Namanya Kevin. Di usianya yang baru menginjak angka 20 tahun, dia harus mendapati kenyataan buruk dari keluarganya sendiri. Kevin dibuang, hanya karena kesalahan yang sebenarnya tidak dia lakukan.
Di tengah kepergiannya, melepas rasa sakit hati dan kecewa, takdir mempertemukan Kevin dengan seorang pria yang merubahnya menjadi lelaki hebat dan berkuasa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rcancer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Alasan Lain
Di tempat lain, tepatnya di depan rumah Margita, wanita itu dengan antusias mengajak dua pria asing masuk ke rumahnya. Bahkan suami dan anaknya pun dengan girang mempersilahkan Berry dan Chen untuk segera duduk. Mereka memperlakukan kedua tamunya dengan sikap yang sangat berlebih.
"Eh, ada tamu," seorang wanita muncul dari ruang tengah karena mendengar suara berisik dari ruang tamu. Melihat tamunya yang jelas bukan asli orang negara ini, wanita muda yang menjadi istri Dorman itu langsung menatap penuh rasa kagum.
Di mata para wanita, Chen dan Berry memang terlihat sangat mempesona. Meskipun keduanya memiliki warna kulit yang berbeda, tapi mereka tetap memiliki pesona dan daya tarik yang terletak pada wajah dan tubuh gagahnya.
"Clara, tolong, bikinin minum, cepat," titah Margita.
Namun Clara tidak segera merespon. Wanita itu masih asyik dengan menatap dua tamunya secara detail dengan pikiran yang melayang kemana-mana.
"Clara!" Margita langsung menghardiknya.
"Eh," Clara sedikit terlonjak. "Iya, Mom, ada apa?"
"Cepet, bikinin minum buat mereka," Margita mengulang perintahnya.
"Iya, Mom, baik," Clara dengan semangat langsung menjalankan perintah ibu mertuanya.
Sebenarnya Clara bisa saja meminta pekerja rumah untuk melakukan perintah Margita, seperti biasa yang dia lakukan. Tapi untuk kali ini, Clara dengan penuh percaya diri, mengerjakan perintah sang mertua Sepertinya Clara tidak ingin melewatkan kesempatan emas untuk menatap lebih lama dua pria di ruang tamu rumahnya.
"Jadi bagaimana? Apa anda tertarik untuk mengajak anak saya yang satu ini, bergabung dengan proyek besar anda?" tanya Margita tanpa ada basa basi terlebih dahulu.
"Tentu saja, asal anak anda memenuhi syarat, pasti akan saya ajak untuk bergabung," jawab Berry.
"Kalau boleh tahu, emang syaratnya apa, agar dia bisa bergabung?" tanya Suami Margita.
"Tidak ada syarat khusus," Chen pun ikut mengambil peran. "Tapi kalian juga harus tahu dulu, sedikit hal penting yang mungkin bisa menjadi pertimbangan bagi kami, untuk mengajak anda bergabung dengan perusahaan kami."
"Hal penting apa itu?" tanya Dorman nampak tak sabar.
Sejenak Chen dan Berry saling melempar senyum penuh arti.
"Kalian tahu bukan kalau dunia bisnis memiliki persaingan yang ketat dan kadang sangat kejam?" ucap Chen. "Selain akan mengajak kerja sama, kami juga ingin menjadi saingan bisnis Tuan Hernandez." Chen lalu mengambil ponselnya dan nampak mencari sesuatu.
"Apa ini?" tanya Dorman kala Chen menunjukan sebuah foto dari ponselnya.
"Itu Notebook," jawab Chen. "Berisi semua rahasia bisnis kami."
Tiga orang sebagai Tuan rumah makin bingung. Dari tatapannya, mereka menuntut penjelasan lebih, agar tiga orang itu memahami, alasan tamunya menunjukan foto Notebook.
"Notebook ini berisi semua data penting serta rahasia perusahaan kami. Namun sayangnya, Notebook ini telah lenyap saat hendak dibawa ke negara lain," terang Chen. "Setelah kami telusuri tempat terakhir keberadaan notebook tersebut, berada di gedung perusaahan milik Hernandez."
"Loh, kok bisa?" Dorman agak terkejut. Begitu juga dengan Margita dan suaminya. "Bagaimana ceritanya kalau notebook itu ada di perusahaan Hernandez?"
Bery tersenyum. "Jadi, saat itu rekan kami sedang dalam perjalanan bisnis di India. Saat berada di bandara India, ketika hendak pulang ke negara asal, secara tak sengaja, barang milik rekan kami tertukar dengan barang miliknya Nyonya Lavia."
"Kebetulan rekan kami itu perempuan dan secara kebetulan juga, mereka menenteng tas yang sama," Chen pun ikut memberi penjelasan. "Sekitar tiga minggu yang lalu, kebetulan keduanya juga mendatangi satu acara yang sama, terus Lavia dan rekan kami, sama-sama mendapat kenang-kenangan yang sama juga."
"Karena barang bawaannya cukup banyak, rekan kami, menaruh notebook ini, ke dalam tas tersebut," ucap Berry. "Entah bagaimana ceritanya, petugas bandara begitu teledor seperti itu."
"Owalah," ucap Margita. Wanita itu nampak manggut-manggut. "Lalu bagiamana? Apa kalian ingin menemui Lavia untuk menukar barang kalian?"
"Tidak," ucap Berry dan Chen hampir bersamaan.
"Loh? Kenapa tidak?" tiga tuan rumah pun heran mendengarnya.
"Isi Notebook itu sangat rahasia dan kemungkinan Lavia sudah mengetahuinya," jawab Berry.
"Lavia sudah mengetahuinya?" Margita dan yang lainnya pun bertambah heran.
"Bisa jadi, Lavia sudah ngecek isi tasnya, Mom," ujar Clara yang kebetulan ikut mendengar pembicaraan tersebut belum lama ini.
"Kemungkinan seperti itu," ucap Berry. "Orang kami sebenarnya sudah beberapa kali menghubungi Lavia, tapi sama sekali tidak mendapat respon." Sebenarnya itu hanya dusta belaka.
"Ya wajar, Lavia tidak memberi respon," ucap Margita. "Dia saja baru mengalami musibah. Kemarin, sempat ada yang menusuk dia dan mungkin sampai detik ini, Lavia belum sadarkan diri."
Berry dan Chen saling pandang satu sama lain dan terbesit senyum yang sangat tipis dari bibir mereka.
"Lalu, apa tujuan anda menceritakan masalah ini pada kami?" Tanya Dorman.
Kali ini Chen dan Berry secara terang-terangan menunjukan senyum senangnya di depan para tuan rumah.
"Tujuan kami memberi tahu anda masalah ini, kami berharap anda bisa mengambil alih notebook ini tanpa ketahuan. Jika berhasil sudah bisa dipastikan. anda akan diterima untuk gabung di perusahaan kami," jawab Chen.
"Anda serius?" mata Dorman sampai melebar.
"Tentu," jawab Berry sangat meyakinkan. "Nanti, anda juga akan mendapat hak istimewa, sebagai bonus, karena menyelamatkan benda berharga milik perusahaan."
"Hak istimewa?" Margita yang bertanya.
"Benar, hak istimewa," jawab Chen. "Hak istimewa dalam bentuk hadiah super mewah, seperti keliling dunia serta uang yang bisa mencapai satu triliun."
"Hah!" mata keluarga Margita langsung berbinar. "Baiklah, kalau gitu, saya akan mencarinya," ucap Dorman penuh percaya diri."
"Baiklah, saya tunggu kabar dari anda secepatnya," ucap Chen.
Dorman langsung menyanggupi hingga kesepakatan pun terjadi di antara mereka. Mereka pun terlibat pembicaran ringan, sampai akhirnya Chen dan Berry memutuskan untuk pergi dari sana.
"Ternyata, mereka hanya sekumpulan keluarga bodoh," ujar Chen begitu keduanya telah berada di dalam mobil.
"Ya bagus dong. Kita jadi menghemat biaya," ujar Berry. "Kita tunggu aja, bagaimana hasil kerja mereka."
Chen tersenyum setuju dan mereka segera meninggalkan lokasi itu.
Sedangkan di tempat lain, di dalam sebuah kamar.
"Bukankah ini pria yang tadi siang memberi nasehat saat di toilet restoran? Apa hubungannya dengan Om Mario? Apa dia anak buahnya?" gumam anak muda yang wajahnya penuh luka lebam, sembari menatap foto yang tergeletak di atas meja.