Jessy Sadewo memiliki segalanya: kecantikan mematikan, kekayaan berlimpah, dan nama yang ditakuti di kampus. Tapi satu hal yang tak bisa dia beli: Rayyan Albar. Pria jenius berotak encer dan berwajah sempurna itu membencinya. Bagi Rayyan, Jessy hanyalah perempuan sombong.
Namun, penolakan Rayyan justru menjadi bahan bakar obsesi Jessy. Dia mengejarnya tanpa malu, menggunakan kekuasaan, uang, dan segala daya pesonanya.
My Forbidden Ex-Boyfriend adalah kisah tentang cinta yang lahir dari kebencian, gairah yang tumbuh di tengah luka, dan pengorbanan yang harus dibayar mahal. Sebuah roman panas antara dua dunia yang bertolak belakang, di mana sentuhan bisa menyakitkan, ciuman bisa menjadi racun, dan cinta yang terlarang mungkin adalah satu-satunya hal yang mampu menyembuhkan — atau justru menghancurkan — mereka berdua.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NonaLebah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 3
RUANG MAKAM, PAGI HARI
Matahari pagi menyelinap melalui jendela kaca lebar, menyinari meja makan panjang dari kayu mahoni yang berkilau. Piring-piring putih berhiaskan pinggiran emas berisi croissant, buah potong, dan telur dadar ala Prancis tersusun rapi. aroma kopi tubruk dan teh bergamot yang harum memenuhi udara. Keluarga Sadewo sedang menikmati sarapan dalam kemewahan yang sunyi.
Jessy mendorong piringnya, croissant di piringnya hampir utuh tak tersentuh. Pipinya masih merahan, mata sedikit sembap. Dia menyandarkan dagu di tangan, menatap sang ayah dengan tatapan memelas yang biasanya selalu berhasil.
"Papi, pokoknya kamu harus cabut beasiswa dia," keluhnya, suaranya sengau dan penuh dramatis.
Adi Sadewo, pria berambut silver yang rapi dengan kacamata baja, menurunkan koran bisnisnya. Matanya yang tajam memandang putrinya dari balik lensa.
"Siapa tadi namanya?" tanyanya, suara baritonnya tenang namun penuh wibawa, memastikan setiap detail.
"Rayyan Albar, Pih!" seru Jessy, seperti meludahkan nama yang pahit.
"Rayyan Albar?" Adi mengulang pelan, alisnya berkerut seolah menyaring ingatan. Nama itu membunyikan bel kecil di kepalanya. Berita di koran kampus, laporan dari rektorat... "Anak Elektro yang itu?" tanyanya lagi, lebih untuk dirinya sendiri.
Jessy mengangguk cepat, seperti anak kecil yang memberatkan cerita. "Iya, yang itu! Hmm..." gumannya sambil akhirnya menyobek kecil croissant dan memasukkannya ke mulut dengan gerakan kesal.
Sang ayah tidak langsung menjawab. Dia mengambil teguk kopinya, menatap putrinya dengan analitis. Lalu, tiba-tiba, dia tertawa pendek dan bergeleng-geleng. "Nggak mungkin, Sayang. Papi nggak bisa cabut beasiswanya."
Mata Jessy membelalak. Croissant di tangannya terhenti. "Kenapa nggak bisa? Papi kan yang punya yayasan!"
"Justru karena Papi yang punya yayasan," jawab Adi, meletakkan cangkirnya. "Dia itu mahasiswa unggulan. Bintangnya kampus. Setiap semester IPK-nya sempurna. Dia udah menangin beberapa lomba tingkat nasional untuk elektro. Namanya mengharumkan kampus. Mencabut beasiswanya tanpa alasan yang jelas justru akan membuat Papi dan yayasan terlihat nggak profesional dan irasional."
"Tapi dia nolak aku, Pih!" protes Jessy, suaranya mulai meninggi, rasa malu dan marahnya kembali membara.
Dari seberang meja, Gio, adiknya yang masih SMA, tak bisa menahan tawa. Dia menyendok serealnya sambil menyeringai. "Waduh, berarti Kakak jelek dong. Mana ada cowok ganteng dan pinter mau sama cewek yang jelek," kekehnya, sengaja memprovokasi.
"GIO!" sergah Jessy, berdiri setengah. Wajahnya merah padam. Matanya menyemburkan amarah. "Mata lo ditaruh di mana? Gue jelek? Lo aja yang mukanya kayak bekas tabrakan!"
"Jessy! Gio! Sudah!" suara Lina, ibu mereka, memotong dengan tegas. Dia meletakkan serbetnya. Wajahnya yang cantik dan terawat itu menunjukkan kekecewaan. "Sarapan aja berisik. Gio, jangan isengin kakakmu. Jessy, duduk."
Jessy mendengus keras tapi akhirnya duduk kembali. Dia memelototi Gio yang masih cekikikan.
Dia lalu memandang lagi ke ayahnya, mencoba pendekatan terakhir. Suaranya menjadi lebih merengek, lebih manipulatif. "Tapi, Pih, please... Bisa kan? Cuma satu kali ini. Cabut beasiswa Rayyan. ."
Adi Sadewo menghela napas panjang. Dia memandang putrinya, bukan sebagai seorang bos yayasan, tapi sebagai seorang ayah yang melihat kebiasaan buruk anaknya. Suaranya lembut tapi tegas, penuh realita yang pahit.
"Bisa," ujarnya, dan untuk sesaat mata Jessy berbinar. Tapi sang ayah melanjutkan, "Bisa, kalau kamu bisa sepintar dia. Kalau kamu bisa menangin banyak lomba dan pertandingan yang bisa angkat nama kampus, bukan cuma nama keluarga kita. Bisa, kalau nilai matematikamu nggak jeblok dan IPK-mu nggak cuma pas-pasan."
Dia berkata bukan untuk menyakiti, tapi untuk membangunkan.
Seketika itu juga, seluruh amarah Jessy berubah menjadi sesuatu yang lebih dalam: rasa malu. Rasa malu yang pedih karena kebenaran diungkapkan begitu gamblang, dan di depan adiknya.
"Kok Papi gitu sih," gerutunya, tapi suaranya sudah kecil, kekuatan argumentasinya runtuh. Dia menunduk, menyembunyikan wajahnya yang memanas.
Gio, yang tidak pernah kehilangan kesempatan, menyunggingkan senyum kemenangan dan berbisik lirih ke arah kakaknya, "Tuh, dibilangin. Nilai matematika kakak aja jeblok."
Jessy tidak lagi membalas. Dia hanya mengangkat kepalanya cukup untuk melemparkan tatapan membunuh ke arah adiknya, tatapan yang berjanji akan balas dendam. Di dalamnya, ada luka yang lebih dalam dari sekadar penolakan Rayyan: luka karena dianggap tidak cukup baik oleh ayahnya sendiri, dan luka karena tahu bahwa dalam hal ini, Rayyan memang lebih unggul darinya.
***
Jessy duduk sendirian di sebuah bangku taman di lantai atas gedung fakultasnya. Pandangannya kosong, menatap ke arah lapangan basket di bawah tanpa benar-benar melihat. Suara bola yang memantul dan teriakan riuh para pemain hanya menjadi white noise di telinganya. Pikirannya masih berputar pada kejadian pagi tadi di lab, pada kata 'jijik' yang masih terasa membakar, dan pada penolakan ayahnya yang menusuk harga diri.
Tiba-tiba, sebuah gerakan menarik perhatiannya. Seorang pria tinggi dengan kaos abu-abu sederhana dan celana training pendek berjalan menghampiri sekelompok mahasiswa yang sedang bermain. Rayyan.
Jessy duduk lebih tegak, tanpa disadari. Matanya, yang tanya sayu, kini fokus.
Seorang teman melemparkan bola padanya. Rayyan menangkapnya dengan reflek yang cepat dan halus. Tanpa basa-basi, tanpa pose yang berlebihan, dia langsung melompat. Tubuhnya melayang sesaat, membentuk sebuah siluet yang sempurna terhadap terik matahari. Lengan yang biasa merangkai sirkuit rumit itu melemparkan bola dengan kekuatan dan presisi yang mematikan.
Swish!
Bola melesat bersih masuk ke dalam ring, tanpa menyentuh bibirnya sekali pun.
Jessy mendadak tercekat. Dadanya berdebar kencang, bukan karena suara teman-teman Rayyan yang bersorak, tapi karena sebuah pengakuan jujur yang terpaksa keluar dari dalam hatinya.
"Ahh... Gila!" gerutunya dalam hati, tangannya secara refleks menepuk pipinya yang tiba-tiba terasa panas. "Kenapa gue malah makin suka sih sama dia?"
Kegagahan, ketenangan, dan keahliannya yang natural itu justru semakin memikatnya, membuat rasa kesal dan keinginan untuk balas dendamnya berubah menjadi sebuah ketertarikan yang lebih dalam dan lebih membingungkan.
Nita dan Della kemudian muncul, menyelipkan diri di bangku di sebelahnya.
"Gimana, Jes? Jadi nggak tuh si Rayyan didepak?" tanya Nita, dengan nada penasaran sekaligus iseng.
Della menambahkan, sambil mengunyah permen karet, "Kacau juga sih kalau Rayyan beneran didepak. Pasti rame banget kasusnya. Seluruh fakultas Elektro bisa demo."
Jessy tidak langsung menjawab. Matanya masih tertambat pada Rayyan yang sekarang sedang minum air, lehernya menengadah, otot di tenggorokannya bergerak. Dia tidak bisa mengakui pada sahabatnya bahwa permintaannya ditolak mentah-mentah oleh ayahnya sendiri. Itu terlalu memalukan.
Dia akhirnya menghela napas, berpura-pura santai. "Udah ah. Gue nggak sejahat itu mau depak dia dari kampus," ujarnya, mencoba terdengar bermartabat dan 'baik hati'. "Mending gue pikirin cara dapetin dia. Lebih menantang."
Nita dan Della saling pandang, sedikit ragu dengan perubahan sikap drastis ini.
Jessy mengeluarkan lagi kertas jadwal Rayyan yang sudah agak kusut dari saku jaketnya. Matanya menyusuri setiap baris, mencari celah, mencari kelemahan.
15.00 - 17.00: PERPUSTAKAAN - BELAJAR BERSAMA TIM PRAKTIKUM
Sebuah senyum perlahan muncul di bibir Jessy. Sebuah ide yang brilian, sedikit nekat, tapi sangat 'Jessy', mulai terbentuk di kepalanya. Jika dia tidak bisa mengalahkannya atau menghancurkannya, maka dia akan menyusup ke dalam dunianya.
"Perpustakaan, ya..." gumannya pelan, matanya berbinar dengan rencana baru.
kudu di pites ini si ibu Maryam