Jae Hyun—seorang CEO dingin dan penuh perhitungan—menikahi Riin, seorang penulis baru yang kariernya baru saja dimulai. Awalnya, itu hanya pernikahan kontrak. Namun, tanpa disadari, mereka jatuh cinta.
Saat Jae Hyun dan Riin akhirnya ingin menjalani pernikahan mereka dengan sungguh-sungguh, masa lalu datang mengusik. Youn Jung, cinta pertama Jae Hyun, kembali setelah pertunangannya kandas. Dengan status pernikahan Jae Hyun yang belum diumumkan ke publik, Youn Jung berharap bisa mengisi kembali tempat di sisi pria itu.
Di saat Jae Hyun terjebak dalam bayang-bayang masa lalunya, Riin mulai mempertanyakan posisinya dalam pernikahan ini. Dan ketika Seon Ho, pria yang selalu ada untuknya, mulai menunjukkan perhatian lebih, Riin dihadapkan pada pilihan: bertahan atau melepaskan.
Saat rahasia dan perasaan mulai terungkap, siapa yang akan bertahan, dan siapa yang harus melepaskan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Coffeeandwine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
A Jealous Husband
Beberapa minggu telah berlalu sejak insiden menyakitkan itu. Rasa kehilangan masih mengendap di sudut hati Riin meski ia berusaha keras untuk tetap tersenyum. Jae Hyun, di sisi lain, menyibukkan dirinya nyaris tanpa henti. Menangani dua perusahaan sekaligus: lembaga pendidikan milik ayahnya dan perusahaannya sendiri_Colors Publishing_yang berusaha ia pulihkan, merupakan usaha untuk mengalihkan luka yang tak bisa ia ungkapkan.
Untuk memudahkan akses dan memotong waktu tempuh, Jae Hyun menyewa sebuah ruang kantor kecil namun elegan di gedung yang letaknya tidak jauh dari lembaga pendidikan tempatnya mengajar.
Waktu menunjukkan hampir pukul satu siang ketika Jae Hyun menutup laptopnya dan bangkit dari kursi. Dengan langkah tenang namun penuh perhitungan, ia berjalan ke kantor kecilnya. Begitu membuka pintu, aroma kopi dan suara tawa samar menyambutnya. Tapi yang membuat langkahnya terhenti sejenak adalah pemandangan di hadapannya—Seon Ho dan Riin duduk berdekatan, bahu mereka hampir bersentuhan. Di hadapan mereka sebuah laptop terbuka, memperlihatkan draft desain web dengan skema warna pastel.
Riin mencondongkan tubuh ke arah laptop di meja, bibirnya bergerak cepat menjelaskan sesuatu sambil menunjuk layar. Tangannya yang lincah kadang menyentuh lengan Seon Ho tanpa sadar—kebiasaan ceroboh yang tak pernah ia sadari.
Tidak ada pegawai lain di ruangan itu. Hanya mereka berdua. Hanya tawa yang terdengar, bukan profesionalisme yang biasa ia harapkan. Jae Hyun menahan napas, lalu menghembuskannya perlahan. Ia menarik kursi dan duduk berseberangan tanpa satu kata pun. Sorot matanya tajam, nyaris menusuk.
Suara deheman kecil darinya memecah keakraban itu. “Sepertinya diskusi kalian sangat menyenangkan, sampai-sampai kalian tidak menyadari kalau ada orang lain yang masuk ke ruangan.”
Riin terperanjat, begitu pula Seon Ho. Raut wajah mereka berganti menjadi kaku dalam sepersekian detik. Riin cepat-cepat menarik tubuhnya menjauh, sementara Seon Ho merapikan posisi duduknya.
“Sajangnim,” Seon Ho angkat bicara, “Kami sedang mendiskusikan beberapa pendekatan untuk promosi web novel terbaru. Riin punya insight menarik, jadi…”
“Kalau begitu, pastikan hasilnya bisa ditunjukkan padaku,” potong Jae Hyun dengan suara datar namun dingin. “Jangan sampai keintiman kalian tadi jadi tidak produktif.”
Riin menegakkan punggungnya. Ia tahu nada itu. Ia mengenal irama sindiran halus Jae Hyun ketika sedang cemburu. “Jae Hyun~a, kau tahu kita semua harus bersikap profesional di tempat kerja, bukan?” katanya dengan nada peringatan namun tetap lembut.
“Aku hanya bicara soal pekerjaan,” jawab Jae Hyun santai tapi mengintimidasi. “Kalau kau ingin profesional, panggil aku dengan benar. Sajangnim, Riin-ssi.”
Seketika ruangan terasa mencekam. Seon Ho terdiam, menatap layar laptop yang kini tak lagi penting. Riin membuka mulut, tapi sebelum sempat membalas, pintu terbuka dan Min Gyu masuk dengan dua bungkus plastik besar berisi makanan, disusul Ah Ri.
“Sajangnim, kau juga makan di sini? Tapi… kami cuma bawa empat porsi,” kata Min Gyu agak gugup. “Kalau mau, aku bisa keluar lagi untuk—”
“Tidak perlu,” potong Jae Hyun. “Aku tidak lapar.” Ia bangkit berdiri. “Setelah makan, jangan lupa lanjutkan pekerjaan kalian. Dan jangan santai terlalu lama.”
Jae Hyun berlalu keluar sebelum ada yang sempat menanggapi. Langkahnya terdengar tegas, tapi bila diamati lebih jauh, ada jejak kecewa yang tidak sepenuhnya mampu ia disembunyikan.
Min Gyu mengernyit, memandang ke arah pintu yang kini tertutup. “Apa aku tadi mengatakan sesuatu yang salah?”
“Tidak,” Riin menjawab sambil menghela napas panjang. “Dia hanya sedang… merajuk. Kurasa. Kalian makanlah lebih dulu, aku harus bicara dengannya sebentar."
Seon Ho, yang sejak awal memperhatikan perubahan ekspresi Riin, tiba-tiba mengangkat tangannya dan menahan lengan wanita itu dengan gerakan yang sangat hati-hati, seolah tidak ingin membiarkannya pergi.
“Akan lebih baik jika kau makan siang terlebih dahulu,” ucapnya, suaranya tenang. Ia menatap Riin dengan pandangan yang lembut, nyaris memohon, seolah berharap wanita itu akan mempertimbangkan ucapannya walau hanya sejenak.
Namun Riin menghela napas pelan, lalu perlahan melepaskan genggaman Seon Ho tanpa meninggalkan kesan kasar. Senyumnya kecil, nyaris pahit. “Tidak bisa. Jika aku membiarkannya seperti ini, maka Jae Hyun bisa mengomel seharian penuh.”
Ada nada pengertian dalam suaranya, namun juga ketegasan yang menunjukkan bahwa ia mengenal betul karakter suaminya—dan tahu apa yang harus dilakukan untuk menenangkannya sebelum masalah menjadi lebih besar. Setelah berkata demikian, Riin melangkah pergi, meninggalkan ruang kerja dengan langkah yang cepat namun tidak tergesa-gesa.
Suasana ruangan mendadak terasa kosong, seolah kepergian Riin telah menghapus energi yang tadinya mengisi ruang itu. Seon Ho hanya memandangi punggungnya yang kian menjauh, diam tak berkata apa-apa, meski matanya menyiratkan rasa kehilangan yang tidak bisa ia sembunyikan.
Ah Ri, yang dari tadi memperhatikan interaksi ketiganya, kini menghela napas pelan dan mulai menyusun potongan-potongan situasi yang baru saja ia tangkap. “Aku rasa… aku mengerti situasinya sekarang,” ucapnya lirih, lebih kepada dirinya sendiri namun cukup terdengar oleh yang lain.
Min Gyu, yang belum bisa membaca apa yang sebenarnya terjadi, menoleh dengan ekspresi penasaran. “Apa? Apa yang sebenarnya sedang terjadi?”
Ah Ri menatapnya sejenak, lalu mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan dan berbisik, “Cinta segitiga.”
***
Riin berdiri di dekat meja resepsionis. Rambutnya yang dikuncir rendah sedikit berantakan karena angin di perjalanan tadi. Setelah bertanya pada staf resepsionis, ia melangkah menuju ruang kerja Jae Hyun—suaminya.
Namun langkahnya terhenti di koridor panjang ketika melihat sosok Jae Hyun berdiri di depan pintu ruangannya, bersama seorang wanita. Wanita itu, membawa sebuah kotak bekal.
“Jae Hyun-ssi, kau belum makan siang kan? Ambillah ini, aku membuatnya sendiri,” ucap wanita itu dengan nada manis dan senyum malu-malu yang nyaris terdengar dibuat-buat.
Jae Hyun tampak ragu. Ia menatap wanita itu sebentar sebelum menjawab, suaranya datar namun tetap sopan. “Maaf, tapi aku sedang tak berselera saat ini.”
Namun wanita itu tak menyerah. “Tapi... sayang sekali kalau ini terbuang begitu saja.”
Riin mengepalkan tangannya tanpa sadar, jantungnya berdebar dengan cara yang tak nyaman. Ia tahu Jae Hyun selalu menolak makanan dari siapa pun. Tapi sekarang?
Setelah diam sejenak, Jae Hyun akhirnya mengambil kotak itu. “Baiklah. Untuk kali ini saja.”
Wanita itu tersenyum lebar, matanya berbinar penuh harap. Di sisi lain koridor, dada Riin mendadak terasa panas. Tanpa berpikir, ia melangkah cepat dan memanggil, suaranya terdengar lebih keras dari niat awalnya. “Jae Hyun~a!”
Jae Hyun terkejut. Mata mereka bertemu dan untuk sepersekian detik, ia seperti kehilangan kata-kata. Wanita di depannya juga menoleh dengan bingung.
“Kenapa kau ke sini?” tanya Jae Hyun, berusaha terdengar santai, namun sorot matanya sedikit gelisah.
Wanita yang berdiri di hadapannya menoleh cepat ke arah Riin. Matanya bergerak naik-turun, menilai penampilan perempuan yang baru saja datang dengan penuh rasa ingin tahu yang tak lagi bisa ia sembunyikan. “Dia... siapa?” katanya ikut bicara.
Namun sebelum Riin sempat merespons, Jae Hyun telah mengambil alih kendali percakapan dengan suara datar namun tegas. “Dia istriku.”
Keheningan langsung menyelimuti koridor tempat mereka berdiri. Wanita itu memandang Jae Hyun dengan raut terperangah, seolah fakta yang baru saja diungkapkan pria itu telah memutarbalikkan seluruh persepsinya terhadap pria yang selama ini ia kagumi diam-diam. “Kau... sudah menikah?” gumamnya,
Sebagai tanggapan, Jae Hyun dengan tenang mengangkat tangan kirinya. Di jari manisnya tersemat cincin tipis berwarna perak keabu-abuan—platinum murni yang selama ini tak pernah lepas dari jemarinya. “Aku selalu memakainya,” ujarnya pelan namun bernada tajam. “Bukankah itu seharusnya cukup?”
Wanita itu tertawa kecil—gelagapan, gugup, canggung. “Maaf... sekarang ini banyak pria mengenakan aksesori. Jadi... saya kira itu hanya cincin biasa.”
Tatapan Riin yang sejak tadi kesal kini menyipit, menyiratkan rasa tidak suka yang mulai menyebar. Ia melangkah maju, dan dengan nada yang terdengar formal namun tajam, ia berkata, “Kalau begitu, izinkan saya bertanya. Anda siapa?”
Nada bicaranya tidak keras, tetapi setiap katanya terucap dengan artikulasi yang tajam dan jelas, seperti sebilah pisau.
Wanita itu tampak terdesak. Ia segera memperbaiki posisi tas di lengannya, dan dengan nada tergesa, menjawab, “Saya salah satu guru di sini... Ah, kalau begitu, saya permisi.” Ia berbalik dan melangkah pergi dengan tergesa dan dipenuhi rasa malu.
Begitu keheningan kembali mengambil alih, Jae Hyun memecahnya dan berkata. “Masuklah dulu. Kita bicara di dalam.”
***