NovelToon NovelToon
Runaways Of The Heart

Runaways Of The Heart

Status: sedang berlangsung
Genre:Identitas Tersembunyi / CEO / Percintaan Konglomerat / Cinta pada Pandangan Pertama / Mafia / Cintapertama
Popularitas:292
Nilai: 5
Nama Author: Dana Brekker

Darren Myles Aksantara dan Tinasha Putri Viena sama-sama kabur dari hidup yang menyesakkan. Mereka tidak mencari siapa pun, apalagi cinta. Tapi pada malam itu, Viena salah masuk mobil dan tanpa sengaja masuk ke lingkaran gelap keluarga Darren. Sejak saat itu, hidupnya ikut terseret. Keluarga Aksantara mulai memburu Viena untuk menutupi urusan masa lalu yang bahkan tidak ia pahami.

Darren yang sudah muak dengan aturan keluarganya menolak membiarkan Viena jadi korban berikutnya. Ia memilih melawan darah dagingnya sendiri. Sampai dua pelarian itu akhirnya bertahan di bawah atap yang sama, dan di sana, rasa takut berubah menjadi sesuatu yang ingin mereka jaga selamanya.

Darren, pemuda keras kepala yang menolak hidup dari uang keluarga mafianya.

Viena, gadis cantik yang sengaja tampil culun untuk menyembunyikan trauma masa lalu.

Genre : Romansa Gelap

Written by : Dana Brekker

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dana Brekker, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ch 21

Andaikata waktu bisa diulang, Viena tidak akan kabur malam itu.

Setelah kejadian di restoran seafood, segalanya menjadi kaku. Tidak ada pertengkaran terbuka, tidak ada kata-kata kasar, tapi cukup satu keputusan impulsif untuk membuat semuanya kini berjarak. Sudah satu minggu berlalu, dan ia berusaha keras seolah tak terjadi apa-apa. Tentu dia tahu jika mengedepankan ego adalah keputusan terbodohnya, tapi entah kenapa Viena justru menanti kata-kata ajaib yang kelak akan muncul sebagai malaikat penyelamat yang akan mencairkan kebekuan ini. Tapi apa daya, sudah tujuh hari berjalan tanpa kemajuan berarti.

Studio sore itu beraroma khas yang kini membuatnya terbiasa, kombinasi kopi, kabel, dan kayu dari berbagai alat musik yang menua oleh waktu. Dari balik kaca studio, langit tampak separuh jingga separuh kelabu. Di dalam ruangan, hanya ada suara gitar akustik yang dipetik berulang dan suara lembut Arven yang kadang bersenandung lirih. Bukan tanpa alasan Viena tetap berada satu level di bawah vokalis Midnight Alter itu dalam urusan suara, meskipun Arven terus membantahnya.

“Coba ulang dari bridge-nya. Kayak tadi, tapi tarik napas dulu sebelum kamu ambil nada tinggi,” urai Arven dari balik kursi mixer audio, mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan kala Viena yang berdiri di depan mic mengangguk setuju. Rambutnya diikat ke belakang seadanya, dan hoodie oversize abu-abu itu nyaris menelan seluruh tubuh mungilnya.

Tinasha menutup mata, menarik napas, dan menyanyikan ulang bait itu. Suaranya lembut tapi terkontrol, indah seperti biasa. Lalu ketika bait terakhir meluncur, Arven mengangkat jempol dengan tersenyum puas.

 

“Perfect. Aku suka yang kayak gitu, natural tapi kena,” pujinya sambil memutar kursi ke arah gadis itu. “Aku rasa kita bisa rekam versi penuh minggu depan.”

“Kalau kamu nggak berubah pikiran duluan,” cetus Viena separuh bercanda.

Lantas Arven tertawa kecil. “Aku gak nyangka kamu bisa cepat adaptasi, padahal baru seminggu di pipeline. Biasanya orang baru pasti kaku.”

“Iya kah? Aku cuma berusaha apa yang aku bisa.”

Momen kedekatan mereka terbentuk dengan cepat. Adapun di luar ruang latihan, terdengar samar suara Bima dan Yunho sedang bercanda di ruang lounge, mungkin masih menunggu giliran mixing. Tapi di dalam ruangan ini, atmosfernya lebih personal. Walau tidak sesunyi jika Viena hanya berduaan dengan Darren seperti biasanya, Arven jelas lebih pintar mencari topik dan pandai memamerkan barisan giginya saat tertawa lepas.

“Ngomong-ngomong,” Arven menyandarkan punggung ke kursinya, mengambil gitar ke pangkuannya, “kamu tadi sempat denger kabar dari Darren, kan?”

“Yang mana?”

“Soal malam ini. Kita bakal makan bareng di tempat biasa, bareng anak-anak. Yunho udah pesen tempat di rooftopnya Langit. Katanya mau sekalian celebrate, projectnya Bima baru deal sama sponsor.”

“Oh… ,” Viena berpura-pura ingat, padahal jelas ia lupa. “Iya-iya. Aku ikut, deh.”

 

“Bagus. Soalnya kalau kamu gak datang, Yunho pasti ngambek. Katanya tim gak lengkap tanpa suara malaikat.”

“Bohong!” Viena spontan tersedak tawa. “Astaga, siapa yang ngajarin dia gombal segitu parahnya?”

“Langit,” jawab Arven tanpa pikir. “Kayaknya mereka lagi balapan siapa yang bisa bikin muka kamu merah duluan.”

 

“Mana ada! Bohongnya makin keliatan, tuh,” balasnya cepat, tapi senyumnya menampik kalimat itu sendiri.

 

Arven memperhatikan sebentar. Wajah Viena yang biasanya dingin, ragu, malu, kini tampak sedikit lebih hidup ketika tertawa, ada aura yang sama sekali lain dari dirinya yang dulu di studio seperti gadis tertutup yang selalu menunduk, selalu menjaga jarak. Kini dia berdiri di sampingnya, menatap layar laptop dan mencatat nada-nada yang barusan ia nyanyikan.

“Viena,” panggil Arven.

“Hm?”

“Kenapa kamu suka musik?”

Pertanyaan itu muncul begitu saja, tapi mengalir tanpa tekanan.

Gadis itu terdiam dalam pikirannya tatkala pandangannya turun pada jemarinya yang memegang pulpen.

 

“Aku… gak tahu harus jawab apa,” ucap Viena dengan ragu. “Mungkin karena dulu cuma itu hal yang aku bisa.”

“Cuma itu?”

 

“Waktu kecil aku suka nyanyi di acara sekolah. Kadang di acara lomba, kadang cuma buat senang-senang. Kebetulan pernah menang lomba juga,” gadis itu tersenyum samar, merendah. “Tapi setelah makin besar, semuanya jadi rumit. Dilarang tampil, disuruh fokus ke hal lain. Katanya musik itu gak ada masa depan. Aku sempat percaya, jadi… aku buang semua yang berhubungan sama itu.”

“Terus?” tanya Arven, jemarinya masih di senar gitar tapi tak bergerak.

“Terus hidupku jadi hampa,” jawabnya jujur.

Kalimat itu sederhana, tapi menembus ruang di antara mereka.

Arven mengangguk simpati. Ia paham betul perasaan itu, kadang rasa kehilangan bagian diri yang seharusnya tidak pernah dilepas.

Untuk meredakan suasana yang tiba-tiba berat, Arven menepuk lututnya, cukup keras sampai mampu membuat dua alis gadis itu terperanjat “Oke, topik serius cukup. Sekarang waktunya main gitar. Soalnya, soloist keren itu harus bisa ngiringi dirinya sendiri. Masa kamu kalah sama Langit yang cuma bisa dua chord tapi pede banget tampil?”

Viena mengangkat alis. “Kamu ngajak tanding?”

“Enggak—”

“Tapi nadanya kayak ngajak tanding.”

Arven tersenyum lebar. “Kalau kamu mau, ayo.”

Viena menatap gitar di tangan Arven, lalu meraih gitar akustik satunya di sudut ruangan. Tangannya gesit, membetulkan tuning cepat, ajaibnya gadis itu sudah terbiasa. Begitu dia mulai memetik, Arven sempat melongo. Petikan pertama saja sudah terdengar halus, seperti seseorang yang pernah memainkannya selama bertahun-tahun.

“Aku kira kamu cuma bisa nyanyi.”

“Lupa ya? Aku juga jago bersih-bersih,” balasnya, kini senyum itu berubah jadi tantangan.

Dalam sekejap, studio berubah jadi arena duel. Arven memainkan petikan cepat dari lagu klasik “Shape of My Heart”, sementara Viena membalas dengan riff slow tempo dari “City of Stars”. Suara dua gitar beradu, saling menimpali, saling menantang, tapi hebatnya dua-duanya bermain ciamik.

“Widih, fingerstyle kamu rapi juga,” puji Arven di tengah permainan.

“Biasa aja, kok. Belajar dikit dari LuTube,” jawabnya datar, tapi membuat Arven terbahak.

 

Beberapa kali mereka salah nada dan tertawa bersamaan, tanpa canggung. Rasanya seperti dua sahabat lama yang tak sengaja bertemu lagi. Viena mulai lupa seberapa berat pikirannya selama ini. Bahkan ketika ia kalah di ronde terakhir lantaran jari-jarinya terpeleset di senar F, ia tetap tertawa sampai perutnya sakit.

 

“Ya ampun, kalah juga akhirnya,” ujarnya antara malu dan puas.

“Bukan kalah. cuma beda gaya aja,” sahut Arven, menirukan nada bijak Darren.

Viena spontan menatap. Nada bicara itu muncul seperti alarm tak diundang. Ia menunduk lagi, memetik gitar secara pelan di pangkuannya.

Arven menyadari perubahan kecil itu. “Kenapa?”

“Gak apa-apa,” tukas Viena, menenangkan. “Aku cuma lagi mikir.”

Namun belum sempat Arven menanggapi, pintu studio bergeser. Suara langkah berat masuk bersama aroma cologne yang khas bagi mereka berdua.

Suasana seketika berubah.

Darren berdiri di ambang pintu, masih mengenakan kaos hoodie long line putih dan tas selempang yang Viena tahu laki-laki itu baru datang dari mana. Wajahnya datar, tapi sorot matanya menelusuri ruang dari mixer audio, dua gitar di tangan mereka, hingga ekspresi canggung di wajah Viena.

“Habis nge-gym?” tanya Viena basa-basi.

“Iya.” Datar, tanpa senyum. “Masih Latihan?”

“Baru selesai,” Arven cepat-cepat menimpali. “Kita cuma coba improvisasi dikit. Oh iya, soal makan malam nanti—”

 

“Aku tahu,” potong Darren sambil menaruh tasnya di kursi.

 

Viena berdiri perlahan, merapikan rambutnya. “Aku udah dikabarin, kok. Aku bakal ikut.”

 

Darren mengangguk singkat. Tapi cara pandangnya seolah ingin mengucap sesuatu lebih, lalu menahannya. Hening beberapa detik terasa seperti rollercoaster.

Arven mencoba mencairkan suasana, setengah bercanda, “Eh, kita barusan battle gitar. Kamu mesti denger, Viena jago banget. Hampir ngalahin aku yang udah main bertahun-tahun.”

 

Tapi reaksi yang muncul dari Darren bukan tawa, bukan pujian. Ia hanya menatap keduanya, terlalu lama, terlalu dalam sebelum menjawab datar, “Bagus. Itu produktif.”

 

Viena merasakan dadanya menegang. Ia ingin menjelaskan, ingin mengatakan bahwa tidak ada apa pun yang salah, tapi entah kenapa suaranya terjebak macet. Sementara

Arven mulai membereskan gitar, seolah mengerti bahwa latihan sore ini sudah berakhir. Yang jelas dia kurang lebih sadar akan hubungan Viena dan Darren sore ini. Itu gak bagus sama sekali.

 

“Baiklah,” ujar Arven. “Kalau gitu aku siap-siap ke rooftop duluan.” Pemuda berambut medium itu melirik Viena dan Darren bergantian, lalu menambahkan, “Kalian nyusul aja, ya?”

 

Tak ada jawaban selain anggukan. Begitu Arven keluar, yang tersisa hanyalah keheningan. Darren menatap layar laptop yang masih menyala, memperlihatkan hasil take Viena beberapa menit lalu. Laki-laki itu tak berucap apa pun, hanya duduk di kursi yang Arven tinggalkan.

 

Sementara Viena berdiri tak jauh darinya, tangan masih memegang gitar, berusaha memulihkan napas yang tiba-tiba terasa pendek.

 

Ia tahu Darren tidak marah. Sifat Darren memang seperti itu. Tapi ia juga tahu jika sesuatu di antara mereka belum selesai sejak malam di restoran seafood.

 

Dan malam ini, di tengah cahaya jingga yang makin memudar dari balik jendela studio, keduanya harus kembali menghadapi sisa dari percakapan yang belum selesai. Malas hati untuk memulai, tapi bisa-bisa mereka terperangkap di sini semalaman, dan Viena gak mau itu.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!