Elena hanya ingin menguji. Setelah terbuai kata-kata manis dari seorang duda bernama Rd. Arya Arsya yang memiliki nama asli Panji Asmara. Elena melancarkan ujian kesetiaan kecil, yaitu mengirim foto pribadinya yang tak jujur.
Namun, pengakuan tulusnya disambut dengan tindakan memblokir akun whattsaap, juga akun facebook Elena. Meskipun tindakan memblokir itu bagi Elena sia-sia karena ia tetap tahu setiap postingan dan komentar Panji di media sosial.
Bagi Panji Asmara, ketidakjujuran adalah alarm bahaya yang menyakitkan, karena dipicu oleh trauma masa lalunya yang ditinggalkan oleh istri yang menuduhnya berselingkuh dengan ibu mertua. Ia memilih Ratu Widaningsih Asmara, seorang janda anggun yang taktis dan dewasa, juga seorang dosen sebagai pelabuhan baru.
Mengetahui semua itu, luka Elena berubah menjadi bara dendam yang berkobar. Tapi apakah dendam akan terasa lebih manis dari cinta? Dan bisakah seorang janda meninggalkan jejak pembalasan di jantung duda yang traumatis?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elena A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jejak Ratu di Jantung Duda
Selama sekian waktu, Elena hanya terpaku dalam beku. Ponselnya tergeletak di meja, layarnya yang gelap memantulkan bayangan wajahnya yang kini kosong. Bukan air mata yang mengalir, melainkan udara dingin di pagi hari yang perlahan-lahan memenuhi rongga dadanya, mengkristalkan setiap detak kecewa menjadi sesuatu yang keras dan tajam.
Diblokir.
Kata itu terasa seperti tamparan paling mematikan. Panji, sang pria matang, kyai dan haji, pujangga yang cerdas, dan penuh wibawa, yang selalu bicara tentang agama, kejujuran dan nilai-nilai kebenarab, telah memutus komunikasi secara sepihak, hanya karena sebuah kesalahan kecil.
“Kebohongan kecil ini menunjukkan bibit ketidakjujuran yang tidak bisa ditoleransi.” Begitu mungkin prinsip Panji. Atau kemungkinan ada drama lain yang lebih besar yang sedang diperankan oleh Panji dengan strategi manisnya, yaitu mencari kesalahan Elena. Sehingga seakan-akan Elena yang terpojok dan terkucilkan dari sudut hati.
Elena mengingat kalimat itu, dan tiba-tiba, amarahnya memuncak. Bibit ketidakjujuran? Ia hanya ingin memastikan hati Panji tidak kosong, tidak mudah berganti. Ia hanya ingin tahu apakah semua kata-kata manis itu memiliki dasar yang kuat. Atau kata-kata manis itu justru sekedar rayuan gombal dari laki-laki yang punya kebiasaan hinggap dari satu wanita ke wanita yang lain?
"Kamu menuntut kesempurnaan dan kejujuran mutlak dari orang yang baru kamu kenal tiga minggu, sementara kamu sendiri menyembunyikan trauma yang membuatmu mudah menghakimi, yang cerita masa lalumu, aku juga tidak pernah tahu siapa yang berkhianat, istrimu atau justru kamu sendiri yang jadi pengkhianatnya?" monolog Elena, suaranya serak. Ia bangkit, melangkah ke dapur, dan menuangkan segelas air dingin. Ia meminumnya, mencoba memadamkan api yang kini membakar ulu hatinya.
Dendam tidak datang tiba-tiba. Ia merayap perlahan. Awalnya, itu adalah rasa sakit karena penolakan dan perobekan atas harga dirinya. Lalu, rasa marah karena merasa diperlakukan tidak adil. Dan puncaknya adalah rasa ingin tahu yang kejam.
“Apa yang membuatmu begitu cepat memblokirku, Aa Panji? Apakah kamu sudah punya seseorang?”
Sebuah alasan klasik "memori ponsel tidak cukup" yang ia gunakan dulu untuk menghindari membuka akun media sosial Panji kini terasa konyol. Justru, memori ponselnya kini harus dikorbankan. Elena harus melihat. Ia harus menemukan sisi lain Panji selain di Linky dan WhatsApp.
Dengan tangan bergetar, ia membuka kembali aplikasi Facebook yang telah sekian dinonaktifkan.. Ia harus melalui proses pemulihan akun yang panjang, menunggu kode verifikasi, dan mengatur ulang kata sandi. Setiap langkah terasa seperti menginjak pecahan kaca, begitu nyeri dan menyakitkan tetapi harus dilakukan.
Setelah berhasil masuk, hal pertama yang ia lakukan adalah mencari nama yang diberikan Rd. Arya Arsya, yaitu akun facebook dengan nama Aang Panji.
Akun itu langsung muncul. Profilnya bersih, foto-fotonya berkelas. Aang Panji seorang pujangga cerdas dengan postingan kata-kata kias yang mengisyaratkan sedang patah hati. Mungkin karena terlalu sering gonta-ganti cewek, karena dalam postingannya beberapa hari sebelum mendekati Elena, menceritakan kedekatannya dengan seorang perempuan yang hanya bertahan tiga bulan.
Selain postingan kata-kata kias, Elena juga menemukan postingan lain adalah teks ceramah Islaminya. Postingan lain yang mengulik hati Elena adalah sang remaja bernama Damar Imam Maghandi Sulthon. Siapa dia? Tak lain adalah anak semata wayang Panji. Remaja itu di tahun ini sedang menamatkan pendidikan SMK nya, yang berarti mulai masuk bangku perguruan tinggi.
Elena menelusuri dinding Facebook itu dengan cepat, mencari sesuatu yang lain. Dan wow, yang mengejutkan ternyata Panji memiliki segudang nomor WhatsApp. Oh, rupanya, oh rupanya, nomor WhatsApp yang diberikan pada Elena bukan satu-satunya nomor yang dimiliki.
“Dasar, haji licik!” umpat Elena dalam hati..
Elena juga mencari unggahan yang menunjukkan bahwa Panji sedang mencari pasangan, sesuatu yang akan membenarkan kemarahannya.
Begitu banyak postingan Panji di facebook dan instagram. Juga yang Elena temukan di akun tik ton Panji. Facebook, instagram, dan tik tok dari akun Panji menunjukkan postingan yang sejenis.
Saat Elena tak sengaja menemukan postingan terbaru Panji ada like dan komentar dari seorang wanita. Terasa begitu mencolok dan tidak biasa.
Tepat di unggahan terakhir kala itu. “Hadir malam, Bang.”
Panji membalasnya dalam bahasa Sunda. “Ehh NU dolis nuhun, TOS hadir.”
Komentar itu datang dari akun bernama Ratu Widaningsih Asmara.
Elena mengernyitkan dahi. Ratu Widaningsih Asmara. Nama itu elegan, anggun, dan terdengar mahal. Ia mengklik profil itu.
Dunia Ratu Widaningsih Asmara langsung terbuka. Ia adalah seorang janda sosialita, dengan foto profil yang menunjukkan dirinya mengenakan hijab, suka bergaya di media sosial, dan tersenyum percaya diri, dan yang pasti dari penampilannya sangat menggoda insting. Apalagi jika lelakinya adalah duda. Feed-nya dipenuhi dengan kelas hidup mewah. Jelas, ia berada di level yang berbeda dari Elena.
Namun, yang paling membuat darah Elena mendidih bukanlah kemewahan Ratu, melainkan interaksinya dengan Panji.
Ratu tidak hanya berkomentar di postingan Panji. Panji pun sering membalas. Mereka memiliki sejarah interaksi yang panjang dan santai, mulai dari beberapa hari setelah Panji memblokir akun WhatsApp Elena.
Di salah satu postingan Ratu yang menyapa para duda, Panji berkomentar, “Gak bakal angkat tangan ahh, hampir 14 tahun rasanya udah nyaman sendiri, lubangamnya ribet dan ribet, ahh kabur.”
Juga terdapat saling komen yang lain, atas postingan Ratu yang berbunyi, “Jangan lihat rumput tetangga tapi lihatlah rumput sendiri!”
Mereka saling berbalas komen dalam bahasa Sunda.
“Aduh aku mah gak punya rumputnya juga, kumaha atuh teu Acan Aya NU ridloeun rumputna Oge, didago dago ngadon KA ledeng tuda.” Begitulah komen Panji.
Dibalas oleh Ratu, “Ooooo buleeeuuud.”
Dan Panji membalasnya, “Ho’oh begonoh nyiii, Aya rumput sintetik Oge di toko keneh, belum dimaharan.”
Pada postingan ratu yang lain, Panji juga berkomentar, “Numpang lewat atuh nyiii, mojang Garut numatak ka irut, nepangkeun abdi jajaka Sumedang manawi katampi iman islamna simkirung ku Nyai, yuk ahhh dadah babay.”
Saling like dan balas komentar, seperti cairan asam yang menyiram luka Elena. Siapa pun sah-sah saja like dan komen postingan netizen. Demikian juga dengan Panji. Tapi yang janggal, kenapa yang dilike dan dikomen cuma postingan Ratu Widaningsih Asmara? Kenapa gak pernah like dan komen di postingan netizen lain? Misalnya, like dan komen postingan Bapak-bapak? Wanita paling bodoh pun pasti akan berpikir sama, dan bukan hanya Elena.
Panji memblokirnya secara kejam atas nama kejujuran, sementara ia secara terbuka menerima panggilan mesra dari janda lain.
Elena menelusuri interaksi itu lebih dalam. Ia menemukan bahwa Panji dan Ratu Widaningsih tampak seperti pasangan yang tidak pernah benar-benar mengaku sebagai pasangan. Mereka saling berbalas dengan manja di kolom komentar, dan setiap posting konten pun hampir di waktu yang bersamaan.
Bagi Elena, semua bukti ini sudah cukup.
Kamu memblokirku karena ketidakjujuran sepeleku, Panji. Padahal kamu sedang asyik bermain-main dengan janda lain yang kamu sukai. Kamu hanya mencari alasan untuk menyingkirkanku.
Kepahitan karena penolakan pribadi Elena langsung bermetamorfosis menjadi kemarahan atas kemunafikan. Panji bertopeng, sekali lagi hanya sebagai topeng, atas trauma masa lalunya sebagai tameng moral untuk bertindak kejam, padahal ia sedang sibuk membangun kedekatan dengan wanita lain.
"Ini bukan hanya tentang aku," bisik Elena, menatap foto Panji. "Ini tentang keadilan. Kamu sudah menghancurkan aku, menginjak harga diriku, atas nama prinsip yang kamu sendiri langgar."
Dendam itu kini memiliki wajah, wajah playboy Panji, dan wajah genit Ratu Widaningsih.
Elena menyadari satu hal krusial, rasa sakitnya tidak akan terbayar hanya dengan komentar negatif. Panji terlalu pandai bersilat lidah dan terlalu sibuk untuk peduli pada cemoohan anonim. Buktinya, setelah beberapa waktu, Panji hanya memblokir akun-akun yang ia gunakan untuk melancarkan serangan digital. Serangan itu hanya mengganggu, tidak menghancurkan.
Ia harus lebih cerdik. Ia harus menyentuh hal yang paling sensitif bagi Panji, reputasinya, pekerjaannya, atau yang terburuk, kepercayaannya pada manusia.
"Aku akan buat kamu menyesal pernah memilih memblokirku, meski blokir itu bagiku tak bermakna karena hanya terlihat terblokir di akunmu, sementara di akunku tak terjadi masalah," tekad Elena, suaranya kini tenang dan dingin, tanpa emosi dan tanpa ekspresi.
Ia kembali ke akun Facebook Panji, kali ini ia mencari informasi yang lebih mendalam. Di mana saja Panji bekerja? Apa saja pekerjaannya? Siapa rekan kerjanya?
Meskipun Elena adalah seorang janda, ya, tetapi ia juga seorang wanita cerdas yang memimpin banyak jaringan di media sosial. Ia juga memiliki banyak koneksi di media maya.
Setelah beberapa jam menggali, Elena menemukan benang merah. Setelah beberapa jam berselancar dengan banyak jaringan yang dimilikinya, maka seluruh profil kehidupan Panji Asmara sudah dipegangnya.
Sebuah pintu baru terbuka.
Jika serangan digital adalah api kecil, maka infiltrasi ke dunia nyata adalah badai yang akan menghancurkan fondasi hidupnya.
Elena membuka kembali ponselnya. Ia mulai menyusun strategi. Ia akan mengaktifkan kembali jejaring profesionalnya, mencari alasan yang logis untuk masuk dalam kehidupan Panji. Ia akan mengubah penampilan, mengubah citranya dari janda yang rapuh menjadi janda yang kuat dan cerdas.
Panji tidak akan mengenalinya yang sekarang. Dan Panji tidak akan pernah tahu, bahwa wanita yang ia anggap tak jujur karena sebuah foto buram, kini sedang merencanakan kehancurannya secara perlahan dan sistematis.
Jejak Janda di Jantung Duda akan dimulai. Kita tunggu tanggal mainnya.
Dendam ini akan menjadi mahakarya terbesarnya. Ia akan buat Arsya merangkak, memohon, dan akhirnya, merasakan betapa sakitnya diblokir, tidak di aplikasi, melainkan dari kehidupannya sendiri.
“Aku akan memanen lukaku, Panji dan kamu yang akan membayar bunganya.”
Elena menutup kembali ponselnya,, menyeringai tipis. Ini bukan lagi tentang cinta yang gagal, ini tentang pembalasan yang harus sempurna. Ia akan menjadi bayangan, menjadi rekan yang dipercaya, menjadi racun yang manis dalam kehidupan Panji.