Di antara pertemuan yang tidak disengaja dan percakapan yang tampak sepele, terselip rasa yang perlahan tumbuh. Arpani Zahra Ramadhani dan Fathir Alfarizi Mahendra dipertemukan dalam takdir yang rumit. Dalam balutan nilai-nilai Islami, keduanya harus menavigasi perasaan yang muncul tanpa melanggar batasan agama. Bersama konflik batin, rahasia yang tersembunyi, dan perbedaan pandangan hidup, mereka belajar bahwa cinta bukan hanya tentang perasaan, tetapi juga tentang kesabaran, keikhlasan, dan keimanan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lautt_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ujian Yang Semakin Nyata
"Kesabaran bukan hanya tentang menunggu, tetapi juga tentang bagaimana menjaga hati tetap lurus di jalan-Nya."
---
Langkah yang Semakin Mantap
Hari-hari setelah keputusan Arpa untuk tetap menunggu Fathir terasa lebih tenang. Namun, ketenangan itu bukan tanpa ujian.
Ia sadar bahwa keputusannya bukan sesuatu yang mudah. Bahkan bagi dirinya sendiri, ada saat-saat di mana keraguan kembali menghampiri.
Terkadang, di tengah kesibukan kuliahnya, pikirannya masih melayang ke perbincangan dengan Daffa beberapa waktu lalu. Kata-kata laki-laki itu masih terngiang di benaknya.
"Penantian bisa menjadi sesuatu yang indah, tapi juga bisa menjadi jebakan jika tidak memiliki kepastian."
Benarkah ia telah memilih jalan yang benar? Ataukah ia hanya mempertahankan sesuatu yang belum tentu pasti?
Namun, setiap kali hatinya mulai goyah, ia selalu mengingat kembali bagaimana ia memulai perjalanan ini. Ia tidak ingin mengambil keputusan hanya karena lelah menunggu atau karena takut pada ketidakpastian.
Karena itu, ia memilih untuk menghadapi semuanya dengan hati yang lebih mantap.
---
Mengisi Hari dengan Kebaikan
Untuk menguatkan hatinya, Arpa mulai lebih banyak menghabiskan waktu dengan Al-Qur’an.
Setiap pagi sebelum kuliah, ia meluangkan waktu untuk membaca dan mentadabburi ayat-ayatnya. Ayat demi ayat ia resapi, mencoba mencari ketenangan dalam firman-Nya.
Di antara ayat yang paling sering ia baca adalah:
"Dan bersabarlah, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar." (QS. Al-Anfal: 46)
Setiap kali membaca ayat itu, hatinya terasa lebih ringan.
Selain itu, ia juga semakin aktif dalam kegiatan dakwah kampus. Ia mulai mengisi kajian kecil untuk adik-adik tingkatnya, berbagi ilmu yang ia dapatkan selama ini.
Suatu hari, setelah mengisi kajian, seorang mahasiswi bertanya kepadanya, “Kak Arpa, bagaimana caranya tetap istiqomah dalam penantian?”
Arpa tersenyum. Pertanyaan itu terasa begitu dekat dengannya.
“Menunggu bukan hal yang mudah,” jawabnya. “Tapi jika kita menunggu dalam jalan yang benar, Allah pasti akan memberikan kita kekuatan. Caranya adalah dengan terus memperbaiki diri, bukan hanya diam dan berharap.”
Mahasiswi itu mengangguk paham. “Berarti, saat kita menunggu, kita juga harus tetap bergerak dalam kebaikan, ya, Kak?”
Arpa tersenyum lebih lebar. “Iya. Jangan biarkan penantian membuat kita lupa untuk terus menjadi lebih baik.”
Jawaban itu seperti menguatkan dirinya sendiri.
Menunggu bukan berarti hanya diam, tetapi juga terus memperbaiki diri.
---
Kabar yang Ditunggu
Di sisi lain, kabar tentang kepulangan Fathir semakin dekat.
Dua bulan lagi, ia akan kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan pendidikannya di Timur Tengah.
Saat pertama kali mendengar kabar itu, Arpa merasa dadanya dipenuhi oleh perasaan yang sulit dijelaskan.
Ada bahagia, ada haru, tapi juga ada ketakutan.
Bagaimana jika setelah bertahun-tahun menunggu, mereka ternyata sudah berubah? Bagaimana jika perasaan mereka tak lagi sama?
Namun, ia kembali mengingatkan dirinya sendiri.
"Jika niat ini memang karena Allah, maka aku tidak perlu takut. Jika Allah telah menuliskan dia untukku, maka tidak ada yang bisa menghalanginya. Jika tidak, maka aku harus siap menerima takdir lain yang lebih baik."
Setiap kali perasaan itu datang, ia berusaha untuk menenangkan dirinya dengan berdoa.
"Ya Allah, jika penantian ini memang Engkau ridhoi, maka mudahkanlah jalannya. Jika tidak, maka berikanlah aku ketenangan dalam menerima keputusan-Mu."
Malam-malamnya dipenuhi dengan sujud yang lebih lama.
Di atas sajadahnya, ia menyerahkan segala kegelisahannya kepada Allah.
---
Kesiapan yang Terus Diuji
Namun, sebelum hari itu tiba, masih ada banyak hal yang harus mereka lalui.
Di saat Arpa semakin mantap dengan keputusannya, justru saat itulah ujian semakin besar.
Ada banyak suara di sekelilingnya yang mempertanyakan keputusannya.
Suatu malam, saat sedang bersiap tidur, ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Bibinya masuk.
Bibi: “Arpa, Bibi dengar kamu masih menunggu Fathir. Apa kamu benar-benar yakin? Menunggu itu baik, tapi jangan sampai kamu mengorbankan dirimu sendiri untuk sesuatu yang belum pasti.”
Arpa terdiam, menatap layar ponselnya dengan perasaan campur aduk.
Ia tahu bibinya tidak bermaksud buruk. Justru sebaliknya, ia hanya ingin melindunginya.
Namun, ia juga tahu bahwa penantiannya bukan sekadar karena perasaan. Ini adalah tentang kepercayaan dan keyakinan.
Ia membalas dengan hati-hati.
Arpa: “Terima kasih sudah mengkhawatirkanku, Bi. Aku tahu menunggu itu tidak mudah. Tapi aku tidak ingin mengambil keputusan hanya karena takut. Aku ingin menjalani ini dengan cara yang Allah ridhoi.”
Tak lama kemudian, bibinya membalas.
Bibi: “Bibi mengerti, Nak. Jika itu pilihanmu, Bibi hanya bisa mendoakan yang terbaik.”
Arpa tersenyum kecil. Ia tahu, selama niatnya lurus, Allah pasti akan selalu bersamanya.
---
Suatu sore, saat Arpa tengah bersiap untuk menghadiri kajian di kampus, ponselnya bergetar.
Sebuah pesan suara masuk dari Fathir.
Dengan cepat, ia memasang earphone dan mendengarkan.
Fathir: “Assalamualaikum, Arpa.”
Arpa tersenyum tipis.
Fathir: “Aku ingin bercerita sedikit. Hari ini aku duduk di atap asrama, menatap langit senja. Warna oranye keemasan yang begitu indah, mengingatkanku pada satu hal…”
Fathir terdiam sejenak, lalu melanjutkan, suaranya lebih dalam.
Fathir: “Menunggu itu bukan hal mudah. Aku merasakannya di sini. Jauh dari keluarga, jauh dari tempat yang aku kenal, bahkan jauh darimu. Tapi satu hal yang selalu aku pegang, Arpa… Aku yakin Allah sedang menyiapkan sesuatu yang lebih baik untuk kita.”
Arpa menelan ludah, hatinya menghangat mendengar kata-kata itu.
Fathir: “Aku tahu ini sulit. Aku tahu ada banyak hal yang menggoyahkan hati kita. Tapi aku ingin kamu tahu… aku masih di sini. Dan aku akan kembali. Aku ingin bertemu denganmu, bukan sekadar sebagai seseorang dari masa lalu, tapi sebagai seseorang yang lebih siap untuk melangkah ke masa depan.”
Pesan itu berakhir, tapi perasaan Arpa semakin bercampur aduk.
Ia menggenggam erat ponselnya, menahan air mata yang tiba-tiba menggenang.
"Ya Allah, jika ini memang jalannya, maka kuatkanlah hati kami untuk tetap bertahan."
---
Godaan yang Kembali Datang
Ketika hati mulai mantap, di saat itulah ujian semakin besar.
Beberapa hari setelah menerima pesan Fathir, Arpa kembali bertemu dengan Daffa dalam sebuah acara kampus.
Mereka tidak berbicara banyak. Namun, tatapan Daffa cukup untuk menunjukkan bahwa perasaannya belum berubah.
Setelah acara selesai, saat Arpa hendak pulang, Daffa menghampirinya.
“Arpa, boleh aku bicara sebentar?” tanyanya sopan.
Arpa menatapnya sejenak, lalu mengangguk pelan.
Mereka berdiri di sudut taman kampus, suasana senja membentang di langit.
“Aku tahu aku sudah berjanji untuk tidak memaksamu,” ujar Daffa. “Tapi aku juga tidak bisa berpura-pura bahwa aku baik-baik saja setelah keputusanmu.”
Arpa menggigit bibir bawahnya.
“Arpa, aku hanya ingin bertanya satu hal…” Daffa menatapnya dalam-dalam. “Apakah kamu benar-benar yakin dengan penantian ini?”
Arpa menarik napas panjang. “Daffa… aku tahu ini sulit. Tapi aku juga tidak ingin membuat keputusan hanya karena takut atau terburu-buru.”
Daffa tersenyum pahit. “Aku mengerti. Tapi aku ingin kamu tahu satu hal… Jika suatu saat hatimu berubah, aku masih ada di sini.”
Kata-kata itu menekan perasaannya, tapi ia berusaha tetap tegar.
“Terima kasih, Daffa. Aku menghargai itu.”
Mereka berpisah, tetapi dalam hati Arpa, pertarungan batin itu kembali berkecamuk.
---
Malam itu, Arpa kembali mencari ketenangan di dalam sujudnya.
Ia tidak ingin hatinya goyah hanya karena perasaan sesaat.
Di dalam doanya, ia memohon agar Allah menjaga hatinya, agar tidak mudah terombang-ambing oleh apa yang terlihat lebih mudah dan pasti.
"Ya Allah, aku ingin tetap dalam jalan yang Engkau ridhoi. Jika Fathir memang yang terbaik untukku, maka mudahkanlah jalan ini. Jika bukan, maka jauhkanlah dengan cara yang paling lembut."
Setelah berdoa, ia merasa sedikit lebih tenang.
---
Keesokan harinya, Arpa menerima sebuah email dari Fathir.
Isinya adalah sebuah surat yang ditulis dengan penuh makna.
“Arpa… Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Tapi aku ingin kamu tahu, aku tidak pernah menyesali penantian ini. Aku percaya, selama kita menjaga niat ini tetap lurus, Allah akan mempertemukan kita dalam waktu yang paling tepat.
Aku tidak ingin menjanjikan sesuatu yang aku sendiri tidak tahu akhirnya. Tapi satu hal yang pasti, aku ingin kita berjuang di jalan yang benar.
Jika suatu hari kamu merasa lelah, ingatlah… kita tidak sedang berjuang sendirian. Allah bersama kita.
Aku akan segera pulang, Arpa. Dan aku ingin kita bertemu, bukan sebagai seseorang yang masih ragu, tetapi sebagai seseorang yang sudah siap melangkah.”
Arpa membaca surat itu berkali-kali, matanya berkaca-kaca.
Di dalam hatinya, ada sesuatu yang perlahan-lahan menjadi lebih jelas.
Ia tidak ingin memilih berdasarkan rasa takut, tetapi berdasarkan keyakinan kepada Allah.
Malam itu, ia menutup jurnalnya dengan satu kalimat terakhir:
"Ya Allah, jika penantian ini adalah jalan yang benar, maka kuatkanlah aku hingga akhir. Jika tidak, tunjukkanlah jalan yang lebih Engkau ridhoi."
---
"Ketika kita menyerahkan semuanya kepada Allah, maka hati akan menemukan ketenangan yang sesungguhnya."