Virus itu menyebar seperti isu murahan: cepat, tak jelas sumbernya, dan mendadak membuat semua orang kehilangan arah.
Hanya saja, kali ini, yang tersebar bukan skandal... melainkan kematian.
Zean, 18 tahun, tidak pernah ingin jadi pahlawan. Ia lebih ahli menghindari tanggung jawab daripada menghadapi bahaya. Tapi saat virus menyebar tanpa asal usul yang jelas mengubah manusia menjadi zombie dan mengunci seluruh kota,Zean tak punya pilihan. Ia harus bertahan. Bukan demi dunia. Hanya demi adiknya,Dan ia bersumpah, meski dunia runtuh, adiknya tidak akan jadi angka statistik di presentasi BNPB.
ini bukanlah hal dapat di selesaikan hanya dengan video cara bertahan hidup estetik,vaksin atau status WA.
___
Like or die adalah kisah bertahan hidup penuh ironi, horor, dan humor kelam, tentang dunia yang tenggelam dalam kegilaan.
(update max 2 kali sehari,jika baru 1 kali berarti lagi scroll fesnuk cari inspirasi, beneran,jika pengen lebih beliin dulu kopi 😌)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zeeda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Johan
Johan duduk di tepi ranjang kamarnya. Kaosnya lusuh, sebagian terkena noda yang tak perlu ditanya. Wajahnya seperti belum tidur semalaman,atau lebih.
“Aku dengar teriakan kayak orang kesakitan dari rumah seberang jam empat pagi” katanya pelan. “Terus suara kaca pecah... terus diam.”
Tak ada yang langsung menjawab. Zean dan Lira duduk di lantai, membiarkan keheningan berbicara untuk sementara.
“Kalian... baik-baik aja?” Johan bertanya akhirnya, suaranya nyaris tak terdengar.
“Sejauh ini,” jawab Zean. “Tapi tadi malam... sepertinya ada sesuatu masuk ke rumah.”
Johan mengangguk. “Sesuatu yang bukan lagi orang?”
Zean membalas dengan tidak yakin "entahlah,aku juga tidak yakin,aku tidak melihat secara langsung,hanya saja rasanya sangat menggangu perasaan"
“Jadi ini nyata, ya?” Lira bertanya akhirnya, suaranya nyaris seperti gumaman. “Bukan cuma berita heboh atau prank global atau... semacam itu?”
Tak ada yang menjawab. Jawaban itu sudah terlalu jelas untuk diucapkan.
Johan bangkit dan membuka laci meja belajarnya. Ia mengeluarkan senter besar, sebilah cutter, dan sebotol air mineral.
“Aku nyalain radio tadi pagi. Frekuensinya banyak yang kosong, tapi aku dapet satu siaran pendek. Katanya pusat kota udah ditutup karena kekacauan. Mereka bilang ada karantina, tapi suaranya... kayak rekaman lama. Nggak ada kabar baru.”
“Kamu sendirian di sini?” tanya Lira, lirih.
Johan menatap ke bawah. “Ayahku kerja shift malam di pabrik. Dia nggak pulang. Ibuku... dia pergi ke rumah nenek jam sembilan malam, pas listrik mulai mati nyala. Katanya cuma sebentar. Aku belum dengar kabar.”
Zean menunduk. “Kita bisa cari mereka.”
“Bisa?” Johan memandangnya, mata merahnya menyiratkan antara harapan dan penyangkalan. “Kita bahkan belum tahu apa yang sedang kita hadapi.”
“Kita tahu satu hal,” Zean berkata. “Diam di rumah bukanlah pilihan. Memangnya kau mau tetap berdiam diri disini, di penuhi rasa penasaran, ketakutan, dan ketidakpastian.
Hening lagi. Kali ini lebih berat. Udara di kamar itu seperti menekan dari segala arah.
“Kamu tahu kabar Dini?” Lira bertanya. Suaranya ragu.
Johan menggeleng. “Nggak. Aku udah coba chat, telepon. Nggak ada tanda.”
“Kita cari dia,” kata Zean akhirnya. “Setelah ini. Kita kumpulkan siapa pun yang masih bisa kita temukan.”
“Terus... ke mana?.”
Zean menatap ke luar jendela. Langit mulai memucat, tapi bukan karena fajar yang biasa. Matahari pagi terasa seperti lampu sorot di atas panggung kematian.
“Entah. Tapi kita nggak bisa sendirian. Kita butuh satu sama lain. Dan kita butuh tahu apa yang sebenarnya terjadi.”
Lira berdiri pelan. “Kalau kita mau keluar lagi... kita harus siap. Lebih siap daripada tadi pagi.”
Johan mengambil ransel dari bawah tempat tidurnya dan mulai mengisinya tanpa banyak bicara. Zean ikut membantunya, sementara Lira mengambil selembar kertas dan mulai menulis sesuatu.
“Daftar?.” Tanya Johan.
Lira mengangguk. “Kalau kita harus bergerak, kita butuh rencana. Tujuan. Prioritas.”
Zean membaca tulisan Lira:
Temui Dini
Cari info di sekolah
Hindari pusat kota
Kumpulkan perbekalan
Tetap bersama
Di bawah daftar itu, Lira menambahkan satu kalimat kecil, dengan tulisan lebih kecil:
"Jangan jadi orang terakhir."
Zean menatap tulisan itu lama. "orang terakhir?"bertanya tanya.
"Entahlah, tiba tiba saja muncul di dalam kepalaku" balas Lira mengangkat bahunya.
Zean pun menghiraukan nya,lalu melipat kertasnya dan menyimpannya di saku.
“Kalau gitu,” katanya pelan. “Kita mulai dari Dini.”
Mereka bertiga berdiri. Dunia luar masih sunyi, tapi kini keheningan itu punya makna berbeda. Bukan sekadar kosong,tapi penuh sesuatu yang belum mereka temui. Sesuatu yang lapar.
Zean membuka kembali pintu depan rumah Johan. Cahaya pagi menerpa mereka, dingin dan tak ramah.
Langkah pertama selalu yang paling sulit.
Tapi itu tetap langkah.
"kalian siap?." Tanya Zean,memandang kebelakang menatap Johan dan Lira.
"aku siap, aku siap, aku sia." Balas Lira meyakinkan diri sendiri, meregangkan tubuhnya sembari memegang senjatanya yang berupa pemukul daging.
Zean tersenyum tipis menatap Lira, sedang Johan tertawa kecil sambil menunduk melihat sejoli kakak adik itu yang penuh energi positif, seolah olah mereka akan melakukan sebuah petualangan yang begitu besar.