NovelToon NovelToon
Satu Cinta, Dua Jalan

Satu Cinta, Dua Jalan

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintamanis / Cinta Terlarang / Cinta Paksa / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Bercocok tanam
Popularitas:696
Nilai: 5
Nama Author: my name si phoo

Ketika mobil Karan mogok di tengah jalan, pertemuannya dengan Puri menjadi awal dari kisah yang tak terduga.
Mereka berasal dari latar belakang keyakinan yang berbeda, namun benih cinta tumbuh seiring waktu. Di awal, perbedaan agama hanya dianggap warna dalam perjalanan mereka—mereka saling belajar, berbagi makna ibadah, dan menghargai kepercayaan masing-masing.
Namun, cinta tak selalu cukup. Ketika hubungan mereka semakin dalam, mereka mulai dihadapkan pada kenyataan yang jauh lebih rumit: restu keluarga yang tak kunjung datang, tekanan sosial, dan bayangan masa depan yang dipenuhi pertanyaan—terutama soal anak-anak dan prinsip hidup.
Di sisi lain, Yudha, sahabat lama Puri, diam-diam menyimpan perasaan. Ia adalah pelindung setia yang selalu hadir di saat Puri terpuruk, terutama saat sang ibu menentang hubungannya dengan Karan
Diam-diam, Yudha berharap bisa menjadi tempat pulang Puri.
Kini, Puri berdiri di persimpangan: antara cinta yang Karan Atau Yudha

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 25

Puri keluar dari kamar perawatan dengan langkah pelan.

Wajahnya masih sembab, namun kali ini ada ketegasan dalam sorot matanya. Ia melihat Karan duduk di kursi tunggu dengan wajah cemas.

"Mas..." Puri duduk di sampingnya, menggenggam tangannya.

"Apa Mama sudah sadar?" tanya Karan cepat.

Puri mengangguk pelan. "Iya... Mama sadar. Dan Mama bilang... kamu harus menikahi aku secepatnya. Tapi ada satu syarat."

Karan menatap Puri serius. "Apa saja, Pur. Aku siap."

Puri menarik napas dalam. "Mama mau kamu jadi mualaf. Dan kamu harus minta izin ke Mama kamu sendiri. Mama nggak mau aku jadi istri yang ditolak keluarga suami."

Karan terdiam beberapa detik, lalu mengangguk mantap.

"Baik, Pur. Aku akan bicara sama Mama. Aku akan ke Yogyakarta sekarang juga."

Puri menatapnya penuh haru. "Kamu yakin?"

"Aku harus yakin. Ini tanggung jawabku. Aku akan berangkat malam ini."

Puri mengangguk, air matanya kembali menetes—kali ini bukan hanya karena sedih, tapi juga karena lega.

Sebelum Karan benar-benar pergi, Puri mengantarnya sampai ke pelataran rumah sakit.

Malam itu terasa dingin, tapi suasananya justru dipenuhi kehangatan perasaan yang campur aduk.

Karan naik ke motornya , bersiap berangkat ke Yogyakarta. Tapi sebelum masuk, Puri memanggilnya pelan.

"Mas..."

Karan menoleh. Dalam sekejap, Puri memeluknya erat.

Pelukan itu bukan sekadar salam perpisahan sementara. Ada ketakutan, harapan, dan cinta yang Puri tuangkan dalam dekapan itu.

"Hati-hati di jalan. Aku tunggu kabar baik dari kamu," bisik Puri, suaranya bergetar.

Karan memeluknya kembali, lembut namun penuh tekad.

"Aku akan kembali bawa restu, Pur. Dan bawa masa depan kita."

Mereka saling menatap sejenak, lalu Karan masuk ke dalam mobil dan melambaikan tangan.

Motor itu melaju perlahan, membawa serta harapan besar di dalamnya.

Puri berdiri di tempatnya, memandang ke arah motor yang makin menjauh, sambil menaruh tangan di perutnya menjaga janji yang sedang tumbuh di dalam dirinya.

Malam itu, setelah perjalanan panjang, Karan akhirnya tiba di rumah ibunya di Yogyakarta.

Rumah yang selama ini memberinya rasa aman, kini terasa sedikit berbeda karena ia datang membawa kabar besar yang bisa mengguncang segalanya.

Dengan langkah berat, Karan masuk ke ruang tengah. Mama Rini sedang duduk di sofa sambil membaca. Saat melihat Karan, raut wajahnya berubah senang.

“Karan? Tumben pulang mendadak. Ada apa, Nak?” tanyanya hangat.

Karan tidak langsung menjawab. Ia duduk bersimpuh di hadapan mamanya, menunduk dengan hormat.

“Ma... aku minta maaf datang malam-malam. Tapi aku harus bicara sesuatu yang sangat penting.”

Mama Rini menatap anaknya dengan penuh tanya.

“Ada apa?”

Karan menarik napas panjang, lalu memberanikan diri menatap mata ibunya.

“Puri... dia sedang hamil, Ma. Dan aku yang bertanggung jawab.”

Mata Mama Rini membelalak, “Apa kamu bilang?”

“Aku ingin menikahinya. Tapi ada satu hal lagi. Puri dari keluarga Muslim. Aku harus masuk Islam, Ma. Itu syarat dari keluarganya... dan aku ikhlas. Karena aku mencintai Puri, dan aku ingin bertanggung jawab atas anak kami.”

Tiba-tiba Mama Rini bangkit dari duduknya, matanya penuh amarah.

“Tidak! Mama tidak setuju! Kamu tahu dari kecil kamu dibesarkan dengan nilai-nilai keluarga dan iman! Dan sekarang kamu ingin meninggalkan semuanya hanya karena perempuan?”

Karan masih bersimpuh, meski hatinya bergetar. “Aku tahu Mama kecewa. Tapi ini bukan hanya soal cinta. Ini soal tanggung jawab dan hidup yang harus aku jalani. Aku nggak bisa lari.”

Mama Rini menggeleng keras. “Mama tidak bisa restui. Jangan harap kamu akan dapat persetujuan dari Mama.”

Karan masih bersimpuh, sementara air mata mulai menggenang di matanya. Ia mencoba tetap tenang, walau hatinya mulai goyah.

“Ma… aku nggak pernah minta banyak. Tapi kali ini, biarkan aku memilih jalan hidupku sendiri. Aku nggak minta restu untuk foya-foya. Aku minta restu untuk menikahi perempuan yang aku cintai… yang sedang mengandung anakku.”

Mama Rini menatap Karan tajam, marah dan kecewa bercampur menjadi satu.

“Kamu sudah keterlaluan, Karan! Kamu hancurkan nama baik keluarga ini! Kamu rusak masa depanmu sendiri hanya karena perempuan yang bahkan berbeda keyakinan!”

Karan menggeleng pelan. “Aku nggak merasa hancur, Ma. Justru aku merasa ini jalan yang harus aku tempuh. Aku siap menanggung semua konsekuensinya.”

Mama Rini melangkah mundur, matanya berkaca-kaca namun wajahnya tetap keras.

“Kalau kamu tetap menikahi perempuan itu… langkahi dulu mayat Mama!”

Kata-kata itu menghantam Karan seperti petir. Ia terdiam, mulutnya terbuka namun tak ada suara yang keluar.

Mama Rini melanjutkan, nadanya tajam dan dingin.

“Sekarang Mama kasih kamu dua pilihan. Tinggalkan perempuan itu dan menikah dengan wanita pilihan Mama… atau kamu keluar dari rumah ini, dan melihat jasad Mama!"

Karan menunduk dalam. Air matanya jatuh. Hatinya robek, tapi ia tahu hidup tak lagi tentang dirinya sendiri.

Ada Puri. Ada anak yang sedang tumbuh dalam kandungan.

Karan berdiri perlahan dari posisi bersimpuhnya. Wajahnya basah oleh air mata, namun kini raut wajahnya tampak tegas.

“Ma… aku sayang Mama, tapi aku juga punya tanggung jawab. Aku nggak bisa tinggalkan Puri dan anakku. Maafkan aku…”

Ia berbalik, hendak keluar dari kamar. Namun tiba-tiba terdengar suara benturan keras di belakang.

Karan menoleh dengan cepat dan matanya membelalak.

“MA!!”

Mama Rini tergeletak di lantai. Di tangannya, ada pecahan kaca yang sempat disentuhnya, dan lengannya berdarah. Matanya setengah terpejam, napasnya terengah.

Tanpa pikir panjang, Karan mengangkat tubuh ibunya dan membawanya keluar rumah. Dengan panik ia membawa sang mama ke rumah sakit terdekat.

Di rumah sakit...

Mama Rini kini terbaring di ranjang perawatan dengan selang infus dan oksigen.

Wajahnya pucat, namun kesadarannya sudah kembali.

Karan duduk di sampingnya, wajahnya penuh rasa bersalah.

“Ma, kenapa lakukan itu? Kenapa sejauh ini?”

Mama Rini membuka mata perlahan, menatap Karan dengan lirih namun tetap keras.

“Kalau kamu masih sayang sama Mama... turuti permintaan Mama...”

Karan menahan napas.

“Menikahlah dengan Amora malam ini,” kata Mam Rini tegas.

“Mama sudah atur semuanya... kalau kamu menolak... kamu akan lihat jasad Mama. Malam ini juga.”

Karan terpaku. Dunia seolah runtuh di hadapannya. Ia berada di antara cinta dan darah, di antara hidup dan kematian.

Malam itu di rumah sakit...

Ruang VIP disulap menjadi tempat pernikahan sederhana.

Hanya keluarga dekat dan beberapa saksi hadir. Mama Rini duduk di ranjangnya dengan senyum puas meski tubuhnya masih lemah.

Di hadapannya, Karan mengenakan pakaian akad berwarna putih.

Di sampingnya, Amora perempuan pilihan Mama Rini yang mengenal busana anggun namun dingin, wajahnya tampak tenang, tapi mata Karan kosong.

Pendeta memberkati mereka dan berlangsung singkat.

Dengan suara pelan tapi tegas, Karan menerima Amora sebagai istrinya.

Mama Rinii meneteskan air mata. Tapi bukan karena haru, melainkan karena kebahagiaan yang penuh kemenangan.

Setelah prosesi selesai, Mama Rini memanggil Karan ke sisinya.

“Nak, sekarang Mama tenang. Kamu sudah menikah dengan pilihan Mama. Kamu sudah lepas dari perempuan itu.”

Karan hanya menunduk.

“Dan mulai malam ini...” lanjut Mama Rini, “Mama larang kamu bertemu lagi dengan Puri. Jangan coba-coba mencari dia. Lupakan semuanya.”

Karan tak menjawab. Hatinya hancur berkeping. Tapi di depannya, Mamanya tersenyum bahagia tanpa tahu bahwa senyum itu mengubur cinta dan anak yang tak berdosa.

1
kalea rizuky
hamil deh
kalea rizuky
bagus awalnya tp karena MC nya berhijab tp berzina maaf Q skip karena gk bermoral kecuali dia di perkosa
kalea rizuky
tuh dnger emak nya karan g stuju ma loe
kalea rizuky
berjilbab tp berzina pur pur didikan ibumu jos
kalea rizuky
pasti ortu karan gk setuju pur. pur bodoh qm blom nikah uda ilang perawan
kalea rizuky
puri kenal karan jd murahan
kalea rizuky
harusnya di pesenin lah taksi online Yuda gk tanggung jawab bgt
kalea rizuky
masih menyimak
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!