Baskara—menantu sampah dengan Sukma hancur—dibuang ke Jurang Larangan untuk mati. Namun darahnya membangunkan Sistem Naga Penelan, warisan terlarang yang membuatnya bisa menyerap kekuatan setiap musuh yang ia bunuh. Kini ia kembali sebagai predator yang menyamar menjadi domba, siap menagih hutang darah dan membuat seluruh kahyangan berlutut. Dari sampah terhina menjadi Dewa Perang—inilah perjalanan balas dendam yang akan mengguncang sembilan langit!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zen Feng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 20: KEMUNCULAN SANG RAJA NAGA
HARI PEMBUKAAN - AULA BESAR KEDIAMAN CAKRAWALA
Aula megah itu dipadati ratusan orang. Anggota keluarga inti, cabang, tamu kehormatan dari klan tetangga, hingga pejabat kota, semua hadir dengan satu pertanyaan di benak mereka: Benarkah dia masih hidup?
Di panggung utama, Patriark Dharma duduk di singgasana kayu jati dengan wajah kaku. Di sebelahnya, Tetua Satriya menatap pintu masuk dengan mata setajam elang.
Agak di belakang, Wibawa berdiri gelisah. Tangannya tak henti-hentinya meremas gagang pedang di pinggangnya. Matanya merah kurang tidur, keringat dingin membasahi pelipisnya.
"Tuan Muda," bisik seorang pengawal, "semua peserta sudah hadir. Kecuali satu."
"Siapa?" Wibawa menahan napas.
"Baskara Atmaja Dirgantara."
Wibawa memejamkan mata. 'Mungkin dia cuma menggertak. Mungkin dia takut. Mungkin dia tidak akan—'
KREEEEK...
Pintu ganda aula yang berat terbuka perlahan.
Suara engsel yang berderit memotong segala percakapan. Musik gamelan berhenti. Hening total menyelimuti ruangan.
Semua kepala menoleh serentak.
Dari balik pintu yang bermandikan cahaya matahari pagi, sesosok pria melangkah masuk.
Baskara.
Dia bukan lagi pemuda bungkuk dengan jubah lusuh.
Kini, ia mengenakan jubah hitam legam berbahan sutra, dengan aksen merah darah di tepiannya yang menyala saat terkena cahaya. Rambut hitamnya yang panjang diikat rapi ke belakang, memamerkan wajah yang tegas dan dingin.
Tubuhnya tegap, memancarkan aura dominasi yang membuat orang-orang di sekitarnya menyingkir secara naluriah, membelah lautan manusia itu seperti Musa membelah laut merah.
Langkahnya pelan. Tenang.
TAP. TAP. TAP.
Setiap langkah kakinya bergema di lantai marmer, seirama dengan detak jantung Wibawa yang semakin kencang.
Baskara berhenti tepat di tengah aula, di hadapan panggung kehormatan. Ia mendongak, menatap lurus ke mata Patriark Dharma.
"Patriark," suaranya tenang, namun memiliki bobot yang menekan dada. "Aku datang untuk mengambil hakku."
Hening.
Patriark Dharma perlahan bangkit berdiri, wajahnya memerah menahan amarah dan keterkejutan.
"Baskara?!" suaranya bergetar. "KAU... BAGAIMANA KAU MASIH HIDUP?!"
Baskara menyunggingkan senyum tipis—senyum yang tidak mencapai matanya.
"Maaf mengecewakanmu, Patriark. Sepertinya Jurang Larangan tidak cukup dalam untuk menguburku."
DUARR!
Aula meledak dengan bisikan.
"Jurang Larangan?!" "Dia dibuang ke sana?!" "Siapa yang setega itu?!"
Di atas panggung, wajah Wibawa berubah pucat pasi.
"KAU—!" Wibawa maju selangkah, jari telunjuknya gemetar menunjuk Baskara. "MUSTAHIL! AKU SENDIRI YANG ME—"
Wibawa membekap mulutnya sendiri. Terlambat.
Baskara menatapnya dengan seringai iblis.
"Yang melemparku?" tanyanya lembut, namun matanya menyala merah. "Kau yang memastikanku jatuh?"
Kerumunan mulai ribut. Tatapan curiga kini terarah pada Wibawa dan Patriark.
"Tenang saja," lanjut Baskara, suaranya mengandung bisa. "Aku tidak akan melupakan jasa baikmu itu. Aku akan membalasnya... dengan pantas."
Patriark Dharma menggebrak meja hingga retak. "CUKUP! Baskara! Jaga mulutmu! Kau bicara di depan tetua!"
"Hormat?" Baskara tertawa dingin. "Kalian membuangku seperti sampah. Kalian mencoba menjual istriku. Dan sekarang kalian minta hormat?"
Baskara maju selangkah lagi, auranya menekan Patriark hingga pria tua itu mundur tanpa sadar.
"Aku di sini sebagai peserta turnamen yang sah. Kecuali Patriark takut aku menang?"
Patriark terpojok. Ia menoleh ke Tetua Satriya.
Tetua Satriya bangkit, menatap Baskara tajam. "Pendaftaranmu sah. Tapi, kami harus memverifikasi kekuatanmu. Sampah tidak punya tempat di arena ini."
"Verifikasi?"
Baskara tersenyum.
BOOM!
Ia melepaskan penekan auranya.
Gelombang energi emas bercampur merah meledak dari tubuhnya, menyapu seluruh aula. Angin kencang berhembus, membuat jubah para tetua berkibar liar.
Ranah Inti Emas Bintang 1.
Kerumunan tersentak mundur.
"I-Inti Emas?!" "Sebulan lalu dia tidak punya Prana!" "Monster macam apa dia?!"
‘Ranahnya lebih tinggi dariku?!’ ucap Wibawa dalam hati, mulutnya hanya bisa menganga merasakan kekuatan Baskara.
Tetua Satriya menyipitkan mata, takjub sekaligus waspada. 'Inti Emas Bintang 1... dalam sebulan? Anak ini berbahaya.'
"Cukup layak?" tanya Baskara, menarik kembali auranya.
"Layak," jawab Satriya singkat.
Baskara mengangguk, lalu berbalik badan. Sebelum pergi, ia menoleh sedikit ke arah Wibawa yang masih mematung.
"Oh ya, Sepupuku. Aku dengar ada 'hantu' yang meneror rumah ini belakangan," bisiknya, cukup keras untuk didengar Wibawa. "Tujuh pembunuh bayaran hilang. Pelayan digantung. Mengerikan, bukan?"
Wibawa berhenti bernapas.
"Berdoalah hantu itu tidak ikut masuk ke arena bersamaku," pungkas Baskara.
Ia berjalan pergi menuju area peserta, meninggalkan Wibawa yang gemetar dalam teror absolut.
TRIBUN KELUARGA
Di sudut terpencil tribun, Larasati duduk dengan tangan mengepal di dada. Air matanya menetes, namun bibirnya tersenyum.
Ia melihatnya. Suaminya. Berdiri tegak menantang dunia.
'Baskara... kau benar-benar kembali...'
Namun, di balik kebahagiaan itu, hatinya cemas. Ia tahu tatapan Wibawa. Itu tatapan orang yang terpojok dan siap melakukan segala cara untuk membunuh.
'Kau harus selamat, Sayang... kumohon, selamatlah.'
HUTAN PINGGIRAN KOTA - TIGA HARI KEMUDIAN
SLASH! SLASH! SLASH!
Baskara bergerak bagaikan badai di tengah hutan. Di tangannya, sepasang belati Taring Kembar Naga Biru menari liar.
Setiap tebasan menciptakan bayangan hitam yang tertinggal di udara. Pohon-pohon di sekelilingnya tumbang dengan potongan halus, sebagian meleleh, sebagian mengering menjadi debu.
[Teknik Bayangan Pemangsa].
Namun, tiba-tiba tangan kanan Baskara berkedut. Sisik hitam mulai muncul di kulitnya. Kuku-kukunya memanjang menjadi cakar.
"SIAL!"
Baskara menghentikan gerakannya, menekan Prana-nya paksa. Sisik itu perlahan menghilang.
[Tuan, emosi Anda tidak stabil. Setiap kali nafsu membunuh Anda naik, Cakar Naga bereaksi ingin keluar.]
"Aku tahu," desis Baskara frustrasi. "Tapi menahan diri saat membayangkan wajah Wibawa itu sulit."
[Gunakan teknik belati sebagai pelampiasan. Jangan biarkan Naga mengambil alih di depan umum, atau kita akan diburu Langit.]
"Tuan Baskara!"
Suara Ki Gareng terdengar. Pelayan tua itu berlari terengah-engah membawa bungkusan makanan.
"Ki Gareng," Baskara menurunkan senjatanya. "Ada kabar?"
Ki Gareng celingukan, memastikan aman, lalu berbisik.
"Gawat, Tuan. Wibawa terus berlatih dengan Tetua Satriya. Tetua menurunkan teknik terlarang padanya."
"Teknik apa?"
"Saya tidak tahu namanya. Tapi Wibawa mengumpulkan seluruh Prana ke pedangnya dalam satu titik, lalu menebas vertikal. Batu besar hancur jadi debu dalam sekali pukul."
[Surya Pembelah,] bisik Sistem. [Teknik bunuh diri. Mengorbankan pertahanan untuk satu serangan mutlak. Kesempatan mengalahkannya kurang dari 5 detik saat mengisi tenaga, atau setelah serangan usai, tapi menghindari serangannya hampir mustahil.]
Baskara tersenyum tipis. "Aku tahu kelemahannya."
"Kelemahan?" tanya Ki Gareng.
"Dia butuh waktu charge (mengisi tenaga). Tiga sampai lima detik dia akan terbuka lebar. Dan jika meleset... dia tamat karena kehabisan tenaga."
Ki Gareng menghela napas lega. "Syukurlah Tuan tahu. Oh ya, ini jadwal pertandingan."
Baskara membuka gulungan kertas itu.
Babak Pertama: Baskara vs Surya Cakrawala (Pengumpul Prana Bintang 6).
"Pemanasan," gumam Baskara.
"Terima kasih, Ki. Jaga Larasati."
"Pasti, Tuan."
Sepeninggal Ki Gareng, Baskara kembali berlatih. Kali ini lebih fokus, lebih dingin. Ia tidak akan membiarkan emosinya memberi celah bagi Wibawa.
MALAM SEBELUM TURNAMEN
Baskara duduk bermeditasi di bawah sinar bulan purnama.
Belati kembarnya tergeletak di pangkuan, bersinar biru redup.
"Besok," bisiknya pada angin malam.
Bayangan tiga tahun penderitaan berputar di kepalanya. Makanan yang diinjak. Ludah di wajahnya. Cambukan di punggungnya. Tangisan Larasati.
Besok, semua itu akan dibayar lunas.
"Wibawa. Patriark. Aku datang."
Mata merahnya terbuka, menyala lebih terang dari bulan.
PAGI HARI TURNAMEN - ARENA KELUARGA CAKRAWALA
Matahari pagi menyinari arena batu raksasa yang dikelilingi ribuan penonton. Sorak sorai membahana, tapi atmosfernya tegang.
Semua orang menunggu satu hal.
Di sudut area peserta, berdiri sendirian menjauhi keramaian, sosok berjubah hitam itu diam mematung.
Baskara.
Ia tenang. Terlalu tenang. Seperti badai yang menahan napas.
Di seberang arena, Wibawa menatapnya dengan wajah pucat namun mata yang gila. Tangannya mencengkeram erat Pedang Surya Terbit.
'Aku harus membunuhnya. Jika tidak, dia yang akan membunuhku.'
Di tribun utama, Larasati menangkupkan kedua tangannya, berdoa.
DONG! DONG! DONG!
Gong besar dipukul tiga kali.
Wasit naik ke tengah arena.
"TURNAMEN KELUARGA CAKRAWALA... DIMULAI!"
Baskara mengangkat wajahnya. Sebuah senyum tipis dan mengerikan terukir di bibirnya.
'Saatnya berburu.'
[BERSAMBUNG KE BAB 21]
Jangan lupa like dan subscribe apabila kalian menikmati novelku 😁😁
oya untuk tingat ranah bisa kamu jelasin lebih detail thor di komen agak bingung soalnya hehe