Elena hanya ingin menguji. Setelah terbuai kata-kata manis dari seorang duda bernama Rd. Arya Arsya yang memiliki nama asli Panji Asmara. Elena melancarkan ujian kesetiaan kecil, yaitu mengirim foto pribadinya yang tak jujur.
Namun, pengakuan tulusnya disambut dengan tindakan memblokir akun whattsaap, juga akun facebook Elena. Meskipun tindakan memblokir itu bagi Elena sia-sia karena ia tetap tahu setiap postingan dan komentar Panji di media sosial.
Bagi Panji Asmara, ketidakjujuran adalah alarm bahaya yang menyakitkan, karena dipicu oleh trauma masa lalunya yang ditinggalkan oleh istri yang menuduhnya berselingkuh dengan ibu mertua. Ia memilih Ratu Widaningsih Asmara, seorang janda anggun yang taktis dan dewasa, juga seorang dosen sebagai pelabuhan baru.
Mengetahui semua itu, luka Elena berubah menjadi bara dendam yang berkobar. Tapi apakah dendam akan terasa lebih manis dari cinta? Dan bisakah seorang janda meninggalkan jejak pembalasan di jantung duda yang traumatis?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elena A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Detik-detik Yang Menentukan
Bab 14. Detik-detik Yang Menentukan
Teriakan Ratu Widaningsih yang menusuk telinga bergema di ruang konferensi pers. Pisau itu terlempar ke udara, menggelegar, dan jatuh dengan bunyi dentingan logam tepat di kaki Elena. Sementara Panji, meskipun berlumuran darah dan terikat, berhasil membalikkan keadaan dengan gigitan putus asa.
Ratu tersentak, pergelangan tangannya berdarah karena gigitan Panji yang bagai serigala terluka. Ia mundur, dan mencengkeram lukanya.
Elena tidak menyia-nyiakan momen itu. Instingnya mengambil alih. Ia tidak meraih pistol itu. Itu terlalu berisiko, terlalu mudah bagi Ratu untuk memutarbalikkan citranya menjadi teroris di depan media. Ia meraih flash drive Panji dan memasukkannya ke port laptop Panji yang ada di podium.
"Bima, hentikan dia!" teriak Ratu, suaranya dipenuhi rasa sakit dan amarah.
Bima, yang terkejut melihat darah Ratu, segera berlari. Ia mencoba memadamkan kekacauan ini.
"Maaf, hadirin sekalian! Ini hanyalah drama kecil," ucap Bima.
"Diam!" bentak Elena. Jari-jarinya menari di atas keyboard. Ia menarik semua data dari flash drive itu dan menekan tombol Enter.
Dalam hitungan detik, layar lebar di belakang panggung, yang seharusnya menampilkan logo Asmara Cafe, tiba-tiba berganti. Sebuah video mulai diputar. Video itu adalah rekaman cemas Renata, mantan istri Panji, yang direkam sebulan sebelum keduanya bercerai.
"Aku minta maaf, Sayang. Aku mencintaimu, tetapi aku nggak bisa melawan mereka. Ratu Widaningsih memaksaku. Ibunya memaksaku. Aku tahu kamu nggak berselingkuh, aku adalah mata-mata. Mereka ingin aku menghancurkanmu, tetapi aku nggak bisa. Aku akan mengembalikan semua aset yang kukumpulkan untuk mereka. Ratu akan menggunakan semua kelemahanmu. Jangan pernah memercayainya, Sayang. Jangan pernah berikan Kunci Jaringan itu..."
Suasana ruang konferensi yang semula tegang kini berubah menjadi horor yang membeku. Kamera-kamera wartawan berkedip gila-gilaan, merekam setiap pengakuan terakhir Renata.
Ratu Widaningsih membeku. Rencana besarnya telah dibongkar oleh hantu masa lalu yang ia ciptakan sendiri.
"Kebohongan! Semua itu palsu! Itu hanya editan!" teriak Ratu, suaranya pecah. Ia melompat ke podium, mencoba mencabut flash drive dari laptop.
Namun, Bima bergerak lebih cepat. Ia, yang kini menyadari bahwa Panji benar, dan ia telah menempatkan dirinya dalam jerat pengkhianatan yang mematikan, berusaha memperbaiki kesalahannya. Ia mencegat Ratu, dan mencoba menahannya.
"Kamu sudah keterlaluan, Ratu! Aku tidak pernah setuju dengan rencana Renata!" raung Bima, bergumul dengan Ratu di depan podium.
Panji yang melihat kekacauan itu, menggunakan kekuatannya yang tersisa. Ia menarik ikatannya dengan sekuat tenaga, memutuskan tali yang menahan tangannya, dan jatuh dari kursi. Dengan darah mengalir deras, ia merangkak menuju ke arah Elena.
"Kunci... Kunci Jaringan!" Panji terengah-engah. "Server... Ratu akan menghancurkan data!"
Elena menoleh, kaget. "Apa maksudmu, Aa?"
"Dia sudah memasang time lock! Jika kita mengungkapnya tanpa membuka server... dia akan menghapus semua aset digital Asmara Cafe!" jelas Panji dengan rasa sakitnya yang nyaris tidak tertahankan.
Elena menyadari betapa kejamnya Ratu. Ratu tidak hanya merencanakan pengambilalihan, tapi Ratu juga merencanakan pembumihangusan total. Jika dia tidak bisa memilikinya, maka tidak ada satu orang pun yang bisa.
"Apa yang harus kulakukan? Aku tidak punya biometric key-mu, Aa!" seru Elena.
Panji, dengan sisa tenaganya, meraih tangan Elena, dan membawanya ke depan Kunci Jaringan.
"Luka tusuk Ratu... ini... ini dekat arteri. Ada darah di lukanya," Panji berbisik, matanya berkaca-kaca. "Cepat, dek Anin. Kunci itu... dia juga punya protokol cadangan. Darah segar yang mengandung DNA-ku..."
Elena menatap Panji, kaget. Panji meminta Elena untuk melukai lukanya sendiri?
"Cepat! Waktu sudah berjalan, dek Anin!" desak Panji sebelum akhirnya ia pingsan.
Elena tidak punya pilihan. Ia meraih ujung pisau lipat Ratu yang tergeletak di lantai, yang digunakan untuk menusuk Panji, dan dengan cepat menyayat sedikit luka tusuk Panji, membuat darahnya mengalir deras. Elena membasahi sensor Kunci Jaringan dengan darah Panji.
Ratu, yang berhasil melepaskan diri dari Bima, kini berlari ke arah Panji, mengambil pisau yang digunakan Elena.
"Kamu bodoh, Akang! Kamu nggak akan mati, tapi kamu akan melihat bagaimana cafe milikmu lenyap!" teriak Ratu, menodongkan pisau ke leher Panji yang tak sadarkan diri.
Elena mengabaikan ancaman itu. Ia memasukkan Kunci Jaringan yang kini berlumuran darah Panji ke port laptop Panji. Jantungnya berdebar, menunggu validasi.
BIP! Sebuah suara keras terdengar, dan layar laptop Panji menampilkan pesan, “Authentication successful. Network initiated."
Pada saat yang sama, Ratu Widaningsih Asmara tersenyum dingin. "Terlambat, Elena. Kamu telah membuka pintu gerbang, tetapi kamu nggak menyadari bahwa kamu juga mengaktifkan umpan terakhirku."
Ratu mendorong Bima ke arah Elena, menciptakan keributan. Sementara Elena sibuk menghindari Bima, Ratu mencabut kabel daya utama dari server display Asmara Cafe.
"Bapak Handoyo! Mohon, hubungi keamanan! Ratu mencoba menghancurkan data!" teriak Elena.
"Nggak perlu, Elena," kata Ratu, tertawa kemenangan. "Permainan ini berakhir di tanganku."
Ratu mengeluarkan ponselnya, menunjuk ke arah Elena. "Bagus, kamu telah menyelamatkan data, tapi kamu nggak bisa menyelamatkan dirimu sendiri. Karena detik pada saat kamu masuk ke server utama, kamu mengaktifkan protokol virus yang digunakan sebagai perlindungan terakhir."
Wajah Elena pucat. Virus?
"Ingat file Renata yang kamu sebarluaskan? Itu bukan satu-satunya kebenaran yang kusimpan di server itu," Ratu menyeringai. "Aku memasukkan kebohongan yang jauh lebih besar di sana."
Elena menatap laptop Panji. Di samping flash drive kebenaran, muncul sebuah pop-up baru, yang kini disebarkan ke semua komputer yang terhubung ke jaringan Asmara Cafe. “Investigasi Internal Asmara Cafe dan kasus pembunuhan.”
"Tersangka Utama, Elena Anindya Putri, Ditemukan Komunikasi Rahasia yang Mengindikasikan Motif Finansial. Bukti Forensik Awal Menunjukkan Kehadiran Racun Langka di Minuman Korban."
Ratu menatap mata Elena dengan kepuasan yang dingin. "Kamu sudah menyelamatkan Akang Panji, Elena. Tapi aku bisa memastikan Akang Panji nggak akan pernah memercayaimu lagi, karena aku sudah menulis ending cerita ini. Kamu adalah pembunuh yang sebenarnya."
Polisi, yang kini menyerbu ruang konferensi, melihat Panji terbaring berlumuran darah, dan mereka melihat pop-up itu.
Komisaris Handoyo terkejut. "Apa ini, Nona Elena?" tanyanya.
Elena menatap pop-up palsu itu, lalu menatap ke arah Ratu yang tersenyum jahat, dan ke arah Panji yang tidak sadarkan diri di atas lantai. Ia tahu, Ratu telah menggunakan reputasi suaminya untuk menciptakan bukti digital palsu yang terenkripsi dan kini diyakini sebagai kebenaran resmi Asmara Cafe.
Polisi berseragam lengkap bergerak maju. Mereka mengabaikan Ratu yang berdarah dan fokus pada Elena.
"Anda ditangkap atas tuduhan pembunuhan, Nona Elena. Mari ikut kami!"
Elena dikelilingi. Kunci Jaringan ada di tangannya, tetapi Panji sedang sekarat, dan kebenaran Panji kini tenggelam oleh kebohongan yang ia ciptakan sendiri.
Tiba-tiba, Panji batuk keras, membuka matanya sebentar, dan berbisik dengan suara tercekat yang hanya bisa didengar Elena, "Gedung... Gedung lama. Ruang Server. Hanya... di sana..."
Elena mengencangkan genggamannya pada Kunci Jaringan. Ia tidak bisa ditangkap. Ia harus melarikan diri untuk yang terakhir kalinya dan pergi ke Gedung Lama yang disebutkan Panji.
Elena melompat dari atas panggung, menghindari tangan polisi yang meraihnya. Dalam keputusasaan yang dingin, ia menusukkan Kunci Jaringan itu ke dalam celah kecil di meja panggung, dan memecahnya. Separuh kunci itu dipegangnya, separuhnya lagi tertinggal, dan memastikan tidak ada yang bisa menggunakan kunci itu tanpa dirinya. Ia berlari ke arah pintu darurat, menuju pelarian terakhirnya, meninggalkan Arsya yang sekarat, Ratu yang terluka, dan kebenaran yang masih terperangkap dalam server Asmara Cafe.