Selama ini Tania hidup dalam peran yang ia ciptakan sendiri: istri yang sempurna, pendamping yang setia, dan wanita yang selalu ada di belakang suaminya. Ia rela menepi dari sorot lampu demi kesuksesan Dika, mengubur mimpinya menjadi seorang desainer perhiasan terkenal, memilih hidup sederhana menemaninya dari nol hingga mencapai puncak kesuksesan.
Namun, kesuksesan Dika merenggut kesetiaannya. Dika memilih wanita lain dan menganggap Tania sebagai "relik" masa lalu. Dunia yang dibangun bersama selama lima tahun hancur dalam sekejap.
Dika meremehkan Tania, ia pikir Tania hanya tahu cara mencintai. Ia lupa bahwa wanita yang mampu membangun seorang pria dari nol, juga mampu membangun kembali dirinya sendiri menjadi lebih tangguh—dan lebih berbahaya.
Tania tidak menangis. Ia tidak marah. Sebaliknya, ia merencanakan pembalasan.
Ikuti kisah Tania yang kembali ke dunia lamanya, menggunakan kecerdasan dan bakat yang selama ini tersembunyi, untuk melancarkan "Balas Dendam yang Dingin."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadhira ohyver, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1
Tania memandangi hasil masakannya yang sudah tertata rapih di atas meja makan dengan senyuman yang terukir indah di wajahnya yang anggun, celemek masak bahkan masih melekat di tubuhnya.
Tiba-tiba, sebuah ketukan keras dan beruntun memecah keheningan malam. Bukan ketukan sopan, melainkan hentakan panik yang terdengar seperti tinju menghantam kayu, seolah-olah nyawa seseorang bergantung pada pintu itu. Jeda diantara ketukan nyaris tidak ada, menyiratkan ketergesaan yang mendesak.
Tanpa berpikir panjang, Tania segera berlari ke pintu. Tangannya bergerak cepat membuka kunci dan menarik daun pintu itu lebar-lebar, napasnya tersengal karena kaget dan terburu-buru.
"Ya ampun Luna, kamu bikin aku kaget, aku pikir siapa." Tania menekan dadanya yang masih berdebar-debar.
"Kamu ngapain sih masih pake celemek kaya gini?" Luna mencengkram kuat kedua lengan Tania.
"Kamu kenapa sih Lun, datang tiba-tiba terus raut wajah kamu itu bikin aku takut." Tania bergidik melihat tatapan Luna yang lain dari biasanya.
"Lepasin celemek kamu ini, ikut aku sekarang juga!" Luna melepas paksa celemek Tania.
Luna menarik paksa tangan Tania dan membawanya keluar dari dalam rumah.
"Luna lepasin aku! Kamu mau bawa aku ke mana sih?" Tania menghempas kasar tangan Luna.
"Kamu ini aneh banget, aku gak bisa keluar, Mas Dika belum pulang, gimana kalo dia pulang dan aku gak ada di rumah, Mas Dika pasti khawatir, kasian dia udah kerja seharian, Lun," ucap Tania.
"Kamu kasian sama Dika? Sadar Tania!" Teriak Luna mengguncang tubuh Tania.
"Lihat penampilan kamu tadi, kamu sibuk masak buat Dika, masih setia nunggu Dika pulang dan makan malam sama kamu."
"Tapi kamu gak tau, Dika justru lagi menikmati makan malam romantisnya bersama wanita lain!" teriak Luna, ia tidak bisa lagi menahan diri.
"Dika selingkuh Tania!" Teriaknya lagi.
"Kamu lihat ini, aku sengaja merekam mereka berdua, karena aku tau kamu gak akan percaya tanpa bukti." Luna memperlihatkan video yang di rekamnya tadi kepada Tania.
Tania melihat video di ponsel Luna dengan saksama dan tenang. Tidak ada perubahan ekspresi yang signifikan di wajahnya yang biasanya selalu ceria dan ramah. Ia hanya mengangguk kecil, matanya masih terus menatap ponsel Luna.
"Ayo," katanya datar, suaranya nyaris tanpa emosi.
Tania merapihkan pakaiannya yang sebenarnya tidak kusut, hanya matanya—jika di perhatikan dengan saksama—yang menunjukkan kilatan rasa sakit yang tajam dan dalam, seolah-olah seluruh dunianya baru saja terbakar habis menjadi abu, dan ia berusaha keras menahannya di balik topeng ketenangan yang sempurna.
"Buruan sebelum mereka berdua pergi." Lagi-lagi Luna menarik paksa Tania untuk masuk ke dalam mobil miliknya.
"Kamu yakin Mas Dika masih ada di restauran itu?" tanya Tania.
"Mungkin saja mereka sekarang sudah pergi, untuk apa aku datang ke sana kalo begitu," katanya lagi.
"Kita lihat aja dulu Tan, makannya aku tadi pengen cepat-cepat bawa kamu."
"Kamu harus lihat lelaki yang kamu puja itu aslinya seperti apa."
"Pokoknya nanti di sana kamu harus tampar Dika, tumpah hin air atau makanan ke atas kepalanya, jangan lupa tampar juga wanita pelakor itu, jambak rambutnya, pokoknya aku dukung kamu Tan, kalo perlu kita viral lin mereka berdua," kata Luna berapi-api, tangannya mencengkram kuat setir mobil.
Sementara Tania justru tetap tenang, matanya menatap lurus ke depan namun bukan tatapan yang kosong, tidak ada sedikit pun kesedihan atau gurat kecewa di wajahnya.
Sesekali Luna melirik ke arah Tania, melihat Tania yang tidak ber reaksi apapun membuat Luna semakin khawatir terhadap sahabatnya tersebut.
Keduanya akhirnya sampai di restauran tempat Dika makan malam bersama wanita lain.
Luna turun dari mobil dengan tergesa-gesa, sementara Tania tetap bersikap tenang.
"Ayo buruan Tania, kamu lamban banget sih!" lagi-lagi Luna menarik paksa Tania.
"Eh tunggu!" Luna menghentikan langkahnya, menarik kembali Tania ke arah mobilnya.
Luna membuka mobilnya dan mengambil sesuatu di dalam mobil tersebut.
"Pake ini, biar kita bisa mengamati mereka lebih dekat." Luna memakaikan topi pantai dan kaca mata hitam untuk Tania.
"Kamu yakin aku harus pake kaya gini, Lun?" tanya Tania.
"Mana ada orang ke restauran malam-malam pake topi pantai dan kaca mata hitam, ini terlalu berlebihan, aku gak mau!" Tolak Tania, melepaskan topi pantai di kepalanya.
"Eh jangan! Gak usah peduli omongan orang, ayo kita masuk!" Luna merangkul lengan Tania.
Keduanya bersama-sama masuk ke dalam restauran.
Luna langsung membawa Tania lebih dekat ke meja tempat ia melihat Dika.
Untung saja Dika dan wanita tersebut masih ada di sana.
Tania langsung menghentikan langkah Luna, padahal tinggal beberapa meja lagi, keduanya bisa berhadapan langsung dengan Dika.
Tania menarik paksa Luna untuk duduk di salah satu kursi dengan jarak aman antara dirinya dan Dika, meskipun begitu, ia masih bisa melihat dengan jelas interaksi antara Dika dan juga wanita tersebut.
"Kenapa di sini sih, harusnya kita ke sana Tania, tangan aku udah gatal banget pengen jambak rambut si pelakor itu." Luna mengepalkan satu tangannya dan mengangkatnya tinggi-tinggi.
"Kalo cuma duduk di sini dan gak nge labrak mereka mah buat apa aku panggil kamu ke sini Tania!" geram Luna.
"Huusstt!" Tania menempelkan jari telunjuknya ke bibir Luna.
"Pinjam ponsel kamu, Lun." Tania menengadahkan tangannya.
Meskipun kesal dengan sikap Tania yang tetap tenang, Luna tetap memberikan ponselnya kepada Tania.
Tania menekan nomor ponsel Dika yang ia hapal di luar kepalanya.
Dari tempat duduknya Tania terus melihat ke arah Dika yang sedang menatapi ponselnya. Tania tahu Dika pasti sedang menerka-nerka nomor baru yang menelponnya. Saat di lihatnya Dika mengangkat telponnya, Tania tersenyum datar.
📞"Mas," lirih Tania.
📞"Ini kamu, Sayang ... kenapa nelpon pake nomor baru?"
📞"Ponsel aku batrenya habis, Mas. Kebetulan Luna datang ke rumah, aku nelpon pake ponsel dia."
📞"Kamu lembur lagi, Mas?" tanya Tania.
📞"Iya, Sayang. Saking sibuknya Mas sampe lupa ngabarin kamu, maaf ya," jawab Dika.
📞"Gak usah nungguin Mas, Sayang. Pas banget ada Luna di situ kan, dia bisa nemenin kamu makan malam," kata Dika lagi.
Tania tetap tenang, padahal di depan matanya Dika sedang merangkul manja wanita lain, sementara Luna semakin geram dengan Dika yang bermulut manis kepada sahabatnya, tapi merangkul mesra wanita lain.
Seketika Luna langsung berdiri dengan napasnya yang memburu, Tania memegang erat tangan Luna, menahannya untuk tidak keluar dari kursi, Tania memaksa Luna untuk duduk kembali.
📞"Yaudah kalo gitu, Mas. Telponnya aku matiin dulu ya."
📞"Kamu yang semangat kerjanya, Mas," ujar Tania lembut.
📞"Iya, Sayang. Pasti...," balas Dika.
Tania meletakkan ponsel Luna ke atas meja tanpa mengalihkan sedikit pun pandangannya dari Dika.
Kali ini bukan hanya tangan Dika yang merangkul mesra wanita di sampingnya, Tania bahkan melihat langsung suaminya berciuman dengan wanita lain saat ini, di hadapannya.
Melihat hal tersebut Luna semakin gelisah dan mengepalkan tangannya, sementara Tania tetap tenang.
"Tania!" Luna mencengkram lengan kanan sahabatnya tersebut.
"Kamu tuh gimana sih! Aku bawa kamu ke sini bukan buat nonton mereka!" geram Luna.
Tania tetap diam tak bergeming sedikit pun.
"Tania, kamu dengerin aku gak?!" Kali ini Luna mengguncang tubuh Tania.
"Aku punya cara sendiri, Lun," akhirnya Tania angkat bicara.
Bersambung...