Lahir dari pasangan milyuner Amerika-Perancis, Jeane Isabelle Richmond memiliki semua yang didambakan wanita di seluruh dunia. Dikaruniai wajah cantik, tubuh yang sempurna serta kekayaan orang tuanya membuat Jeane selalu memperoleh apa yang diinginkannya dalam hidup. Tapi dia justru mendambakan cinta seorang pria yang diluar jangkauannya. Dan diluar nalarnya.
Nun jauh di sana adalah Baltasar, seorang lelaki yang kenyang dengan pergulatan hidup, pelanggar hukum, pemimpin para gangster dan penuh kekerasan namun penuh karisma. Lelaki yang bagaikan seekor singa muda yang perkasa dan menguasai belantara, telah menyandera Jeane demi memperoleh uang tebusan. Lelaki yang mau menukarkan Jeane untuk memperoleh harta.
Catatan. Cerita ini berlatar belakang tahun 1900-an dan hanya fiktif belaka. Kesamaan nama dan tempat hanya merupakan sebuah kebetulan. Demikian juga mohon dimaklumi bila ada kesalahan atau ketidaksesuaian tempat dengan keadaan yang sebenarnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon julius caezar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EPISODE 32
Pintu rumah itu baru saja dibanting tertutup oleh Estela ketika Baltasar bangkit dari kursinya dan mulai melangkah ke arah Jeane, dengan membawa buntalan yang baru saja dilemparkan oleh Estela. Jeane menjadi tegang seketika. Pikirnya, kalau pria itu mengira bahwa ia akan mencucikan pakaian kotor itu, maka pria itu bolehlah mengharapkan suatu kejutan!
Tetapi, sebelum menyerahkan buntalan itu kepada Jeane, pria itu membukanya dan membentangkan isinya yang ternyata justru mengejutkan Jeane. Bukan pakaian kotor Baltasar, Jeane dengan heran melihat bagian depan sepotong blus bordiran dan sepotong rok yang lebar dan bewarna merah. Tampak jelas bahwa pakaian itu merupakan pakaian bekas. Pakaian bekas Estela yang diberikan dengan keengganan dan kemarahan.
Tetapi Jeane juga tidak terlalu perduli. Keinginan untuk memakai pakaian yang tidak terlepas semua kancingnya atau yang tidak hanya mencapai perut yang ditutupinya, adalah terlalu menarik untuk menolak pemberian itu hanya karena soal harga diri.
Dan selimut kasar yang menjadi semacam sari itu, tiba tiba saja menjadi terasa gatal. Jeane dengan perasaan penuh gairah menerima pakaian itu dari tangan Baltasar dan bergegas menuju ke kamarnya, melupakan pekerjaan mencuci alat alat bekas makan yang masih belum diselesaikannya karena nafsunya untuk segera berganti pakaian.
Blus bordir itu agak ketat pada bahunya dan rok itu juga sedikit terlalu pendek. Tetapi itupun tidak apa apa dan tidak menjadi masalah. Jeane menganggap pakaian itu cocok saja dengan dirinya. Sikapnya ikut berubah dengan memakai pakaian itu. Jeane tiba tiba saja merasa senang dan riang, walaupun mungkin hanya untuk sementara sifatnya. Ia segera kembali ke ruang utama itu, secara tidak sadar karena didorong untuk memamerkan pakaian yang baru dipakainya itu. Pakaian itu seolah memberinya kepercayaan diri yang tanpa disadarinya telah hilang darinya sejak ia menjadi tawanan gerombolan bandit itu.
Baltasar adalah orang pertama yang mengangkat muka memperhatikan penampilan Jeane ketika ia masuk ke dalam ruangan itu. Antonio sendiri sudah berada di tengah jalan menuju pintu keluar, sudah memakai jas hujan untuk menembus badai di luar rumah itu.
"Jangan kau pergi dulu, Antonio," Jeane segera memprotes dan bergegas mendekati Antonio.
Sambil tersenyum pada Jeane, Antonio menjawab, "Ini sudah larut malam."
"Belum tengah malam. Jangan pergi dulu," bujuk Jeane.
"Aku......." Antonio tampak ragu ragu, matanya menyapu seluruh penampilan Jeane dengan kekaguman yang tidak dapat disembunyikan.
"Ayolah, jangan kau pergi dulu," kata Jeane. Dengan bebasnya ia memegang lengan Antonio dengan ke dua tangannya. "Sekarang aku mempunyai pakaian lain daripada pakaian yang terus terusan kupakai itu. Dan sekarang aku mau merayakan peristiwa ini sebelum keasyikan memakai pakaian bekas yang baru bagiku ini luntur....."
"Baiklah," Antonio tersenyum menyeringai dan melepaskan kembali jas hujan yang telah dipakainya.
Jeane segera mengambil jas hujan itu dan menggantungkannya pada kaitan di balik pintu.
"Kau belum mengatakan bagaimana dengan penampilanku," Jeane mengingatkan Antonio. "Memang harus kuakui bahwa ini tidak dapat dikatakan hebat sekali tetapi..........."
"Yang jelas kali ini lebih dari yang biasanya kau pakai itu," komentar Antonio dan berpura pura sedih. "Tetapi ini kemajuan yang tidak dapat disangkal bila dibandingkan dengan dirimu saat memakai celana panjang.
Jeane tertawa.
Mata Antonio mengelam. "Kau benar benar cantik mempesona, Jeane!"
Jeane memang tidak merayu atau berusaha memukau Antonio, tetapi ia menikmati kekaguman yang dilihatnya dalam mata pria itu. "Yang jelas, aku juga merasa lebih nyaman."
"Coba katakan padaku," kata Antonio. "Jenis perayaan yang bagaimana yang kau inginkan bagi pakaian 'baru' mu ini?" Olok olokan ini bermaksud menyelubungi api biru dalam matanya.
"Kurasa aku ingin berdansa," kata Jeane.
"Maaf," sebuah senyum sedih muncul di bibir Antonio, tentu saja hanya berpura pura. "Kalau aku tidak salah, malam ini para pemusik diberi kesempatan libur."
Bunyi kursi yang bergeser menyentak kepala Jeane ke arah asal suara itu. Secara mendadak mengingatkan Jeane, bahwa masih ada orang lain dalam ruangan itu. Wajah Baltasar tampak tegang, bagaikan sebuah kedok kejam, berbahaya dan jelas jelas tipe Spanyol. Garis rahang dan mulutnya menyiratkan kekejaman, agak angkuh namun penuh keagungan. Pria itu berjalan menuju ke sebuah jendela dan Jeane mengikuti gerak gerik pria itu dengan ekor matanya.
Peringatan akan kehadiran Baltasar dalam ruangan itu telah merusak kesenangan Jeane. Ia berpaling kembali kepada Antonio. Sebuah ketetapan hati bersinar dari mata Jeane.
"Kita bisa berdansa dengan ataupun tanpa musik," kata Jeane. Dan sesaat kemudian, ke dua insan itupun berdansa dalam ruangan sempit itu. Antonio mengikuti Jeane dengan terpaksa.
"Apakah kau mencoba meyakinkan aku bahwa kau telah lupa bagaimana caranya berdansa?" Jeane menggoda.
"Ya, kukira aku memang salah," kata Antonio dengan mengangkat bahunya.
"Benar," Jeane mengangguk. Beberapa saat kemudian ia bertanya pula, "Kapan ayahku akan membayar uang tebusan agar aku dibebaskan?"
Antonio menegang. "Entahlah, aku tidak tahu."
"Siapakah yang akan pergi untuk menerima uang itu?" Jeane terus berusaha bertanya dengan nada biasa biasa saja. "Tentu uang itu akan kalian bagi bagi. Masing masing dari kalian akan mendapatkan sebagian."
"Aku kira demikian," wajah Antonio telah berubah seakan akan ia memakai sebuah kedok. Tetapi Jeane juga tahu bahwa kedok itu adalah kedok yang rapuh.
"Wah sayang sekali. Kalau hanya untuk seorang saja, itu akan berarti uang yang banyak sekali."
Antonio bergerak seperti hendak melepaskan diri dari rangkulan Jeane, tetapi Jeane mencegahnya.
"Jeane......." Antonio mulai memprotes, tetapi Jeane menyela. "Tidak. Dengarlah penjelasanku," kata Jeane. Kau bisa mendapatkan uang itu seluruhnya, semuanya. Kau dapat membawaku pulang. Uang itu akan menunggumu. Ayahku tentu dapat mengaturnya."
"Tidak, Jeane," Antonio menggelengkan kepalanya dengan tegas.
"Bisa. Kita berdua bisa pulang, pulang ke tempat yang kita rindukan. Kita bisa keluar berjalan jalan sore dan tidak kembali ke gubuk ini." Jeane berusaha meyakinkan Antonio. "Kau dapat mengatur agar ada dua ekor kuda menunggu kita di suatu tempat dan kita bisa pergi dari sini. Tentu kita sudah berada jauh dari sini sebelum seorangpun mengetahuinya."
"Aku tidak bisa kembali. Sudah kujelaskan keadaanku kepadamu, bukan?"
"Tetapi dengan mengikuti caraku ini kau dapat kembali. Apakah kau tidak mengerti?" Jeane terus membujuk. "Kau akan menjadi seorang pahlawan karena dengan demikian kau telah menyelamatkan aku. Keluarga dan teman temanmu akan bangga terhadap dirimu dan ayahku akan sangat berterima kasih kepadamu. Ia mengenal banyak orang berpengaruh. Ia pasti dapat mencarikan jalan buatmu sehingga kau tidak perlu kembali ke tempat ini, menyembunyikan dirimu."
"Aku........." Antonio mengerutkan dahi, perlawanannya seakan akan makin melemah.
Jeane menyentuh bibir Antonio dengan jari jari tangannya, kemudian tangannya meluncur membelai pipi dan rambut Antonio di dekat keningnya. Lengan Antonio yang melingkar di pinggang Jeane otomatis mengencang, menarik wajah Jeane yang tengadah menjadi lebih dekat ke wajahnya.
"Kau akan mendapat kekayaan dengan membawaku pulang.... di tambah rasa terima kasih dan bantuan ayahku," Jeane berkata pelan dan serak. "Dan juga dariku. Aku tahu bahwa kau menganggapku menarik. Aku tidak keberatan melewatkan sisa hidupku bersamamu karena kau telah membebaskan aku dari tempat ini. Kekayaan, kehormatan, dan diriku," Jeane berkata dengan tandas. "Ketiga tiganya kalau kau mau. Yang harus kau lakukan hanyalah membawaku keluar dari sini, membawaku pulang."
"Tidak!" sebuah suara didengar oleh Antonio dan Jeane. Dalam bahasa yang mereka kenal. Inggris!