Di usianya yang baru menginjak 17 tahun Laila sudah harus menjadi janda dengan dua orang anak perempuan. Salah satu dari anak perempuan itu memiliki kekurangan (Kalau kata orang kampung mah kurang se-ons).
Bagaimana hidup berat yang harus dijalani Laila dengan status janda dan anak perempuan yang kurang se-ons itu?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kuswara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
Laila sangat kekurangan orang untuk dapat menyelesaikan pesanannya yang sangat banyak. Sehingga mempekerjakan lagi empat orang sekaligus tentang rumahnya. Memang tidak berat pekerjaannya hanya memasukkan potongan kue ke dalam plastik kue lalu mengepaknya sesuai pesanan.
Teh Yati kini berada di dapur setelah diajari membuat kue oleh Laila. Membantu Teh Linda dan Teh Yayuk yang keteteran.
"Alhamdulillah semakin banyak yang tahu warung Laila." Ucap Teh Yati yang merasakan imbas dari kesuksesan warung Laila.
"Pesanan semakin banyak, yang beli datang ke sini pun tidak kalah banyak" timpal Teh Yayuk.
"Rasanya memang enak, di sini baru Laila yang jual kue-kue seperti ini" Teh Linda ikut menyahut.
"Tidak ada yang menyangka Laila akan sesukses seperti sekarang ini." Teh Lidah menyeka sudut matanya. Begitu terharu dengan Laila yang bisa berjuang sampai titik ini. Walau tidak bisa dipungkiri ini semua ada campur tangan Tuhan melalui Arman.
Teh Yayuk dan Teh Yati juga ikut terharu, mereka ikut menitikkan air mata.
Di rumah sederhana Laila sudah penuh dengan orang-orang yang membantunya. Pesanan yang masuk setiap harinya semakin banyak, mulai datang dari kampung satu desa sampai kampung satu kecamatan.
"Saya ke sananya sendiri. Teh Linda dan Teh Yayuk di sini saja. Membantu saya di sini."
"Nanti yang bantu kamu di sana siapa?." Teh Linda sangat khawatir.
"Ibunya Pak Arman sudah menyediakan orang untuk membantu saya."
"Oh begitu."
"Iya."
"Tapi kepegang tidak, Laila?. Ada banyak yang dipesan sama Ibunya Pak Arman."
"Insya Allah bisa, Teh."
"Baiklah, Laila."
"Papan kamu akan ke sana?."
"Besok, Salwa izin hampir dua minggu." Laila tersenyum.
"Mau bagaimana lagi, kamu tidak mau menitipkan anak-anak sama kami di sini."
"Tidak apa-apa Teh, saya bawa saja mereka supaya saya juga merasa tenang."
Seperti biasa mereka menerima pesanan sampai jam lima sore.
Malam harinya Laila bersiap, mengsmas beberapa pakaian untuknya dan kedua anaknya..Seminggu bukan waktu yang lama tapi tidak pula singkat. Apalagi dirinya terlibat dalam pesta pernikahan Arman dan Inggit.
*****
Arman datang menjemput Laila, barang-barang Laila sudah masuk ke dalam bagasi. Pun dengan kedua anaknya yang kemudian disusul oleh mereka.
"Ke tempat Dr. Damar dulu 'kan?."
"Iya."
"Kamu bisa menggunakan kamar yang kemarin selama tinggal di Bandung."
"Tidak jadi di ruko?."
"Membuat kue memang di sana tapi kamu tidur di rumah Mama."
"Apa tidak memakan waktu kalau saya harus bolak balik? Kan lebih efisien kalau saya tinggal di ruko."
"Mama maunya seperti itu. Aku hanya menyampaikan saja. Nanti coba kamu bicara lagi sama Mama."
Laila terdiam, pasti dirinya tidak akan bisa menolak karena alasan di ruko tidak ada yang menemani. Lagi pula dirinya ke sana untuk bekerja bukan untuk mencari teman.
Salwa masuk ke dalam ruangan Dr. Damar. Kedua orang beda kelamin dan beda generasi itu bercerita banyak hal di dalam sana. Hal kecil pun tidak ada yang terlewat oleh Salwa. Termasuk perjalanan mereka sekarang ini yang akan langsung pulang ke rumah Arman.
Setelah Salwa keluar, kini giliran Laila yang masuk ke dalam ruangan Dr. Damar karena laki-laki itu yang memintanya. Untuk mengevaluasi hasil pertemuannya dengan Salwa.
"Apa ada keluhan lagi dari gurunya setelah Salwa mengikuti terapi psikologis?."
"Alhamdulillah tidak ada, Salwa sudah bisa menjaga jarak dengan anak laki-laki. Berteman masih, tapi normal tidak ada dekat-dekat atau bagaimana-bagaimana."
Dr. Damar mengangguk-anggukan kepala. "Saya akan tetap memberikan terapi sampai selesai meski sekarang sudah sangat bagus perkembangannya."
"Iya, tuntaskan saja terapi psikologisnya supaya Salwa sembuh dan bisa melindungi diri sendiri."
"Oke, semoga kamu dan anak-anak selalu diberi kesehatan."
"Aamiin."
Laila pamit dan keluar dari ruangan Dr. Damar kemudian mereka menaiki mobil menuju rumah kedua orang tua Arman.
Di tengah perjalanan, Arman menoleh ke kursi belakang di mana anak-anak sedang membaca buku cerita yang dihadiahkan Dr. Damar.
"Di rumah sudah ada lagi yang bantu?."
"Alhamdulillah sudah banyak, Teh Linda, Teh Yati sama Teh Yayuk kewalahan. Jadi nambah orang lagi."
"Kamu tahu siapa mereka?."
"Tahu, orang-orang yang dulu meng-ghibah kita." Laila tertawa pelan.
"Tapi alhamdulillah sekarang mereka sudah baik dan bisa diandalkan untuk urusan pekerjaan."
"Syukurlah, takutnya mereka membuat masalah."
"Insya Allah tidak."
Mobil Arman sudah berhenti di depan rumah. Sambil melepas sabuk pengaman tatapannya tidak lepas dari laki-laki yang sedang memeluk Mamanya.
"Bang Refal" gumam Arman sangat pelan namun masih bisa di dengar oleh Laila. Tapi Laila tidak mengatakan apapun.
Kemudian mereka turun dan kedua anak perempuan Laila langsung menghampiri Mama Astuti lalu menyalaminya.
"Baba" panggil Salwa dan Halwa saat melihat wajah Refal, Abangnya Arman.
"Siapa Baba?." Tanya Mama Astuti yang kemudian menatap Laila yang mendekat bersama Arman.
"Assalamualaikum, Bu."
"Waalaikumsalam, Laila."
"Pasti kamu dan anak-anak sangat lelah. Kalian bisa langsung istirahat di kamar."
"Baik, terima kasih banyak, Bu." Laila pun segera membawa anak-anaknya menuju kamar. Karena sepertinya ada yang harus mereka bicarakan sebagai keluarga.
Benar saja, selepas Laila pergi. Arman dan Refal saling berpelukan.
"Bang Refal."
"Arman."
Mama Astuti pun terharu sampai menangis. Kedua anak laki-lakinya tetap saling menyayangi walau mereka mencintai satu perempuan yang sama.
Mama Astuti ikut memeluk kedua jagoannya.
"Mama sayang sama kalian."
"Kami juga sangat sayang sama Mama" ucap keduanya.
Mereka pun masuk ke dalam ruang keluarga. Duduk santai di sana sampai-sampai Inggit tidak berani ikut duduk di sana. Perempuan itu lebih memilih melihat mereka dari kejauhan.
"Abang kamu pulang diantar dokter Sari. Katanya sudah sembuh tapi kalau ada apa-apa bisa menghubungi langsung dokter Sari." Ucap Mama Astuti.
"Aku senang Bang Refal sudah sembuh."
"Iya, aku minta bantuan Mama Papa juga untuk selalu mengingatkan aku. Kamu juga harus mengawasiku, jangan sungkan untuk menegurku."
"Oke, Bang."
"Anak perempuan yang tadi datang bersamamu kenapa memanggilku Baba?."
"Salwa, aku juga tidak tahu. Tapi setahuku sebutan Baba itu untuk Ayahnya."
"Apa aku mirip dengan Ayahnya?."
"Entahlah, aku juga belum pernah melihatnya karena sudah meninggal dunia."
"Innalillahi wa inna Ilahi raji'un."
"Tapi itu sudah lama."
"Ibunya masih sangat muda."
"Iya."
"Cantik ya, Ma?."
"Laila memang cantik karena sederhana."
"Betul, itu yang mau aku katakan."
Arman hanya diam saja, tidak ikut masuk dalam obrolan mengenai Laila. Kemudian Arman pamit ingin merebahkan tubuh lelahnya.
Arman melintas di depan kamar yang ditempati Laila. Diam sejenak menatap daun pintu itu dan Laila keluar dengan handphone yang menempel pada daun telinga.
"Apa sudah selesai masalahnya?."
"Berikan saja nomor handphone pembelinya biar saya hubungi." Laila pun mengakhiri obrolan melalui handphonenya.
"Ada apa?."
"Ada pembeli yang tidak mau membayar."
"Pelanggan atau pembeli baru?.
"Pembeli baru."
"Berapa?."
" 2 jt lebih."
Bersambung....
ayo Arman gercep nanti Laila dilamar orang lain
ditunggu Kaka othor up nya