Dia meninggal tapi menghantui istri ku.
Ku genggam tangan Dias yang terasa dingin dan Bergetar. Wajahnya pucat pasi dengan keringat membasahi anak rambut di wajahnya. Mulutnya terbuka menahan sakit yang luar biasa, sekalinya menarik nafas darah mengucur dari luka mengangga di bagian ulu hati.
"Bertahanlah Dias." ucapku.
Dia menggeleng, menarik nafas yang tersengal-sengal, lalu berkata dengan susah payah. "Eva."
Tubuhnya yang menegang kini melemas seiring dengan hembusan nafas terakhir.
Aku tercekat memandangi wajah sahabat ku dengan rasa yang berkecamuk hebat.
Mengapa Dias menyebut nama istriku diakhir nafasnya?
Apa hubungannya kematian Dias dengan istriku, Eva?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dayang Rindu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ada yang datang
"Ar, tadi itu ada perempuan." kata Eva, menunjuk batang pohon besar di hadapan mereka, lalu menatap sekitar dengan bingung.
"Aku tak melihatnya, ayo!" Arya menarik tangan Eva segera menuju pondok, dimana aroma jagung panggang tercium harum.
Tak ada pilihan selain menurut, Eva kembali masuk ke dalam gubuk, memakan jagung yang sudah matang dengan gigitan hati-hati.
"Kau tidak makan?" tanya Eva.
"Aku masih kenyang, sudah terbiasa makan sekali hanya di malam hari." jawabnya.
Eva mengangguk, mungkin pria itu sengaja berhemat, mengingat dia tinggal di tengah hutan.
Hanya beberapa saat saja, jagung berukuran besar itu habis meski tak memiliki rasa selain manis alami dari biji-bijinya.
"Aku akan keluar, kau tutup pintunya." titah Arya, mengambil sepotong kayu, dengan ujung runcing.
"Mau kemana?" tanya Eva.
"Berburu." kata Arya.
Eva mengangguk ragu, hanya bisa mengekor di balik punggung tanpa berkata-kata.
"Masuklah, mengapa malah mengikuti ku?" tanya Arya, berbalik dengan wajah datarnya lagi.
"Aku ikut, bukankah ini...." seketika ucapannya berhenti, menatap sekeliling tampak redup, cenderung sudah gelap. Cepat sekali hari berlalu, padahal baru beberapa jam saja.
"Masuklah." titahnya lagi.
"Tapi Ar, aku takut sendirian di dalam sana. Akan lebih baik ikut denganmu saja." kata Eva, namun pria itu menggeleng.
Dia tersenyum tipis lalu berkata dengan tegas. "Tempat paling aman bagimu adalah di dalam sana."
"Ar!" Eva memegangi lengan Arya, sedikit memelas.
"Belum waktunya. Nanti kalau kau sudah siap, aku akan mengajakmu kemanapun aku pergi." kata Arya, menatap wajah Eva penuh misteri.
Eva melepaskan tangan pria itu perlahan, lalu mundur teratur masuk ke dalam gubuk dan segera menguncinya.
"Sudah siap bagaimana maksudnya?" eva bergumam sendiri.
"Sebenarnya, aku ini dimana? Mengapa aku tak melihat jalan yang di lewati manusia?" gumamnya lagi, sejauh dia berjalan bersama Arya mencari Gerry, tak menemukan jalan yang dilewati manusia, padahal Arya tinggal di sana cukup lama. Lalu perempuan itu? Cepat sekali dia menghilang.
"Aku yakin perempuan itu penasaran denganku." gumamnya lagi, menutup gubuk itu rapat-rapat, mengganjal dengan apa saja yang berat, kemudian masuk dalam kamar dan segera menguncinya.
Belum sempat menghempaskan bokongnya di ranjang, suara ranting terinjak terdengar nyaring membuat Eva siaga.
"Arya?" gumamnya tanpa suara. Mencoba mencari celah pada dinding, berusaha melihat keluar sana.
Remang cahaya bulan memantul dari dedaunan yang rimbun, samar tampak seseorang berjalan pelan mengitari pondok itu seperti mencari celah untuk masuk.
Eva terus mengamati sambil memasang telinga lebih tajam. Sekejap sosok itu menghilang mungkin berputar ke arah belakang, namun kemudian kembali pada titik yang sama, yaitu di depan pintu.
"Apa yang dia lakukan? Bukankah sangat mudah jika ingin masuk?" gumam Eva, sambil terus mengawasi.
Sedetik kemudian, sosok yang terlihat itu mengulurkan tangannya ke arah pintu Namun kemudian memekik kecil sambil meniup tangannya.
"Hrggrrrrhhhhh..!"
Eva semakin bergidik ngeri, sosok yang merupakan seorang perempuan itu menggeram.
"Makhluk apa itu?" gumam Eva. Tapi seperti mendengar gumaman Eva yang nyaris tanpa suara, dia menoleh ke arah celah yang kecil, memperlihatkan mata yang menyala, seperti pantulan sinar bulan.
"Argh!" Eva memekik karena terkejut, mundur selangkah dan jatuh ke lantai tanah.
"Grrrrhhmmmmm.. Grrrhhhh." geramannya semakin menjadi.
Lalu terdengar hantaman di dinding beberapa kali, namun makhluk perempuan itu tetap tak dapat masuk, bahkan dia mengeram marah karena terpental jauh.
*
*
*
Meninggalkan Eva yang ketakutan sendirian di dalam gubuk reyot, tak kalah tegangnya dengan Gerry yang kini sedang bersembunyi di kamar milik Rania.
Suara beberapa orang terdengar mendekati rumah panggung itu dengan sorot senter terus kemana-mana.
"Siapa Ran?" tanya Gerry.
"Sepertinya polisi Mas, perutnya buncit, hanya satu yang masih muda." jawab Rania, mengamati dari jendela.
"Ya Allah, semoga mereka tidak menemukan aku." doanya, memejamkan mata di balik pintu kamar Rania.
"Selamat malam Pak!" sapa seorang pria yang berjalan lebih dulu.
Ternyata di bawah ada pak Sumanto, Rania sedikit lega.
"Selamat malam, ada apa?" tanya pak Sumanto dengan wajah datar.
"Kami dari kepolisian pak, mencoba menelusuri orang hilang yang belum juga di temukan. Perintah dari atasan, kami harus menggeledah setiap rumah yang bermukim di sekitar sungai." jawabnya.
Rania menelan ludahnya sendiri, sedangkan Gerry memegangi dadanya, dia sangat cemas.
"Silahkan di geledah." jawab pak Sumanto.
Rania tak menyangka bapaknya akan mengizinkannya, dia sampai ketar-ketir harus bersikap bagaimana.
"Baiklah, terimakasih." dua orang naik keatas, sedangkan yang satunya menggeledah bagian bawah, tempat gudang kopi yang belum di olah.
kedua orang itu menatap sekeliling ruang tamu yang kecil, tak ada apapun yang mencurigakan. Lalu menyorot pada kamar berukuran dua meter, mereka masuk ke dalam sana.
"Bagaimana?" tanya rekannya.
"Kamar bapak tua itu." jawabnya. Karena di dalam hanya ada sarung dan kasur kapuk yang lepek.
"Kamar itu!" tunjuk rekannya lagi.
Keduanya pun melangkah menuju dapur yang bersebelahan dengan kamar Rania.
Kriieeeett!
Berderitlah suara pintu kayu itu.
"Hei! Kalian siapa? Pergi!" teriak Rania, melempari dua orang polisi yang melongokkan kepalanya di ambang pintu. Barang pribadi Rania melayang di wajah kedua pria itu, segitiga dan kacamata yang sudah melar ia lemparkan dengan sengaja.
"Mbak! Mbak! Kami bukan_"
"Maling! Maling! Tolooong!!!" Rania menjerit seraya memegangi kain yang terlilit di dadanya. Dia juga mengacak-acak rambut lurusnya agar terlihat panik.
"Maaf Mbak! Maaf!" teriak seorang polisi muda, kemudian mengajak rekannya segera pergi meninggalkan kamar Rania.
"Bapak! Bapak! Ada maling! Ada orang jahat Pak!" teriak Rania lagi.
"Maaf Mbak! Maaf." kedua pria itu menuruni anak tangga dengan tergesa-gesa.
"Apa yang kalian lakukan?" bentak pak Sumanto.
"Maaf Pak, kami tidak tahu jika ada anak gadis anda di dalam kamar. Dia_" polisi muda itu menggantung ucapannya.
"Dia apa?" tanya pak Sumanto.
"Dia sedang ganti baju." jawabnya, tak sadar jika sebuah kaca mata yang sudah melar dan tak layak pakai masih menggantung di leher rekannya.
"Kau apakan anak ku?" Pak Sumanto menarik baju polisi yang sejak tadi tegang tanpa kata.
"Tidak Pak, saya tidak_"
"Ini apa?" tanya Sumanto, menunjuk kacamata bertali masih menjuntai di lehernya.
"ini, anak anda tadi melempar kami Pak!" jawabnya bersungguh-sungguh.
"Maaf pak, kami tidak bermaksud mengganggu ketenangan Anda dan anak anda." seorang senior yang tadi memeriksa di bawah kemudian memilih pamit.
"Hem!" pak Sumanto menatap tajam kepada tiga orang tersebut.
Sedangkan di atas, Rania menyandar lemas di dinding sambil memegangi dadanya.
"Itu tadi apa?" tanya Gerry, sejak tadi ketakutan, tapi juga sudah tak bisa menahan tawa ketika Rania mengambil harta Karun simpannya di dalam lemari kayu paling bawah.
"Gak usah tanya Mas! Ini taruhannya nyawa tahu?" kesal Rania, kembali memakai kemeja yang tadi di lepasnya.
"Sini, biar aku bantu mengumpulkannya." ucap Gerry, membungkuk.
"Eh! Jangan pegang-pegang." tepis Rania. Memunguti barang pribadinya yang sudah tercecer di lantai, bahkan sampai di ambang tangga.
"Baru tahu, barang ini bisa dijadikan senjata untuk mengusir orang." kata Gerry, mengambil segitiga yang sudah compang-camping di bawah kakinya.
"Aaagghh!" Rania memekik, malu.
bolong dikit aja aku udh ga mo pake, apalagi sampe compang camping..ya Allah tolong /Facepalm/
haaah 😳🙀 #terkejoet
jagung nya sudah matang sudah jd bakwan 🌽🌽😽👍🏻👍🏻
happy writing 🎁🎆
Lusia.. lusiapa siih, sampe seenaknya aja mau bunuh orang kek bunuh nyamuk 🦟/Slight/
Lusia.. lusialan emang 🤭🏃♀️🏃♀️🏃♀️
hais jd tegang nieh a1 bacanya