NovelToon NovelToon
Garis Takdir (Raya)

Garis Takdir (Raya)

Status: sedang berlangsung
Genre:Selingkuh / Nikah Kontrak / Mengubah Takdir / Penyesalan Suami / KDRT (Kekerasan dalam rumah tangga)
Popularitas:2.4k
Nilai: 5
Nama Author: BYNK

••GARIS TAKDIR RAYA••

Kehidupan Raya Calista Maharani penuh luka. Dibesarkan dalam kemiskinan, dia menghadapi kebencian keluarga, penghinaan teman, dan pengkhianatan cinta. Namun, nasibnya berubah saat Liu, seorang wanita terpandang, menjodohkannya dengan sang putra, Raden Ryan Andriano Eza Sudradjat.

Harapan Raya untuk bahagia sirna ketika Ryan menolak kehadirannya. Kehidupan sebagai nyonya muda keluarga Sudradjat justru membawa lebih banyak cobaan. Dengan sifat Ryan yang keras dan pemarah, Raya seringkali dihadapkan pada pilihan sulit: bertahan atau menyerah.

Sanggupkah Raya menemukan kebahagiaan di tengah badai takdir yang tak kunjung reda?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 28: Menjadi sahabat

Pagi itu, suasana rumah sakit tampak tenang, jauh dari hiruk-pikuk yang biasanya terdengar di siang hari. Matahari baru saja muncul di ufuk timur, sinarnya yang lembut menyinari lorong-lorong rumah sakit melalui jendela besar di sisi bangunan. Cahaya pagi yang hangat itu menciptakan bayangan lembut di dinding-dinding putih, menambah kesan damai di setiap sudut.

Suara langkah kaki perawat yang sibuk mengurus pasien, disertai dengan bunyi alat medis yang berdetak-detak pelan, seakan menambah kesunyian pagi yang penuh ketenangan. Ada suara desisan mesin ventilator yang teratur, dan sesekali terdengar suara peralatan medis yang dipindahkan. Semua itu menyatu dalam irama yang sama, seperti simfoni pagi di ruang rumah sakit yang sepi.

Aroma antiseptik yang tajam masih tercium samar di udara, menambah kesan segar namun steril. Setiap sudut rumah sakit dipenuhi dengan keheningan yang hanya diselingi dengan suara langkah kaki dan desahan mesin. Pintu-pintu ruangan yang terbuka memperlihatkan beberapa pasien yang masih terlelap, tubuh mereka terbungkus selimut putih, sementara beberapa perawat memeriksa catatan medis dan menyiapkan perawatan rutin.

Suasana pagi yang tenang di rumah sakit mulai terpecah ketika pintu kamar terbuka perlahan. Seorang dokter muda masuk, membawa catatan medisnya dan mengenakan jas putih yang rapi. Arka sudah terbangun, matanya sedikit sayu namun terlihat lebih segar daripada malam sebelumnya.

"Selamat pagi, Tuan Arka, dan Nona. Bagaimana perasaan Anda hari ini?" tanya dokter sambil mendekati tempat tidur Arka.

"Pagi, Dok. Saya merasa sedikit lebih baik sekarang," jawab Arka dengan nada datar nya seonho biasanya.

"Tadi malam Anda sempat dibius untuk tidur, jadi pastikan Anda beristirahat dengan cukup. Saya akan melakukan beberapa pemeriksaan terakhir untuk memastikan semuanya berjalan lancar, " ucap Dokter itu sembari memeriksa beberapa bagian tubuh Arka dengan hati-hati, memastikan bahwa kondisinya membaik. Raya yang duduk di samping tempat tidur, memperhatikan dengan seksama saat dokter memeriksa tekanan darah Arka dan memastikan tidak ada tanda-tanda yang mencurigakan. Tak lama kemudian, dokter menyelesaikan pemeriksaannya.

"Sepertinya semuanya sudah baik, Tuan Arka. Anda sudah bisa pulang hari ini, tapi pastikan untuk tetap menjaga kondisi tubuh dan tidak terlalu banyak aktivitas. Kalau ada keluhan atau rasa sakit, segera hubungi kami," ujar dokter sambil tersenyum ramah.

"Terima kasih, Dok. Saya akan mengikuti saran Anda," jawab Arka singkat.

"Baiklah kalau begitu, saya permisi," ujar sang dokter sambil berlalu meninggalkan ruangan Arka. Ia menutup pintu dengan lembut, menyisakan Arka dan Raya yang masih berada di dalam ruangan tersebut, dalam keheningan yang mengisi udara di antara mereka.

"Raya... bisa antar aku pulang?" tanya Arka, suaranya serak namun penuh harap. Mata Arka menatap Raya, mencoba meyakinkan dirinya agar bisa mendapatkan jawaban yang dia inginkan.

"Pak Edi sebentar lagi datang, Kakak bisa kembali bersama dia," jawabnya dengan nada yang jelas menolak permintaan Arka. Tidak mudah baginya untuk memenuhi permintaan itu, apalagi setelah semua yang telah terjadi antara mereka.

"Aku mau pulang bersamamu," jawab Arka, kali ini dengan senyuman lemah yang terlukis di wajahnya. Senyum itu terasa berbeda, penuh kehangatan meski terbungkus keletihan.

Arka terus meminta Raya untuk mengantarnya pulang, namun Raya selalu menolaknya dengan berbagai alasan. Kali ini, setelah melihat senyum itu dan mendengar permohonan yang tulus, Raya merasa sulit untuk menahan diri. Dia tahu, ada sesuatu yang berbeda di balik permintaan itu.

"Baiklah," katanya pelan, setelah melihat Arka terus meminta itu , toh hanya mengantarkan pulang pikir Raya.

Hari itu, mereka berdua akhirnya meninggalkan rumah sakit. Lebih tepatnya, Raya yang akan mengantarkan Arka pulang ke rumahnya. Mobil melaju dengan kecepatan normal, namun Raya tidak berniat membuka suara. Matanya terfokus pada jalanan pagi yang indah. Pemandangan yang tampak begitu menenangkan, dengan udara segar yang menyegarkan pikiran dan hati Raya.

Tenang... Ya, itulah yang dirasakan Raya kini. Pikiran dan hatinya sedikit lebih tenang saat melihat pemandangan jalan yang begitu mempesona itu. Namun, kedamaian itu terganggu ketika Raya merasakan jari tangannya digenggam oleh Arka. Dia menoleh perlahan, terkejut itulah perasaan Raya kini. Keduanya saling pandang tanpa mengatakan apapun. Beberapa detik berlalu begitu saja, hingga akhirnya Arka membuka suara, suaranya pelan namun penuh makna.

"Terima kasih sudah datang dan menemani aku semalaman ini. Terima kasih atas semuanya, Raya," ujar Arka dengan senyuman yang terlihat begitu indah. Senyum itu adalah senyum yang pertama kali Raya lihat begitu tulus, dan untuk beberapa alasan, itu membuat hatinya sedikit terenyuh.

"Hemm... sama-sama," jawab Raya, meskipun bingung harus mengatakan apa lagi.

"Mau kah kamu menemani aku sebentar saja? Aku ingin memperkenalkan nenek dan kakekku padamu," kata Arka tiba-tiba. Raya terdegun mendengar kalimat itu. Terkesan begitu mendalam, apalagi ketika Arka terus memanggilnya dengan kata 'kamu' sesuatu yang tidak pernah Arka ucapkan padanya sebelum nya.

"Untuk apa?" tanya Raya, berusaha terdengar biasa meskipun sebenarnya hatinya bimbang.

"Aku hanya ingin memperkenalkan mereka saja, apa kamu keberatan?" tanya Arka, matanya menatap Raya dengan penuh harap.

"Akh... baiklah, aku juga tidak diberi pilihan untuk menolak, bukan?" ujar Raya dengan suara pelan seperti biasanya.

"Serius?" tanya Arka, ingin meyakinkan apakah Raya benar-benar siap untuk itu.

"Ya... ayo lakukan," jawab Raya tanpa menatap Arka, berusaha menyembunyikan perasaan yang mulai berkecamuk di dalam hatinya. Hati kecil nya terus bertanya apa yang di rencanakan oleh pria di samping nya ini .

Sekitar lima belas menit kemudian, mobil yang ditumpangi Arka dan Raya berbelok memasuki kawasan pemakaman elite yang terletak di daerah tersebut. Gerbang besar dengan desain mewah menyambut mereka, dihiasi ukiran marmer yang elegan. Jalanan menuju area pemakaman terbuat dari batu alam yang rapi, membelah taman hijau yang tertata indah dengan pepohonan rindang dan bunga-bunga bermekaran. Suasana tenang dan damai menyelimuti tempat itu, sementara angin sepoi-sepoi berhembus lembut membawa aroma khas dedaunan basah.

Raya melirik ke arah Arka yang duduk diam dengan pandangan kosong menatap ke depan. Niat hati ingin bertanya, tetapi Raya memilih memendam rasa penasarannya. Hanya suara deru lembut mesin mobil yang menemani mereka dalam perjalanan itu. Setelah beberapa saat, mobil perlahan berhenti di area parkir yang tak jauh dari sebuah jalur pejalan kaki yang mengarah ke kompleks makam.

Arka membuka pintu mobil dan keluar lebih dulu, diikuti oleh Raya yang dengan sigap menyusulnya. Sepatu mereka menyentuh jalan setapak yang terbuat dari batu granit, mengarah ke deretan makam yang berjajar rapi dengan nisan marmer putih berkilauan diterpa sinar matahari pagi. Raya yang sejak tadi menahan rasa penasaran akhirnya memberanikan diri untuk bertanya.

"Kak, apa Grandma dan Grandpa ada di sini? Mereka sedang berziarah?" tanyanya dengan polos, matanya menatap Arka penuh tanda tanya. Namun, Arka tidak menjawab. Wajahnya tetap tenang tetapi sarat dengan emosi yang sulit ditebak. Tanpa berkata apa-apa, ia menggenggam pergelangan tangan Raya dengan lembut dan menuntunnya untuk mengikuti langkahnya. Raya hanya bisa pasrah mengikuti tanpa tahu apa yang menantinya di depan.

Mereka melewati nisan-nisan yang tertata simetris, beberapa dihiasi karangan bunga segar dan lilin kecil yang masih menyala. Aroma bunga melati menyelimuti udara, menciptakan suasana khidmat yang menyentuh hati. Langkah Arka terhenti di depan dua makam besar yang berdampingan. Batu nisannya kokoh dan bersih, dengan nama serta tanggal yang terukir indah di permukaannya.

Setelah berjalan beberapa langkah dan melewati beberapa makam yang sudah tampak lebih tua dan terabaikan, akhirnya Raya dan Arka sampai di sebuah makam yang bersampingan. Makam itu tampak begitu indah, terawat dengan sangat rapi, dan memiliki aura yang berbeda. Di sekelilingnya terdapat bunga-bunga segar yang ditata dengan indah, memberikan kesan keheningan dan kedamaian yang begitu kuat. Makam ini terlihat seolah-olah ditempatkan di tempat yang spesial, jauh dari hiruk-pikuk dunia luar, dengan pepohonan yang melindunginya.

"Grandma... Grandpa...." Ujar Arka tiba-tiba, tubuh pria itu bersimpuh di samping makam tersebut, tatapannya kosong, penuh dengan kesedihan yang mendalam.

"Aku datang... apa kalian merindukan aka? Maafkan aka, Grandma, Grandpa, karena aka jarang datang ke sini," ujar Arka dengan suara yang pecah, sembari menangis tersedu-sedu.

Raya hampir tidak percaya jika pria yang sedang menangis tersedu-sedu, bahkan terlihat begitu rapuh ini, adalah ARKANA LOUWIS. Pria yang selama ini ia kenal sebagai sosok keras kepala dan sewenang-wenang, yang tak pernah terlihat menunjukan sisi emosionalnya. Ini kali pertama Raya melihat pria ini menangis histeris sampai seperti ini, begitu rentan dan penuh kepedihan.

Raya ikut bersimpuh di samping Arka, lalu perlahan mengusap-usap punggung kakak tingkatnya yang terus bergetar itu. Tangannya meraba lembut, berusaha memberi ketenangan meskipun hatinya sendiri merasa terguncang melihat Arka yang begitu rapuh.

"Sudah, jangan menangis. Tenangkan diri kakak!" ujar Raya dengan lembut, namun Arka masih tetap menangis, tubuhnya berguncang tak terkendali.

"Ke mari... sudah cukup, jangan menangis lagi. Kasihan Grandpa dan Grandma kalau melihat kakak rapuh seperti ini," ujar Raya dengan suara penuh empati, berusaha menarik Arka ke pelukannya. Entah kenapa, Raya merasa tergerak untuk melakukan ini, memeluk Arka yang terisak dan begitu rapuh. Tindakan itu, meskipun belum pernah terbesit dalam pikirannya, datang begitu alami, dan anehnya Arka tidak keberatan. Bahkan, ia ikut memeluk Raya lebih erat, seakan mencari kenyamanan di balik pelukan itu, meski air matanya masih terus mengalir.

Raya mengusap-usap punggung Arka dengan lembut, berusaha menenangkan tangisannya. Suasana sekitar mereka terasa sunyi, hanya suara isakan Arka yang bisa terdengar, sementara sinar matahari yang hangat menerpa mereka berdua, seolah menjadi saksi dari momen yang begitu emosional ini.

"Grandma... Grandpa, perkenalkan namaku Raya. Aku adik tingkat dari cucu kalian. Dia bilang ingin mengenalkan ku pada kalian berdua. Maafkan Raya karena datang tanpa membawa apapun..." ujar Raya dengan suara lembut, perlahan melepaskan pelukannya. Pandangannya beralih pada makam yang terjaga dengan baik itu. "Kak, lihatlah aku sudah berkenalan dengan kakek nenek kakak. Sekarang berhenti menangis dan katakan padaku, apa mereka keberatan jika aku memanggil mereka Grandma & Grandpa juga?" ujar Raya, menatap wajah tampan Arka yang masih basah oleh air mata.

Arka terdiam beberapa saat, kemudian perlahan menghapus air matanya dengan ujung jari. Senyum tipis mulai terukir di wajahnya yang masih memerah.

"Panggil saja seperti itu, aku tidak keberatan," jawab Arka pelan.

"Baiklah... sekarang mereka kakek dan nenek ku juga. Lain waktu aku akan mengunjungi mereka juga," ujar Raya dengan tegas.

"Jangan menangis lagi, kak. Aku tidak suka melihat orang lain meneteskan air matanya di hadapanku!" seru Raya, dan dengan itu, Arka mengangkat wajahnya, menatap sejenak wajah Raya yang kini berada di depannya. Arka menatap wajah Raya, matanya yang masih penuh kesedihan bertemu dengan tatapan penuh pengertian dari Raya.

"Raya... maaf... maafkan aku," ujar Arka terbata-bata, suaranya hampir tak terdengar, namun penuh dengan penyesalan. Raya mengernyitkan alisnya, bingung dengan kata-kata Arka.

"Maaf untuk apa?" tanya Raya, penasaran dengan apa yang baru saja diucapkan oleh Arka.

"Maaf untuk semuanya, maaf karena aku selalu berlaku kasar padamu. Maafkan teman-temanku juga yang sudah menyakitimu... Aku yakin aku tidak pantas untuk mendapatkan kata maaf darimu," ujar Arka dengan suara pelan, kembali menunduk, wajahnya dipenuhi dengan penyesalan yang mendalam.

"Kak... semua orang di dunia ini pernah melakukan kesalahan dalam hidup mereka masing-masing, baik itu yang fatal ataupun yang tidak. Kita manusia biasa, kak. Baik aku, atau kamu, serta mereka, itu sama di mata Tuhan. Yang membedakan kita semua hanyalah harta dan tahta kita di dunia ini. Jadi, kenapa juga aku harus tidak memaafkanmu?" ujar Raya, sambil dengan lembut memegang bahu Arka.

"Aku malu padamu... aku pria pecundang yang hanya berani menyiksa dan menyakiti wanita. Kenapa kamu tidak dendam padaku, Raya? Kamu bisa menghukumku, bukan?" tanya Arka dengan suara yang penuh sesal. Tersisa secercah rasa malu yang jelas terlihat dalam tatapannya. Raya hanya tersenyum tipis mendengar kata-kata Arka. Melihat kakak tingkatnya yang dahulu begitu jahat, yang selalu menjadi penyebab sakit hatinya, kini berada di hadapannya dengan wajah penuh penyesalan.

" Tidak... Aku tidak dendam..." jawab Raya, matanya menatap dalam ke arah Arka, memastikan bahwa kata-kata ini bukan hanya sekadar ucapan belaka. "Sekarang aku tanya, apakah permintaan maaf ini sungguh-sungguh dari dalam hati kakak, dan bukan untuk membohongi siapapun?" tanya Raya, suaranya tegas, Arka hanya bisa mengangguk, tatapannya lebih dalam, seolah-olah ia benar-benar berharap maaf ini akan diterima.

"Kalau begitu, aku memaafkanmu. Sudah lah, biarkan yang lalu berlalu..." Raya berkata, menghela napas panjang. "Tapi kumohon, jangan pernah mengulanginya lagi. Aku sadar diriku tak pantas bicara seperti ini, mungkin perkataanku sudah di luar batas karena menasihati kakak hari ini. Tapi coba dengarkan apa yang aku katakan... JANGAN PERNAH MENGGUNAKAN RASA SAKIT SESEORANG UNTUK KESENANGAN KITA SENDIRI. Jangan mengulanginya lagi pada orang lain, kak. Aku tidak yakin mereka akan sanggup jika berada di posisi ku," ujar Raya, berbicara panjang lebar dengan nada penuh perhatian, matanya tidak lepas dari Arka.

"Aku salah karena telah melakukan itu," ujar Arka, dengan suara yang lebih rendah, menyesali perbuatannya. Raya tersenyum mendengar kata-kata Arka, namun tak dapat menahan air mata yang perlahan turun membasahi pipinya. Semua perasaan yang terkumpul di dalam hatinya sejak lama kini mengalir begitu saja.

"Apa masih ingin di sini? Atau sebaiknya kita pulang saja?" tanya Raya dengan lembut, matanya memperhatikan Arka yang masih duduk dengan ekspresi penuh penyesalan.

" Umm... '' Jawab arka seolah ragu untuk pulang dan madih ingin menikmati waktu nya di tempat peristirahatan terakhir kakek dan neneknya itu.

"Ingat, kak, kamu baru saja keluar dari rumah sakit, kondisimu masih belum terlalu baik," ujar Raya lagi.

"Ya... mari pulang," jawab Arka pelan, mengangguk, menyetujui apa yang dikatakan Raya.

Keduanya berpamitan dengan khidmat pada grandma dan grandpa Arka yang telah tenang di surga, berdoa sejenak sebelum beranjak. Mereka berjalan menuju mobil, dengan langkah yang lebih ringan, meski masih membawa beban masa lalu. Perjalanan pulang menuju rumah utama keluarga Louwis ditempuh dengan kecepatan normal, di dalam mobil yang terasa lebih hening, hanya suara mesin mobil yang terdengar.

"Raya..." panggil Arka membuka pembicaraan. Raya yang mendengar hal tersebut langsung menoleh ke arah Arka namun tidak mengatakan apapun. Arka yang paham dengan tatapan Raya melanjutkan ucapannya.

"Apa yang terjadi kemarin antara kamu dan pria itu? Dan, ya, di mana cincin pertunangan kita? Mengapa kamu tidak memakainya? Apa benar hilang?!" ujar Arka, nada suaranya menuntut penjelasan.

"Cincin pertunangan itu ada di kamar ku, aku sama sekali tidak menghilangkannya, dan alasan ku tidak memakainya karena aku akan pergi ke kampus. Aku selalu melepaskan cincin itu dan memang terkadang aku jarang memakainya. Lagi pula, itu hanya untuk membohongi orang tua kakak saja kan? Jadi aku tidak perlu memakainya jika tidak ada orang tua kakak," jawab Raya, mencoba menjelaskan dengan tenang.

"Dan ya, soal pria yang kemarin, dia adalah anak dari Tante Ashanty, orang yang menyelamatkan ku dari percobaan bunuh diri yang pernah aku lakukan dulu. Dia memintaku untuk menikah dengan putra-nya, dan pria itulah putra dari Tante Ashanty," Ujar Raya melanjutkan. Arka terdiam sejenak, mencerna setiap kata yang keluar dari mulut Raya. Tak lama kemudian, Arka kembali membuka mulut, suara barunya terdengar rendah dan tegas.

"Jadi cincin itu...?" tanya Arka, melirik ke arah jari manis Raya yang kini terpasang cincin baru, yang jelas bukan cincin yang dia pasangkan nya tempo hari.

"Ya... kemarin aku bertunangan dengan dia di hadapan orang tuanya. Aku tidak tahu harus melakukan apa sebagai balas budi ku pada mereka," ujar Raya, menundukkan kepala, merasa tak bisa lagi menyembunyikan segalanya di hadapan Arka.

Raya bisa melihat jelas raut kekecewaan di wajah Arka. Ada sesuatu yang pecah dalam diri pria itu, tapi Raya juga tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Dan dia juga bingung dengan sikap Arka seharian ini.

"Bolehkah jika aku ingin mengajakmu untuk berteman dengan ku?" tanya Arka, akhirnya membuka pembicaraan lagi setelah beberapa saat terdiam, suaranya terdengar lebih lembut dari sebelumnya.

"Berteman? Denganmu?" tanya Raya, ingin meyakinkan dirinya dengan apa yang baru saja dia dengar.

"Eumm... Mau menjadi sahabat ku?" tanya Arka, kali ini suaranya terdengar tulus, seolah benar-benar mengharapkan jawaban positif.

"Tentu saja... Kenapa tidak? Maaf, aku tidak bisa melanjutkan pertunangan sandiwara itu, Kak," ujar Raya.

"Ya... biar aku yang mengatakan semua ini pada orang tua ku. Lagi pun tujuan awalnya pun untuk menyingkirkan wanita jalang itu dari hidup ku. Dan sekarang semuanya sudah tahu tentang kebusukan wanita itu," ucap nya di sertai deheman pelan. Suara Arka terdengar tenang, namun Raya bisa mendengar ada sedikit emosi yang terselip di sana, meskipun dia berusaha menahan diri.

"Baiklah... nanti akan aku kembalikan cincin itu," ujar Raya, menatap Arka dengan hati yang penuh keraguan. Namun, Arka tidak menanggapi kata-kata Raya. Pria itu hanya terdiam, seakan perasaan dan pikirannya sedang berperang di dalam dirinya.

Selang beberapa menit, tak terasa akhirnya mobil yang ditumpangi oleh Arka dan Raya sampai di kediaman utama milik keluarga Louwis. Mobil itu berhenti di depan sebuah rumah megah yang tampak berdiri anggun dengan nuansa putih yang mendominasi seluruh bangunannya. Pintu gerbang besar yang terbuat dari besi berlapis emas terbuka perlahan, memamerkan taman yang tertata rapi di sekelilingnya, dengan pohon-pohon yang besar dan rerumputan hijau yang subur. Sinar matahari yang cerah memantul di kolam renang besar yang berkilauan, menambah keindahan halaman rumah yang luas itu.

Keduanya turun dari mobil dan melangkah menuju pintu depan rumah yang dilengkapi dengan ukiran kayu yang elegan, memberikan kesan mewah dan berkelas. Di sekitar mereka, bunga-bunga yang tertata rapi dalam pot besar berwarna cerah, tampak menyambut kedatangan mereka dengan warna-warna yang menyegarkan mata. Langit biru yang luas memperindah pemandangan sekitar, menambah nuansa siang yang tenang dan nyaman.

Saat sampai di teras, Raya merasa sedikit canggung dan ingin berpamitan pada Arka, karena menurutnya tugasnya menjaga Arka sudah selesai. Dia sudah merasa cukup menjalankan peran sebagai pendamping, dan kini saatnya untuk kembali ke rumahnya.

"Kak, kamu sudah baik-baik saja, aku akan kembali ke rumahku," ujar Raya dengan suara yang terdengar sedikit ragu. Ucapan Raya barusan berhasil membuat langkah kaki Arka terhenti. Pria itu berbalik, kemudian menatapnya dengan pandangan tajam. Wajahnya yang semula terlihat tenang kini berubah, dan dia kembali membuka mulut untuk berbicara.

"Apa sopan seperti itu, Ray? Kenapa tidak masuk dulu, istirahat sebentar, lalu bicarakan baik-baik? Mengapa harus berpamitan pada ku dengan cara seperti ini? Aku bisa mengantarkan mu nanti!" ujar Arka dengan nada tegas, suaranya lebih keras dari sebelumnya. Hal itu membuat Raya sedikit segan dan merasa canggung lagi. Padahal sebelumnya, dia sudah mulai merasa nyaman dengan Arka, namun sekarang kembali merasa tertekan dengan sikap pria itu.

"Maafkan aku," ujar Raya dengan wajah yang tertunduk, merasa tak enak dengan ucapan Arka. Suasana terasa sedikit canggung. Arka, yang menyadari bahwa kata-katanya mungkin telah membuat Raya merasa takut padanya, Ia menghela napas panjang, berusaha untuk tidak terpancing emosi. Mimik wajahnya yang semula keras kini sedikit melunak, dan dia berbicara lebih lembut, dari sebelumnya.

"Maaf... maafkan aku!! Aku tidak sengaja barusan. Tapi benarkan apa yang aku ucapkan barusan itu?" tanya Arka, menatap wajah Raya dengan harap. Raya mengangguk pelan, mata merahnya menunjukkan kelelahan setelah semalaman berada di rumah sakit.

"Iya... memang benar. Tadi niatku ingin langsung pulang, kak, makanya aku minta izin padamu terlebih dahulu," ujar Raya lagi, suaranya sedikit terbata karena rasa lelah yang masih menghinggapinya.

"Tapi ada cara yang lain untuk meminta izin, Raya, bukan seperti ini. Kamu pasti lelah kan menunggu aku di rumah sakit semalaman? Beristirahatlah dulu. Setelah lelah mu sedikit berkurang, aku akan mengantarmu pulang," ujar Arka dengan nada yang lebih lembut dan penuh pengertian, berusaha meyakinkan Raya bahwa ia tidak perlu terburu-buru.

"Emm... aku hanya sedikit lelah," jawab Raya ragu, menatap Arka dengan tatapan yang bimbang, namun ia tidak bisa menyangkal bahwa tubuhnya memang terasa lelah.

"Benarkan ucapan ku... ayo masuk dulu, kita makan dan istirahat dulu. Setelah itu, aku akan mengantarmu pulang," ujar Arka, sambil menggenggam tangan Raya dengan lembut, mencoba untuk memberikan kenyamanan.

Raya terdiam sejenak, namun akhirnya ia mengangguk, merasa ada ketulusan dalam kata-kata Arka. Mereka berjalan masuk ke dalam rumah megah itu, dengan suasana yang lebih tenang dibandingkan sebelumnya. Begitu memasuki ruang tamu, mereka disambut dengan udara sejuk yang datang dari pendingin ruangan, serta aroma pengharum ruangan yang membuat suasana begitu tenang. Rumah itu terasa begitu luas, dengan perabotan yang elegan dan pencahayaan alami yang masuk melalui jendela besar di setiap sudut ruangan.

1
Nunu Izshmahary ula
padahal cuma bohongan, tapi posesif banget 😅
Nunu Izshmahary ula
emang gak kebayang sih se desperate apa kalau jadi Raya, wahhh🥹🙈
Nunu Izshmahary ula
keluarga Raya gaada yg bener 🤧 orang tua yang seharusnya jadi pelindung pertama untuk seorang anak, malah menjadi orang pertama yang memberikan lukaಥ⁠‿⁠ಥ
Nunu Izshmahary ula
raya bego apa gimana sihh 😭 bikin gregetan deh .. lawan aja padahal
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!