Anna tidak pernah membayangkan bahwa sebuah gaun pengantin akan menjadi awal dari kehancurannya. Di satu malam yang penuh badai, ia terjebak dalam situasi yang mustahil—kecelakaan yang membuatnya dituduh sebagai penabrak maut. Bukannya mendapat keadilan, ia justru dijerat sebagai "istri palsu" seorang pria kaya yang tak sadarkan diri di rumah sakit.
Antara berusaha menyelamatkan nyawanya sendiri dan bertahan dari tuduhan yang terus menghimpitnya, Anna mendapati dirinya kehilangan segalanya—uang, kebebasan, bahkan harga diri. Hujan yang turun malam itu seakan menjadi saksi bisu dari kesialan yang menimpanya.
Apakah benar takdir yang mempermainkannya? Ataukah ada seseorang yang sengaja menjebaknya? Satu hal yang pasti, gaun pengantin yang seharusnya melambangkan kebahagiaan kini malah membawa petaka yang tak berkesudahan.
Lalu, apakah Anna akan menemukan jalan keluar? Ataukah gaun ini akan terus menyeretnya ke dalam bencana yang lebih besar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eouny Jeje, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Racun yang mengerikan
Ethan berdiri diam, matanya terpaku pada layar televisi datar yang memenuhi dinding ruang kerjanya. Keringat dingin masih tersisa di pelipisnya setelah sesi olahraga di treadmill. Kakinya sudah cukup kuat untuk menopang tubuhnya, namun ia tetap memilih mempertahankan sandiwaranya—pura-pura cacat. Ia menikmati melihat bagaimana orang lain memandangnya rendah, menganggapnya tak berguna, seperti benalu yang hanya menjadi beban. Biarkan saja. Biarkan mereka meremehkannya. Karena pada akhirnya, dialah yang akan mengendalikan permainan ini.
Setelah malam lamaran itu, berita meledak bagai ledakan dinamit yang mengguncang jagat media. Tajuk-tajuk besar bertebaran, memenuhi setiap layar dan halaman berita:
"Ethan Ruan, yang haus cinta! Berusaha merebut calon iparnya sendiri!"
"Tragis! Kesetiaan wanita di depan ruang operasi, dikalahkan oleh pesona calon kakak ipar."
Ethan terkekeh pelan. Dunia boleh menudingnya sebagai pisau yang menyayat hubungan kakaknya sendiri. Biarkan. Bukankah ini bagian dari rencana Susan dan Edward? Biarkan mereka menikmati sorotan. Biarkan mereka merasa menang.
Di layar televisi, wajah Susan terpampang dengan jelas, penuh keanggunan yang dingin. Di sampingnya, Edward berdiri, jemarinya menyematkan cincin di jari manis Susan, seolah-olah malam sebelumnya tak pernah ada. Seolah-olah, Ethan hanyalah bayang-bayang yang tak berarti.
Dengan suara lembut yang menusuk, Susan membuka suaranya.
"Aku tidak menyangka akan menjadi perbincangan di antara dua pria dari keluarga Ruan. Tapi sejujurnya, aku dan Edward sudah menjalin hubungan selama dua tahun."
Dua tahun. Ethan menyeringai, merasakan gelombang kemarahan membuncah di dalam dirinya. Dua tahun yang lalu—itulah saat hubungan mereka dimulai. Namun kini, angka itu tak lagi berarti. Kini, dua tahun berubah menjadi sebuah pengkhianatan yang tersembunyi di balik senyuman Susan dan Edward. Mereka mengarang hubungan cinta mereka sendiri.
Tatapan kosong Ethan tetap terarah ke layar, menyaksikan bagaimana Susan dan Edward saling merangkul. Pipi mereka bersentuhan, senyum mesra menghiasi wajah mereka, seakan dunia hanya milik mereka berdua.
"Aku dan Ethan tidak lebih dari adik dan kakak. Aku selalu menganggapnya sebagai adik iparku sendiri," Susan berkata dengan nada penuh kelembutan, namun bagi Ethan, setiap katanya adalah belati yang menancap dalam di hatinya. "Hanya saja, semalam terjadi kesalahpahaman. Hati seseorang tidak bisa ditebak. Tiba-tiba saja seorang adik ipar menyukaiku. Aku pun sangat terkejut."
Seketika, media menggila. Tajuk-tajuk berita dicetak dengan tinta tebal, memenuhi seluruh halaman utama:
“Kecantikan Dewi Susan Jadi Rebutan Ruan Bersaudara!”
Ethan tersenyum, senyum yang gelap dan penuh rahasia. Dunia boleh menganggapnya pecundang. Tapi mereka lupa satu hal—permainan ini belum selesai.
Susan mengakhiri wawancara dengan senyum manis yang menusuk, seolah-olah ia benar-benar peduli.
"Aku berdoa agar Ethan mendapatkan wanita yang terbaik. Aku merasa Ethan perlu mempertimbangkan wanita itu, seseorang yang sangat setia padanya."
Di layar televisi, Susan menatap Edward dengan tatapan penuh cinta. Pria itu menangkap tatapan tersebut dan tanpa ragu mengecup keningnya, seakan ingin memastikan bahwa jika Ethan menonton, maka ia akan hancur.
Tidak cukup sampai di situ, Edward melangkah lebih dekat ke mikrofon dan dengan nada puas mengumumkan, "Aku dan Susan akan menikah hari Sabtu minggu depan. Aku harap tidak ada lagi isu tentang adikku dan calon istriku."
Susan menunduk, pura-pura malu. Lalu, dalam sekejap, Edward menarik dagunya dan melumat bibirnya dalam ciuman panas di depan media.
Ethan menatap layar dengan dingin. Dunia mungkin berpikir dia sedang terpuruk. Media mungkin berasumsi bahwa hatinya hancur berkeping-keping. Tapi mereka semua salah.
Edward tertawa getir di layar, seolah menyatakan kemenangan. Seolah Ethan tak lebih dari pecundang yang sudah dikalahkan dan tak punya jalan keluar.
Ethan tersenyum tipis. Senyum itu dingin. Tanpa perasaan.
"Susan, kau sebut hubungan kita tak pernah ada. Baik. Aku akan memastikan dunia melupakanmu secepat kau menghapus namaku."
"Kalian bilang aku sangat dicintai Anna? Bagus. Aku akan wujudkan itu. Sampai kau, Susan, berharap kau ada di posisinya."
Dengan tenang, ia menekan tombol remote. Layar televisi mati. Suara Edward dan Susan menghilang, seperti debu yang tertiup angin.
Ethan meraih kursi rodanya, namun bukan untuk duduk. Ia menggenggamnya erat, lalu mendorongnya ke sudut ruangan seakan itu hanyalah sampah.
"Terkadang, ketidaksempurnaanlah yang membuka kepalsuan mereka."
Ia melangkah mantap ke treadmill. Bukan untuk sekadar berlari, tapi untuk membakar bara dalam dirinya. Peluhnya membanjiri tubuhnya, otot-ototnya menegang, namun ia terus berlari. Ia membiarkan kemarahannya mendidih, membiarkan tubuhnya mengingat bahwa ini bukan akhir.
Ponselnya tiba-tiba bergetar. Sebuah panggilan masuk.
Suara dari seberang terdengar tegas. "Tuan, hasil laboratrium yang kau minta telah keluar."
Ethan berhenti berlari. Ia mengangkat handuk dan mengusap peluh di dahinya, matanya menyipit tajam.
"Bagus. Sekarang, mari kita mulai pertunjukannya."
Ethan menekan panel di ponselnya dengan tenang. Dalam hitungan detik, terdengar suara mekanis halus dari ujung ruangan. Dinding yang tampak kokoh bergeser perlahan, membuka akses menuju ruang tersembunyi yang hanya ia ketahui.
Di dalamnya, Han sudah berdiri tegap, menundukkan kepalanya dengan sikap penuh hormat. Tidak ada ekspresi berlebihan di wajahnya, hanya kepatuhan mutlak. Ia adalah orang yang tahu posisinya—seseorang yang bekerja untuk Ethan, tanpa mempertanyakan apa pun.
Begitu Ethan duduk di kursi kerjanya, Han maju selangkah, lalu dengan kedua tangannya yang terlatih, ia menyerahkan dokumen tebal di atas meja. Tak ada satu kata pun terucap sampai Ethan mengambil dokumen itu dan mulai membacanya.
"Tuan, ini hasil laboratorium yang Anda minta," suara Han terdengar rendah dan penuh kehati-hatian.
Ethan membuka lembar pertama. Matanya menyipit begitu membaca baris pertama laporan.
"Nama cairan ini adalah Neurotoxin-X36," lanjut Han tanpa diperintah. "Zat ini tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak memiliki rasa. Efeknya dimulai dengan kelemahan otot ringan, kemudian meningkat hingga kelumpuhan total. Dalam dosis yang cukup, ia dapat merusak sistem saraf pusat, menyebabkan kematian mendadak yang menyerupai stroke atau serangan jantung. Hampir mustahil terdeteksi tanpa pemeriksaan khusus."
Jemari Ethan mengetuk permukaan meja. Lambat. Berirama.
Ia tidak terkejut. Sama sekali tidak.
Sejak sadar dari koma, ia sudah merasa ada yang tidak beres. Tubuhnya terasa aneh, lebih berat dari seharusnya. Ia mengira itu efek kecelakaan—hingga ia melihatnya.
Sebuah suntikan yang tergeletak di sisi tempat tidurnya.
Saat itu, ia tak langsung curiga. Tapi sesuatu dalam dirinya mengatakan bahwa itu bukan sekadar alat medis biasa. Dan kini, fakta yang tertulis di hadapannya hanya mengonfirmasi apa yang selama ini ia duga.
Seseorang—tidak, dua orang—telah mencoba membunuhnya.
Ethan membuka halaman berikutnya. Hasil analisis sidik jari.
Hanya tiga sidik jari yang terdeteksi.
Ethan.
Susan.
Edward.
Tiga nama.
Tidak ada orang lain.
Tidak ada orang luar.
Ethan tersenyum kecil, namun tatapannya tetap dingin.
Tentu saja. Ini bukan ulah sembarangan orang. Ini bukan pekerjaan seorang pembunuh bayaran. Ini lebih kejam dari itu.
Ini adalah pengkhianatan.
Han tetap berdiri di tempatnya, menunggu dengan sabar. Ia tidak berani bicara tanpa izin, tidak berani bergerak tanpa perintah.
Akhirnya, Ethan menutup dokumen itu dengan gerakan santai. Ia bersandar di kursinya, tatapannya gelap namun penuh perhitungan.
"Susan, Edward... Kalian benar-benar ingin aku mati?" suaranya rendah, hampir seperti gumaman.
Han menundukkan kepala lebih dalam, menunggu instruksi lebih lanjut.
Ethan melirik ponselnya, lalu menekan angka lain di panelnya.
"Han."
"Ya, Tuan?"
"Pastikan mereka tahu, aku tidak akan mati semudah itu."
Han mengangguk, ekspresinya tetap tanpa cela. "Saya mengerti, Tuan."
Ethan tersenyum tipis.
Baiklah. Jika Susan dan Edward ingin bermain dengan racun, maka ia akan pastikan mereka merasakan racun yang jauh lebih mematikan—racun dari dendam yang tidak akan mereka duga.
Permainan baru saja dimulai.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Fashion House bukan sama dengan Rumah Mode dalam bahasa?