup angin. Ia adalah orang asing, penyusup dalam kehidupan yang telah dibangun tanpa dirinya. Suaranya tertahan di tenggorokan.

Dia hanya berdiri di sana, tak terlihat, merasa tak berdaya. Ibunya memikul beban yang tak bisa ia bantu, menjalani hidup yang terus berjalan tanpanya. Bagaimana ia bisa masuk ke dalamnya tanpa menghancurkan kedamaian rapuh yang telah diperjuangkan ibunya?

Perlahan, dia berbalik dan berjalan kembali ke penthouse, setiap langkah terasa berat oleh emosi yang bertabrakan. Di apartemen mewahnya yang tenang, ia menjalani rutinitas tanpa semangat—memeriksa pesan, menyesap kopi hitam yang pahit, menatap keluar jendela ke arah kota yang mulai hidup.

Ia tahu ia butuh bantuan—seseorang yang bisa memahami kekacauan antara masa lalu dan masa kini yang sedang dia hadapi. Dia mengambil ponsel dan mengirim pesan kepada Clara, memintanya bertemu di kafe didekat sekolah dasar.

Kafe itu sederhana dan hangat, cahaya pagi menembus tirai renda, aroma kopi panggang memenuhi udara, bercampur dengan percakapan lembut pelanggan.

Clara datang tak lama kemudian, senyumnya lembut, memberi ketenangan di tengah kekacauan hati James. Mereka duduk di pojok, tempat yang terasa aman di antara hiruk-pikuk kecil kafe itu.

“Kopi?” tanya Clara, sambil memberi isyarat pada pelayan.

“Hitam, tanpa gula,” jawab James, suaranya rendah tapi mantap.

Saat minuman tiba, James menatap cairan hitam itu, mengumpulkan keberanian.

“Aku melihatnya pagi ini,” katanya akhirnya, suaranya serak. “Mama... Dia nyata. Dia hidup. Dan dia punya anak kembar.” dia berhenti sejenak. “Tapi dia sedang berjuang. Suaminya... sakit. Tagihan, tekanan... Dia nyaris tidak sanggup lagi.”

Mata Clara melembut. “Itu beban besar. Apalagi dia harus menanggungnya sendiri.”

James mengangguk, jemarinya menggenggam cangkir erat-erat. “Aku ingin ada di sana. Aku ingin membantunya. Tapi aku tidak tahu apakah dia menginginkannya. Atau apakah aku memiliki hak untuk kembali ke hidupnya setelah semua tahun ini.”

Clara menyentuh tangannya lembut. “Kau memiliki hak itu, James. Darah tidak pernah hilang. Dan fakta bahwa kau ingin kembali—itu berarti lebih dari yang kau pikirkan.”

James menatapnya, kerentanan tergambar jelas di matanya.

“Tapi bagaimana jika sudah terlambat? Bagaimana kalau luka yang kutinggalkan terlalu dalam?”

Clara menggeleng perlahan. “Tidak pernah terlambat untuk mencoba. Dan kau tidak harus melakukannya sendirian. Biarkan orang lain masuk. Kau tidak harus memikul segalanya sendirian.”

Harapan kecil menyala dalam dirinya, rapuh tapi nyata.

“Terima kasih, Clara. Aku tidak tahu apa jadinya aku tanpamu.”

Clara tersenyum lembut. “Kau tidak akan pernah tahu, karena aku takkan ke mana-mana.”

Percakapan mereka perlahan mereda dalam keheningan yang tenang. Suara pelanggan, denting gelas, dan desis mesin kopi mengisi udara, tapi perhatian James mulai teralihkan.

Tatapannya beralih ke jendela kaca besar kafe, dan seketika dunia di sekitarnya kabur.

Di seberang jalan, dia melihatnya.

Sophie berjalan sambil menggandeng si kembar, ransel kecil mereka bergoyang di setiap langkah. Anak-anak itu tertawa dan bercakap—hingga sesuatu berubah.

Dua petugas berseragam muncul, menghadang mereka di trotoar. Sophie spontan berdiri di depan anak-anaknya, melindungi mereka dengan tubuhnya. Wajahnya tetap tenang, tapi matanya waspada, seperti seseorang yang terlalu sering menghadapi kekuasaan yang tak adil.

Tubuh James menegang, jarinya menggenggam cangkir hingga terdengar retakan kecil.

Clara memperhatikan. Da menoleh dan mengikuti arah pandang James. “James,” katanya lembut, “pergilah.”

James tak berpikir dua kali.

DiIa berdiri, meletakkan uang di meja, dan melangkah cepat keluar dari kafe.

Di seberang jalan, situasi memanas.

“Nyonya, kau sudah menerima banyak peringatan,” kata salah satu petugas dengan kasar sambil mengetuk tabletnya. “Kau tahu seperti apa nasib orang yang tidak melunasi hutang mereka?”

“Aku sudah berusaha membayar sedikit demi sedikit,” jawab Sophie, suaranya tegas tapi lelah. “Tolong... beri aku sedikit waktu lagi.”

“Waktumu habis,” ejek petugas lain, tersenyum sinis. “Mungkin suamimu yang koma itu bisa bayar kalau dia bangun nanti, ya?”

Petugas pertama tertawa, dan si kembar memeluk ibu mereka lebih erat, wajah mereka pucat ketakutan.

Orang-orang di sekitar mulai melambat, beberapa berhenti, tapi tak satupun bergerak membantu. Tidak ada yang berani mendekat.

Salah satu petugas kemudian meraih pergelangan tangan Sophie—tidak cukup kuat untuk menangkap, tapi cukup untuk mempermalukan.

“Jangan sentuh aku,” katanya rendah tapi tegas.

Petugas itu hanya menyeringai. “Atau apa?”

Dan udara pun berubah.

Clara baru keluar dari kafe, hendak memanggil James—namun dia tidak sempat.

James sudah lenyap.

Bukan berjalan. Bukan berlari. Bergerak seperti bayangan yang menembus kerumunan.

Clara terperanjat melihatnya.

Sebuah bayangan hitam melesat di antara orang-orang. James menutup jarak dalam hitungan detik.

Sebelum siapa pun sempat memahami apa yang terjadi, dia sudah berdiri di depan Sophie dan anak-anak, tangannya mencengkeram leher petugas itu dan mengangkatnya dari tanah dengan kekuatan yang tidak terkendali.

Mata petugas itu membulat ketakutan, kakinya menendang-nendang di udara, sementara kerumunan terpekik.

Sophie terkejut dan berbalik, si kembar menjerit.

Petugas lainnya meraih pistolnya.

Namun James... bukan lagi pria yang duduk di kafe tadi.

Dia telah menjadi sesuatu yang lain.

1
Zandri Saekoko
author
kapan lanjutan sistem kekayaan itu author tiap hari saya liht tapi blm ada lanjutan
Rocky
Ternyata ini misi terakhir secara tersirat yang dimaksudkan Sang Komandan..
Zandri Saekoko
mantap author
lanjutkan
Zandri Saekoko
mantap author
king polo
up
king polo
update Thor
king polo
up
king polo
update
july
up
july
update
Afifah Ghaliyati
up
Afifah Ghaliyati
lanjutt thorr semakin penasaran nihh
eva
lanjut thor
eva
up
2IB02_Octavianus wisang widagdo
upp lagi broo💪
Zandri Saekoko
lanjut thor
Wulan Sari
lanjut Thor semangat 💪👍❤️🙂🙏
Coffemilk
up
Coffemilk
seruu
sarjanahukum
bagus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!