Aku belum bisa mencintai sosok pria yang telah menikahiku. Kenapa? Karena, aku tak mengenalnya. Aku tidak tahu dia siapa. Dan lebih, aku tak menyukainya.
Pria itu lebih tua dariku lima tahun. Yah, terlihat begitu dewasa. Aku, Aira Humaira, harus menikah karena usiaku sudah 23 tahun.
Lantas, kenapa aku belum siap menikah padahal usiaku sudah matang untuk melaju jenjang pernikahan? Yuk, ikutin kisahku bersama suamiku, Zayyan Kalandra
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Umi Nurhuda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku Ingin Silaturahmi
“Kenapa gendhuk Aira mendadak ingin ke sana?” Si Sepuh bertanya-tanya.
“Kami belum tahu, puh. Tapi kelihatannya dia dijemput oleh papanya.”
Si sepuh mengangguk pelan, lalu memberikan perintah dengan suara tegas. “Ya wis. Ikuti dari jauh. Jangan sampai dia tahu. Tapi pastikan, gendhuk ayuku itu tetap dalam keadaan aman. Jangan sampai ada satu helai rambutnya pun terluka.”
“Baik, puh,” jawab mereka serempak.
Aira membawakan berbagai buah tangan untuk keluarga Bapak Dikromo. Ada satu set perlengkapan sekolah lengkap untuk Melati. Untuk Sunan, Aira membelikan sepasang sepatu kets hitam dan hodie hangat.
Tak hanya itu, ia juga membawa satu set cangkir porselen bermotif klasik untuk digunakan keluarga saat menjamu tamu, sepasang kemeja dan kebaya couple untuk kedua mertuanya, serta beberapa dus sembako yang berisi beras, minyak, gula, dan kebutuhan dapur lainnya.
Mobil mereka akhirnya tiba di depan rumah sederhana di Desa Dikromo saat matahari mulai condong ke barat. Jam di dasbor menunjukkan pukul 16.00.
"Astaga, Aira… Kita sampai sini udah hampir Maghrib," celetuk Papanya sambil memarkirkan mobil. “Kamu tuh, kalau belanja kayak nggak inget waktu. Ini semua dibawa dari kota lho."
Aira tersenyum kikuk, lalu menjawab pelan, “Aku cuma ingin mereka tahu kalau aku peduli, hehe."
Sang Papa melirik putrinya sebentar, ekspresi kesal perlahan berubah jadi iba. Ia mengangguk pelan. “Ya sudah. Kalau niatmu baik, semoga jadi pahala.”
Aira menatap rumah sederhana itu. Ia menarik napas panjang, lalu menguatkan hatinya. Hari ini, ia datang bukan hanya membawa barang, tapi untuk silaturahmi.
Di dalam rumah, Ibu Sukamti sedang berdiri di depan cermin kecil yang ditempelkan di dinding. Ia mematut-matutkan dirinya sambil mengenakan gelang emas tebal di kedua pergelangan tangan, cincin mencolok di hampir setiap jari, dan kalung emas yang menjuntai di lehernya.
Hari itu, ia berencana untuk hadir dalam acara rewangan tetangganya, dan seperti biasa, tak ingin kalah dari ibu-ibu lain.
“Wah, aku yakin, mas-masanku iki ora ono sing iso tandingi!” gumamnya dengan bangga sambil mengedip-ngedipkan mata ke arah bayangan dirinya sendiri. “Kilau ne iki... pol banget. Marai mata picek, rek! Hahaha,” tawanya lepas, senang bukan main melihat pantulan kilau emas yang menempel di tubuhnya.
Sementara itu, Bapak Dikromo duduk santai di kursi kayu panjang, bersila sambil menyeruput kopi tubruk yang masih mengepul. Ia mengamati istri gemuknya dengan senyum geli, sembari menggeleng-geleng pelan melihat betapa semangatnya perempuan yang sudah setengah abad lebih itu berdandan layaknya gadis baru menikah.
Namun, suara mesin mobil di depan rumah membuatnya menoleh waspada.
“Buk, buk... denger ndak? Kayaknya ada mobil berhenti di depan,” katanya, sambil meletakkan cangkir kopinya ke atas meja kayu.
Ibu Sukamti mendengus, masih terpaku di depan cermin. “Ah, sapa sih, Pak. Ganggu wong lagi pamer ning ngarep cermin wae…”
Bapak Dikromo mencondongkan tubuhnya ke arah jendela, lalu matanya melebar. “Buk! Astaga! Kui Gendhuk Aira sama Pak'e! Cepet, cepet, buk! Rapikan semua! Sampeyan bajunya jangan terlalu nyentrik begitu!”
“Apa? Beneran?!” Ibu Sukamti buru-buru menarik kain jariknya dan mulai menyingkir dari cermin, panik. “Iya, iya! Tapi kamu duluan sana sambut, Pak! Aku ndak mau keliatan heboh duluan!”
“Ya malah kamu yang heboh, Buk...” gumam Pak Dikromo sambil buru-buru berjalan keluar menyambut kedatangan tamu istimewa mereka.
“Asss-salamu’alaikum!”
Suara Papa menggema di pelataran rumah, berat dan penuh wibawa, seperti seorang pejabat yang sedang menyapa warga.
Aira langsung menyikut pelan lengannya, setengah malu. “Papa... biasa aja kali, kayak mau pidato aja.”
Papanya hanya nyengir, tak merasa bersalah.
Dari dalam rumah, Bapak Dikromo menyembul sambil merapikan letak sarungnya. “Wa’alaikumsalam... wah, mangga Bapak dan Gendhuk Aira. Tumben mampir, ndak ada kabar dulu.”
“Maaf kalau kedatangan kami mendadak, Pak. Saya tahu ini di luar rencana,” jawab Papa, sopan tapi hangat.
“Boten nopo-nopo. Mangga, mangga mlebet. Wong rumah sendiri kok,” sambut Bapak Dikromo sambil membuka lebar pintu rumah.
Begitu masuk, Aira dan Papa meletakkan bingkisan mereka di dekat meja tamu ruangan. Bau kayu tua bercampur wangi teh hangat langsung menyambut mereka.
“Kok sampe bawa barang sebanyak ini tho, Nduk? Jadi sungkan,” ujar Bapak Dikromo sambil mengamati tumpukan buah tangan yang berisi sembako, pakaian, dan perlengkapan sekolah.
“Ndak apa-apa, Pak. Semua ini dari Aira sendiri,” jawab Papa sambil menatap putrinya dengan bangga.
Aira hanya tersenyum dan mengangguk sopan.
“Matur suwun sanget, Gendhuk Aira,” ucap Bapak Dikromo tulus. “Nggonku iki sederhana, tapi kamu selalu bawa berkah.”
“Sama-sama, Pak...” jawab Aira lembut. “Ngomong-ngomong, Ibu mana ya?”
Seolah mendengar namanya disebut, Ibu Sukamti muncul dari dapur membawa nampan berisi teh manis panas dan beberapa kue kering. Penampilannya sedikit mencolok dengan kalung emas yang menggantung di leher dan gelang tebal yang berdenting halus setiap kali tangannya bergerak.
“Lhoh, Zayyan ndak ikut, Nduk?” tanyanya sambil meletakkan teh di atas meja.
“Kak Zayyan lagi ada dinas di luar kota, Bu,” jawab Aira dengan suara rendah.
“Walah, mak jegagik rene. Kamu iki kesini sudah pamit belum sama bojomu? Jangan sampe lho, nanti dia nggak seneng terus marah-marah ke aku. Aku ora gelem disalah-salahke,” tukas Ibu Sukamti, nada tajamnya tetap terasa.
"Um," Aira terdiam.
Melihat ketegangan kecil itu, Papa segera mengambil alih suasana. “Aira ke sini karena ingin bersilaturahmi. Sudah lama ndak main ke sini. Gimana kabarnya Bapak dan Ibu? Sehat selalu gih?”
“Alhamdulillah, Pak. Walau kaki mulai sering gringgingen, hati masih seneng kalau disambangi anak-anak,” jawab Bapak Dikromo sambil tersenyum.
Cara duduk Ibu Sukamti tampak agak menyamping, melengos ke arah luar jendela seolah-olah sedang menikmati pemandangan, padahal jelas terasa sengaja. Seakan memberi sinyal bahwa ia enggan membuka obrolan dengan menantunya.
Aira menatap sesaat, lalu berpaling sambil menarik napas pelan. “Ya ampun... Ini kayak lagi menghadapi wali murid yang baru saja marah karena anaknya dibilang banyak ulah. Padahal aku cuma ngasih fakta. Tapi sekarang... ibu mertuaku sendiri? Salahku apa sih sampai beliau bersikap dingin begini?” batinnya menggerutu.
Sementara itu, Papa dan Bapak Dikromo mengobrol ringan, membahas kabar dari kementerian dan keadaan kampung. Tawa mereka terdengar sesekali, menjadi latar yang kontras dengan ketegangan di kepala Aira.
Aira duduk tenang, tapi dalam dirinya terjadi perang batin. “Ayo, Aira... Kamu udah niat ke sini. Silaturahmi. Mau mencoba mendekatkan diri sama ibu mertua. Tapi kenapa kaku banget sih?! Kenapa mulut ini rasanya kayak dikunci lem super?”
Dia menatap gelas tehnya. Jari-jarinya memainkan pegangan cangkir, seolah mencari alasan untuk bicara. “Ngobrol dong... apa aja! Tanyain kabar, puji gelangnya kek, atau teh buatannya. Asal jangan diem doang. Masa guru bisa ngomong sama ratusan siswa, tapi sama satu ibu ini malah bisu.”
Dinikahi cuma buat status biar nggak kelihatan kayak simpenan. Kasandra disuruh nyusuin anak dari istri sebelumnya, juga. Apes... apes...