NovelToon NovelToon
Kisah Nyata - Harga Sebuah Kesetiaan

Kisah Nyata - Harga Sebuah Kesetiaan

Status: sedang berlangsung
Genre:Menikah Karena Anak / Beda Usia / Kontras Takdir / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Sad ending / Janda
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

HARGA SEBUAH KESETIAAN
100% diambil dari kisah nyata
Dewanga hanya ingin diterima. Setelah ditolak berkali-kali karena miskin, ia menikahi Tini—janda delapan tahun lebih tua—dengan harapan menemukan pelabuhan. Yang ia dapat adalah badai tanpa henti. Enam tahun pernikahan menjadi neraka: bentakan setiap hari, hinaan di meja makan, ancaman diusir dari rumah yang bukan miliknya.
Ia terperangkap. Ingin pergi, tapi Aini—putri kecilnya—adalah satu-satunya cahaya dalam kegelapan. Ketika cinta berubah menjadi penjara, dan kesetiaan menjadi racun, Dewanga harus memilih: bertahan hingga hancur, atau berani menyelamatkan dirinya dan anaknya.
Sebuah kisah yang memilukan tentang cinta yang salah, kesetiaan yang keliru, dan keberanian untuk memilih hidup.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 11 keputusan besar

# Bab 11: Keputusan Besar

Dewanga duduk di emperan proyek bangunan, menatap kosong para pekerja yang berlalu-lalang. Tubuhnya lelah—bukan lelah fisik, tapi lelah jiwa.

Sudah lima tahun ia menjadi kuli bangunan. Lima tahun mengangkat batu bata, mengaduk semen, memikul karung pasir di bawah terik matahari. Tangannya penuh kapalan. Punggungnya sering sakit. Kulitnya hitam legam.

Tapi yang paling menyakitkan bukan tubuhnya.

Yang paling menyakitkan adalah pandangan orang—pandangan meremehkan, pandangan kasihan, pandangan yang seolah berkata: *"Kamu cuma segini aja."*

Tiga kali ditolak. Semua karena alasan yang sama.

*Miskin. Kerja tidak jelas. Tidak ada masa depan.*

"Harus berubah," bisiknya pelan. "Harus ada yang berubah."

***

Sore itu, Dewanga pulang lebih awal. Ia pergi ke rumah kontrakan kecil di pinggir kota tempat Agung—adiknya—tinggal.

Agung kini berusia dua puluh tahun, bekerja sebagai operator mesin di pabrik garmen. Gajinya tidak besar, tapi tetap—setiap bulan pasti ada.

Dewanga mengetuk pintu.

"Mas Dewa?" Agung membuka pintu, sedikit kaget. "Jarang-jarang Mas ke sini. Ada apa?"

"Bisa ngobrol sebentar, Gung?"

"Iya, masuk."

Mereka duduk di ruang sempit yang hanya cukup untuk satu kasur dan meja kecil. Agung menuangkan air putih ke gelas plastik, menyodorkannya pada Dewanga.

"Mas kenapa? Kelihatan... berat gitu."

Dewanga menarik napas panjang. "Gung, aku mau berhenti jadi kuli."

Agung terdiam, menatap kakaknya dengan mata membulat. "Serius, Mas?"

"Serius."

"Terus... Mas mau kerja apa?"

"Aku mau jualan. Jualan gorengan."

Agung mengernyit. "Jualan gorengan? Kenapa tiba-tiba?"

Dewanga menunduk, tangannya meremas-remas gelas plastik di tangannya. "Aku capek, Gung. Capek jadi kuli. Bukan capek fisiknya... tapi capek dilihat sebelah mata. Orang-orang ngeliat kuli itu... rendah. Gak ada masa depan."

Agung terdiam. Ia paham. Ia tahu kakaknya sudah berkali-kali ditolak.

"Mas... kalau jualan juga, belum tentu langsung untung. Malah bisa rugi."

"Aku tau. Tapi setidaknya... aku jadi bos buat diri sendiri. Bukan pekerja yang bisa dipecat kapan aja. Aku punya usaha. Punya sesuatu yang bisa aku banggain."

Agung menatap kakaknya dengan mata berkaca-kaca. Ia melihat tekad di sana—tekad yang rapuh tapi masih berdiri.

"Mas... butuh modal berapa?"

Dewanga mengangkat wajah. "Tiga juta. Buat beli gerobak, kompor gas, wajan, bahan baku awal. Aku udah hitung-hitung."

Agung terdiam lama.

Tiga juta. Itu hampir setengah tabungannya—hasil kerja keras selama dua tahun.

Tapi ia melihat mata kakaknya. Mata yang sudah terlalu sering hancur. Mata yang butuh harapan.

"Oke, Mas."

Dewanga terkejut. "Serius?"

"Serius. Aku kasih. Tapi... Mas janji ya. Mas harus serius. Jangan sampe sia-sia."

Dewanga langsung berdiri, memeluk adiknya erat. Suaranya bergetar. "Terima kasih, Gung... terima kasih... aku janji gak akan sia-siain ini..."

Agung menepuk punggung kakaknya. "Aku percaya sama Mas."

***

Dua minggu kemudian, Dewanga resmi berhenti dari proyek bangunan.

Pak Gunawan menatapnya dengan tatapan sedih. "Dewa, kamu yakin? Kamu udah kerja di sini lima tahun. Udah jadi pekerja yang handal."

"Terima kasih, Pak. Tapi saya harus coba sesuatu yang baru. Saya mau punya usaha sendiri."

Pak Gunawan mengangguk pelan. "Baiklah. Semoga sukses, Dewa. Kalau butuh apa-apa, hubungi saya."

"Terima kasih, Pak."

Dewanga berjabat tangan dengan Pak Gunawan untuk terakhir kalinya, lalu berbalik meninggalkan proyek itu—tempat yang sudah menjadi bagian dari hidupnya selama bertahun-tahun.

***

Dewanga menghabiskan uang pinjaman dari Agung dengan hati-hati.

Ia membeli gerobak kayu bekas seharga lima ratus ribu—cat sudah pudar, roda sedikit miring, tapi masih bisa didorong.

Ia membeli kompor gas kecil, wajan besar, spatula, nampan, plastik pembungkus, dan bumbu-bumbu dasar.

Sisanya untuk modal bahan baku: tahu, tempe, pisang, ubi, singkong, tepung terigu, minyak goreng.

Ia belajar menggoreng dari Rini—ibunya yang dulu pernah punya warung kecil.

"Dewa, minyaknya jangan terlalu panas. Nanti gosong di luar, mentah di dalam," ajar Rini sambil mengaduk adonan.

"Iya, Bu."

"Terus, kalau ngulek bumbu, harus halus. Jangan sampai ada yang kasar. Nanti rasanya gak merata."

Dewanga mengangguk serius, mencatat semua nasihat ibunya.

Rini menatap anaknya dengan mata berkaca-kaca. "Dewa... Ibu bangga sama kamu. Kamu berani coba hal baru."

"Ibu, Dewa gak tau ini bakal berhasil atau gak. Tapi Dewa harus coba."

"Ibu tau, Nak. Dan Ibu akan dukung kamu."

***

Malam sebelum hari pertama berjualan, Dewanga tidak bisa tidur.

Ia duduk di samping gerobak barunya yang diparkir di depan kamar kontrakan. Mengusap kayu gerobak itu perlahan.

"Ini dia," bisiknya. "Ini kesempatan aku. Jangan sampe gagal."

Ia menatap langit malam. Bintang-bintang bersinar samar.

"Ayah... doain Dewa ya. Semoga usaha Dewa berhasil. Semoga Dewa bisa bikin Ibu bangga. Semoga... semoga Dewa gak gagal lagi."

Angin malam berhembus pelan.

Dan Dewanga berjanji pada dirinya sendiri—kali ini, ia tidak akan menyerah.

*

***

#

1
Chanikya Fathima Endrajat
umur adeknya 20, dewa 22, telah bekerja 5 th sejak umur 17. wkt dewa kls 9, adiknya msh SD. setidaknya selisih umur mereka 3 th.
Seroja_layu
Astagfirullah nyebut Bu Nyebut
Dri Andri: nyata nya gitu kak
total 1 replies
Chanikya Fathima Endrajat
umur dewangga membingungkan, ketika ingin melamar anis umurnya br 19th, ketika falshback 10th yll, dewa sdh kls 9 (SMP) tdk mungkin umurnya wkt itu 9th kan thor
Dri Andri: ya saya salah maaf yaa...
karena kisah nya kisah nyata jadi saking takut salah pada alur intinya
alur di minta sama
peran, tempat di minta di random
maaf ya
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!