Jiwanya tidak terima di saat semua orang yang dia sayangi dan dia percaya secara bersama-sama mengkhianatinya. Di malam pertama salju turun, Helena harus mati di tangan anak asuhnya sendiri.
Julian, pemuda tampan yang berpendidikan dibesarkan Helena dengan penuh cinta dan kasih sayang. Tega menghunuskan belati ke jantungnya.
Namun, Tuhan mendengar jeritan hatinya, ia diberi kesempatan untuk hidup dan memperbaiki kesalahannya.
Bagaimana kisah perjalanan Helena?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisy hilyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Balasan
"Apa yang terjadi saat aku pergi!" tanya Helena setelah Lia datang menghadap.
Dengan kepala tertunduk Lia melirik Keano yang sedang menatapnya dengan tajam. Tak ada isyarat, ia hanya mewanti-wanti Lia agar tidak berbicara kepada Helena.
"Lia! Jika kau tidak mengatakannya aku akan menghukum mu. Kurungan satu Minggu di ruang bawah tanah tanpa makan dan minum, kurasa itu cukup untuk membuat seluruh otot tubuhmu mati rasa," ancam Helena dengan nada rendah penuh penekanan.
Lia mendongak dengan kedua mata yang membelalak. Sontak tubuhnya jatuh berlutut di hadapan Helena dengan wajah yang pucat.
"Tidak, Nyonya! Jangan hukum saya. Saya akan menceritakan yang sebenarnya," ucap Lia melirik Keano tak enak.
Maafkan saya, Tuan Muda. Saya tidak ingin dihukum Nyonya.
Lia menceritakan semuanya dengan detail, mulai dari Ferdinan yang datang mengganggu Keano dan nyaris membunuhnya. Lalu, ibu mertua yang tiba-tiba datang dan menampar pipi Keano.
Helena menggeram marah, wajahnya memerah murka. Napasnya memberat, kembang kempis dadanya karena emosi yang meluap.
"Ibu!" Keano menyentuh tangan Helena dan menggenggamnya.
Merasakan kehangatan yang menenangkan, Helena memejamkan mata menurunkan emosinya. Ia menarik udara sedalam mungkin dan menghembuskannya secara perlahan.
Ia membuka mata setelah berhasil menguasai emosinya. Menatap Keano yang terlihat sedih dengan mata berkaca menatapnya.
"Pergilah ke kamarmu, ibu harus melakukan sesuatu," ucap Helena sambil tersenyum, tangannya mengusap pipi Keano meyakinkan bahwa ia tak lagi marah.
"Ibu jangan sampai marah, nanti bisa sakit. Aku tidak mau Ibu sampai jatuh sakit," ucap Keano dengan sesungguhnya.
Oh, hati Helena menghangat. Setelah sekian lama, ada juga yang mengkhawatirkan dirinya.
"Iya, Ibu akan ingat ucapan Keano," katanya seraya meminta Lia untuk membawa Keano pergi.
Sementara dia menarik sebuah kertas, dan membawanya mendatangi Julian. Ia mendengar suara Julian dan ibu mertua yang sedang bercengkerama di dekat kolam renang. Ada sepiring buah segar yang sedang mereka nikmati, juga jus buah dan susu.
Tanpa memberitahukan kedatangannya, ia masuk ke tempat tersebut sambil tersenyum saat Julian menatapnya. Anak tersebut berdiri, balas tersenyum mengira Helena datang untuknya.
"Julian!" Ibu mertua menoleh, dan melihat kedatangan Helena dengan wajah ramah.
Ibu mertua berdiri dan berjalan menghampiri Helena. Wajahnya sumringah, mengira Helena sudah berubah pikiran dan mau menerima Julian sebagai anak angkatnya.
"Helena! Akhirnya kau datang," katanya menyambut dengan penuh suka cita.
Helena tersenyum, berhenti beberapa langkah dari ibu mertua. Tanpa terduga, ia mengajar tangan dan menampar ibu mertua dengan keras hingga membuat wajahnya berpaling.
Tamparan ini tidak sebanding dengan apa yang kau berikan di masa lalu. Kau memberiku kematian yang kejam, menikamku berkali-kali dan membiarkan tubuhku mati membeku di bawah guyuran salju.
"Helena! Apa yang kau lakukan?" tanya ibu mertua sembari menahan nyeri di pipi. Cairan merah merembes keluar dari bibirnya, meninggalkan rasa tak nyaman di sana.
"Kenapa kau tiba-tiba memukul Ibu? Padahal, Ibu tidak melakukan kesalahan apapun terhadapmu," protes ibu mertua diakhir desisan lidahnya.
Helena tersenyum sinis, melipat kedua tangan di perut, menatap tajam pada kedua manik tua yang angkuh itu. Julian yang berdiri di sisi ibu mertua pun terhenyak dengan apa yang dilihatnya.
"Lalu, kenapa Ibu tiba-tiba menampar Keano? Padahal Ibu tahu dia tidak melakukan kesalahan apapun terhadap Ibu," sahut Helena membalikkan pertanyaan ibu mertua.
Wanita tua itu tertegun, menatap Helena dengan wajah murka yang tertahan.
"Apa kesalahannya? Karena dia sudah masuk ke rumah ini. Itu adalah kesalahannya!" ucap ibu mertua sembari meringis memegangi pipinya yang terasa kebas.
Helena mendengus, tersenyum tajam seolah-olah dia adalah tokoh jahat dalam dunia drama.
"Aku tidak tahu sejak kapan orang yang aku bawa masuk ke rumah ini menjadi sebuah kesalahan? Apakah itu termasuk kau, Ibu? Juga anakmu yang tidak tahu diri itu, hah?" sahut Helena kembali membungkam mulut ibu mertua.
"Jika memasuki rumah ini adalah kesalahan dan pantas dihukum, maka kalian juga telah melakukan kesalahan dan harus dihukum!" lanjut Helena menunjukkan seringainya yang kejam.
Mata ibu mertua membelalak tak terima, dia sudah salah berucap. Kemudian, tersenyum mencoba untuk merayu Helena lagi.
"Lina!"
Belum sempat ibu mertua berucap, Helena memanggil Lina dengan suara yang kencang. Wanita paruh baya itu datang tergesa, menunduk dengan patuh.
"Saya, Nyonya!"
"Eh, Helena! Kau salah paham, Nak. Bukan itu maksud Ibu," ucap ibu mertua ketakutan.
Namun, Helena sama sekali tidak memiliki belas kasih terhadap mereka, ia tak lagi lemah seperti dulu. Tak harus tunduk dan patuh pada perintah orang lain.
"Seret kedua manusia ini ke kandang kuda, dan biarkan mereka membersihkan kandang sampai tak ada kotoran sekecil apapun yang tersisa! Jangan beri mereka makan sampai pekerjaan mereka selesai!" titah Helena membuat ibu mertua dan Julian menganga tak percaya.
"Tidak! Helena, maafkan Ibu. Ibu tidak mau membersihkan kandang kuda," rengek ibu mertua memohon.
Namun, kibasan tangan Helena menjadi isyarat untuk semua pelayan agar segera membawa ibu mertua ke tempat hukuman.
"Tidak!"