Anton selalu pulang dengan senyum hangat, perhatian yang tak berubah, dan alasan pekerjaan yang terdengar sangat wajar. Terlalu wajar, hingga Nayla tak pernah merasa perlu meragukannya.
Namun ketika satu demi satu kejanggalan kecil muncul, Nayla mulai dihadapkan pada kenyataan pahit. Pengkhianatan tak selalu datang dari sikap yang dingin, melainkan dari kehangatan yang dijaga dengan terlalu rapi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Caracaramel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
Pagi itu seharusnya seperti pagi-pagi lainnya. Tapi sejak Nayla membuka mata, kepalanya berat. Dadanya penuh.
Dan pikirannya berputar tanpa arah.
Anton sudah rapi ketika Nayla keluar kamar. Kemeja biru muda.
Rambut disisir klimis. Aromanya wangi seperti biasa, seakan malam sebelumnya tidak pernah ada pertengkaran kecil yang menggantung di udara.
“Pagi, Sayang.” Anton mencium kening Nayla lembut. “Tidurmu enak?”
Nayla memaksakan senyum. “Lumayan.”
Anton memperhatikan wajah istrinya sejenak. “Kalau kurang enak, nanti sore istirahat ya. Jangan terlalu mikirin hal yang nggak jelas.”
Nada suara Anton sangat lembut.
Lembut yang membuat Nayla tersengat.
Karena lembutnya terasa seperti selimut yang menutupi sesuatu yang gelap di bawahnya.
“Dea masih tidur?” tanya Nayla.
“Sudah bangun. Lagi nyiapin tas.” Anton duduk di meja makan, meraih koran. “Kita sarapan bareng, ya?”
Nayla mengangguk. Dia ikut duduk, mencoba mencairkan suasana seperti biasa. Namun saat mereka makan, dia memperhatikan Anton diam-diam.
Anton tertawa ringan saat Dea bercerita.
Anton mengambilkan telur untuk Nayla tanpa diminta. Anton menyegarkan topik pembicaraan dengan akrab, seperti laki-laki yang tidak punya rahasia apa pun.
Dan justru itu yang membuat Nayla semakin takut. Kalau seseorang benar-benar bersalah, apa mungkin setenang ini? Atau justru ketenangan itu bagian dari kebohongan yang lebih besar?
Dea pamit berangkat, dan Anton menengok pada Nayla. “Kamu ikut antar?” tanyanya.
Nayla menggeleng. “Aku capek. Kamu sama Dea aja.”
Anton tersenyum maklum, lalu berdiri. “Oke, aku pulang agak lama ya.”
“Agak lama? Kenapa?” tanya Nayla. Padahal biasanya dia tidak akan bertanya begitu.
Anton mengangguk santai. “Ada meeting tambahan. Jangan tunggu makan malam. Aku mungkin pulang agak malam.”
Kata-kata itu menusuk sesuatu di dalam dada Nayla. “Jam berapa kira-kira?” tanyanya setenang mungkin.
“Belum tahu. Yang penting kamu nggak usah nunggu. Tidur duluan aja.”
Lalu Anton mencium kepalanya sebelum pergi, seolah tidak ada apa pun yang berubah.
***
Setelah pintu tertutup, Nayla berdiri lama di ruang makan yang tiba-tiba terasa dingin. Ia menghela napas dalam, lalu menuju meja kerja Anton, meja yang mungkin saja menyimpan bukti-bukti mencurigakan itu. Dia embuka laci perlahan, memastikan. Ternyata masih kosong.
Tapi mata Nayla menangkap sesuatu di bawah meja, dekat kaki kursi. Sebuah kartu akses parkir berwarna hitam dengan logo kecil hotel yang sama dengan bill semalam.
Nayla membeku. Dia memungut kartu itu perlahan, menggenggamnya erat.
Tidak ada nama di kartu itu, tapi cukup untuk membuat lututnya kembali lemas.
“Kenapa ada di sini?” bisiknya pada diri sendiri.
Sebelum ia sempat memikirkan lebih jauh, ponselnya bergetar. Anton menelepon.
Nayla menelan ludah, ragu-ragu mengangkatnya. “Halo?” suaranya serak.
“Sayang,” suara Anton ramah. Terlalu ramah. “Aku lupa bilang, dompet kecil kemarin jangan diapa-apain dulu. Ada beberapa kartu kerja di dalamnya.”
Nayla menegang.
“Oh… iya. Baik.”
“Kamu lagi ngapain? Suaranya beda.”
Nayla menarik napas panjang.
“Aku lagi beres-beres rumah sama Bu Sari.”
Anton tertawa kecil. “Jangan kebanyakan beres-beres. Kamu itu suka nyimpen barang sampai lupa, nanti malah ilang.”
Nayla tidak menjawab. Dia hanya memejamkan mata. Karena di tangannya, ia menggengga bukti lain yang seharusnya tidak ada.
“Sayang,” ucap Anton sebelum menutup telepon, “jangan mikir macam-macam hari ini, ya. Aku sayang kamu.”
Telepon terputus. Nayla duduk di lantai, punggungnya bersandar pada meja.
Napasnya berat. Tangannya gemetar.
Dia tak tahu lagi mana yang benar. Kata-kata Anton atau bukti-bukti kecil yang terus bermunculan tanpa dia minta. Satu hal pasti, kebohongan yang dirapikan pun selalu meninggalkan serpihan yang tidak sengaja.
Nayla meremas kartu akses hotel itu begitu kuat hingga ujungnya melengkung.
Ia memandangi benda kecil itu seakan benda itulah yang membuat hidupnya berubah dalam dua hari terakhir.
Padahal, yang menghancurkan bukan kartunya. Bukan bill hotelnya ataupun obat kuat itu.
Yang menghancurkan adalah kemungkinan bahwa semuanya benar.
Bahwa sesuatu sedang berlangsung di belakang dirinya dan di balik semua senyum Anton yang hangat dan sempurna.
Nayla mengusap wajahnya, mencoba mengembalikan napas. Dia bangkit pelan, menyimpan kartu itu di dalam laci meja riasnya, tempat Anton hampir tidak pernah mengutak-atik. Kemudian dia turun ke dapur, berusaha menyibukkan diri.
Namun apapun yang disentuhnya terasa hambar. Dia memotong bawang, lalu salah memotong hingga jarinya tergores.
Ia menanak nasi lalu lupa menekan tombol cook. Dia menyalakan kompor tapi lupa mematikan.
Sampai Bu Sari buru-buru menghampirinya. “Mbak Nayla, Mbak kenapa? Dari tadi kelihatan bingung sekali.”
Nayla tersentak. “Saya kurang tidur, Bu.”
“Bukan cuma kurang tidur,” Bu Sari menatapnya khawatir. “Mbak seperti orang ketakutan.”
Nayla terdiam.
Ketakutan? Iya. Itulah yang dia rasakan saat ini. Ketakutan tanpa bentuk, tanpa wajah, tanpa bukti pasti. Tapi cukup besar untuk membuat tubuhnya gemetar.
“Mbak, ada masalah sama Mas Anton?” tanya Bu Sari dengan suara sangat hati-hati.
Pertanyaan itu membuat Nayla berdiri tegak. “Nggak, Bu.” Nayla tersenyum tipis, memaksakan diri. “Nggak ada masalah.”
Bu Sari mengangguk, tetapi tatapannya jelas tidak percaya. “Kalau butuh bantuan, bilang ya, Mbak.”
Setelah Bu Sari kembali bekerja, Nayla menyalakan kompor lagi dan memaksakan dirinya memasak. Dia mencoba menggenggam rutinitas, berharap rutinitas bisa menenangkan.
Seandainya aku salah. Seandainya semua ini cuma kebetulan. Seandainya aku hanya terlalu sensitif. Nayla menatap panci mendidih yang tak dia sadari sudah hampir meluap.
Dia mematikan kompor buru-buru.
Lalu duduk di meja dapur, menatap kosong ke arah halaman belakang.
Ponselnya berbunyi. Pesan masuk. Nayla meraihnya dengan tangan bergetar.
Dari: Rani
“Nay, kamu jadi datang arisan nanti sore? Kita kumpul jam empat.”
Nayla hampir lupa. Ia mengetik balasan cepat.
“Kayaknya aku nggak bisa. Lagi nggak enak badan.”
Tak lama kemudian balasan masuk.
“Kamu oke? Kalau butuh teman cerita, bilang ya.”
Nayla menutup ponsel.
Ia tahu Rani tipe yang akan kepo kalau diberi sedikit celah, dan Nayla tidak mau membahas apa pun.
Belum. Tidak sebelum dia tahu pasti apa yang sedang terjadi. Nayla meraih gelas dan meneguk air. Tangannya masih gemetar.
***
Siang menjelang sore ketika Nayla duduk sendirian di ruang tamu, memandangi jam dinding. Jarum jam terasa lambat, sangat lambat. Setiap detik terasa berat.
Pukul enam lewat sepuluh menit, ponselnya bergetar.
Nama Anton muncul di layar.
Nayla menelan ludah sebelum mengangkatnya.
“Halo?”
“Sayang,” suara Anton terdengar samar, seperti sedang di tempat ramai. “Aku baru keluar meeting. Kayaknya aku telat pulang lagi malam ini.”
Nayla menggenggam ponsel erat.
“Oh iya. Nggak apa-apa.”
“Kamu istirahat ya? Jangan tidur malam-malam. Aku nggak mau kamu sakit.”
“Mas” Nayla ragu-ragu. “Kamu yakin kamu tidak apa-apa?”
“Hah?” Anton terdengar bingung. “Maksud kamu?”
“Kamu sibuk sekali akhir-akhir ini.”
Anton tertawa pelan. “Namanya juga kerja, Sayang. Kamu jangan mikir yang aneh-aneh lagi, ya?”
Nayla menutup mata. Kalimat itu lagi.
Jangan mikir aneh-aneh. Seolah pikiran Nayla masalahnya. Seolah semuanya hanya imajinasinya.
“Sampai jam berapa?” Nayla akhirnya bertanya.
“Mungkin sekitar sepuluh atau sebelas. Aku kabarin kalau mau balik.”
“Oh, oke.”
“Nayla,” suara Anton menjadi lebih lembut, “aku sayang sama kamu. Kamu tahu itu, kan?”
Tenggorokan Nayla tercekat.
“Iya.”
Anton menutup telepon. Saat layar ponsel padam, Nayla menarik napas panjang.
Napas yang terasa terlalu berat untuk dirinya sendiri.
Dia menatap pintu rumah yang tertutup, dan untuk pertama kali dalam pernikahan mereka, Nayla merasa seperti menunggu seseorang yang bukan lagi suaminya.