SUDAH TERBIT CETAK
Cinta bertepuk sebelah tangan Anja mempertemukannya dengan Cakra, siswa paling berandal di sekolah.
Hati yang terluka bertemu dengan apatis masa depan akhirnya berujung pada satu kesalahan besar.
Namun masalah sesungguhnya bukanlah hamil di usia 18 tahun. Tetapi kenyataan bahwa Cakra adalah anak panglima gerakan separatis bersenjata yang hampir membuat papa Anja terbunuh dalam operasi penumpasan gabungan ABRI/Polri belasan tahun silam.
Beautifully Painful.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sephinasera, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32. Butiran Debu (3)
Cakra
Ia masih sempat menengok ke belakang guna melihat Anja yang sedang tergolek lemah di dalam rengkuhan seorang pria bertubuh tegap ketika dua orang berbadan kekar yang tadi sempat memukulinya mendorong punggung dan kepalanya dengan kasar agar segera keluar dari dalam kamar.
"JALAN!"
Dengan tangan yang terikat di belakang punggung, ditambah borgol yang terasa dingin ketika menyentuh kulit dan sakit yang menggigiti pergelangan tangan, ia berjalan dengan tersuruk-suruk menuju mobil hitam yang telah menunggu di depan lobby hotel. Diikuti dengan bisikan beberapa pegawai dan pengunjung hotel yang ia lewati.
"Penggrebekan narkoba ya, Pak?"
"Pengedar apa pemakai nih Pak Pol?"
"Ih, cakep-cakep tapi pemakai! Amit-amit!"
"Iya, tangkepin aja Pak. Daripada jadi sampah masyarakat!"
Ia baru hendak menunduk untuk memasuki mobil yang pintunya telah terbuka lebar ketika orang yang berjalan di belakangnya tiba-tiba memukul tengkuknya dengan lumayan keras.
"MASUK!"
Ia yang tak mampu melawan hanya bisa menghela napas. Sembari diam-diam berdoa di dalam hati, semoga ia sanggup melewati malam panjang ini.
Tak lama berselang, mobil mulai meluncur ke jalan raya, membelah pekat dan dinginnya pagi dini hari ibukota Jakarta. Ia duduk di bangku kedua, diapit oleh dua orang yang tadi memukulinya. Orang bertubuh kekar dan berwajah sangar yang lebih pantas disebut sebagai penjahat sungguhan daripada seorang Reserse (polisi rahasia). Apalagi dengan tampilan rambut gondrong dan tatto gambar laba-laba di tangan kirinya. Sekilas ia merasa sedang diculik oleh komplotan John Dei, yang kasus penyerangannya beberapa waktu lalu sempat menjadi headlines news selama berhari-hari di televisi nasional.
Namun begitu mobil yang mereka tumpangi menjauh dari hotel, suasana akrab dan kekeluargaan mulai menyeruak. Empat orang reserse, dua duduk di depan, dua lagi di tengah mengapit dirinya, saling melempar candaan dan mengobrol seperti layaknya orang pada umumnya. Jauh dari kesan angker yang ditampilkan.
Orang yang duduk di sebelah kiri pengemudi bahkan sambil mendendangkan lagu dangdut yang sedang hits, disusul tawa tiga rekan lainnya. Sementara ia hanya bisa diam dengan perasaan gamang, seperti terdakwa yang tengah menanti vonis hukuman mati dari hakim.
"Jadi reserse itu berat," ujar pengemudi mobil sedikit menengok kearahnya. "Tekanannya besar, nyawa taruhannya."
"Jadi kalau habis operasi ya begini ini, melepas ketegangan," lanjut pengemudi mobil yang mulai detik ini juga, ia anggap sebagai polisi paling keren karena sudi mengajaknya bicara -dengan baik-baik- sementara dua rekan lainnya lebih memilih untuk membentak dan memukulinya.
"Lu masih sekolah apa kuliah?!" tanya orang di sebelah kiri yang tadi menodongkan senjata laras panjang ke wajahnya. Nada suaranya tak lagi membentak seperti saat di kamar tadi. Meski begitu aura mengancam masih terpancar jelas.
"Sekolah," jawabnya dengan sedikit meringis karena bibir yang pecah dan berdarah akibat dipukuli tadi terasa pedih ketika dipakai untuk berbicara.
"Lu be go apa nggak ngotak?!" desis si senapan panjang sambil mengejek. "Lain kali kalau mau bawa kabur cewek lihat dulu background keluarganya!"
Ia hanya diam tak mengerti.
"Udah berapa cewek yang lu tipu dan bawa kabur?!" tanya yang duduk di sebelah kiri pengemudi di sela-sela senandung lagu dangdutnya.
"Lu lagi sial pastinya! Salah pilih mangsa!" sahut yang duduk di sebelah kanannya sambil tertawa, lagi-lagi dengan nada mengejek.
"Siap-siap aja lu!" tambah si senapan panjang tak kalah mengejek.
"Kamu tahu siapa cewek yang kamu bawa kabur?" tanya pengemudi mobil dengan nada suara paling enak didengar.
"Bukan dibawa kabur, Pak," ia berusaha menjelaskan sambil menahan pedih, karena tiap kali berbicara, ia merasa luka sobek di bibirnya justru semakin melebar.
"Maling mana mau ngaku!" orang yang duduk di sebelah kanannya mendadak tergelak.
"Dia teman sekolah saya," lanjutnya sambil terus berusaha menerangkan duduk perkaranya. Siapa tahu bisa menyelamatkan dirinya dari hal buruk yang kini menghantui pikiran.
"Lho, kalau teman sekolah harusnya tahu dong dia itu siapa?" pengemudi mobil terheran-heran.
Ia baru hendak bertanya, memang siapa Anja? Ketika mobil yang ia tumpangi menyalakan lampu sign kemudian berbelok ke kanan, memasuki halaman sebuah gedung perkantoran yang catnya didominasi oleh warna cokelat, warna khas korps aparatur negara yang memiliki semboyan memberikan pengayoman kepada masyarakat.
Perjalanan sejauh kurang lebih 8 km ternyata bisa ditempuh hanya dalam kurun waktu kurang dari 15 menit karena jalanan yang masih lengang.
Mobil yang ia tumpangi menjadi mobil kelima yang parkir di halaman. Begitu keluar, ia langsung disuruh duduk jongkok seperti puluhan orang lainnya yang telah jongkok terlebih dahulu.
"Ikuti yang di depan," ujar pengemudi mobil memberitahunya.
Seorang petugas mengatur mereka menjadi dua barisan. Dan dengan tangan terborgol di belakang punggung, sama seperti yang lain, ia pun mengikuti barisan paling depan mulai memasuki gedung dengan cara berjalan jongkok.
Mungkin karena sekarang adalah dini hari, jadi petugas tak melakukan pendataan. Petugas langsung mengarahkan mereka untuk melewati sebuah lorong panjang dengan ruang-ruang kantor di kanan kirinya, menuju bagian belakang gedung. Kemudian menyuruh mereka untuk naik ke lantai dua melalui tangga yang berundak. Ya, tentu, tetap dengan cara berjalan jongkok.
Perjalanan panjang mereka akhirnya bermuara pada sepasang pintu teralis besi berwarna cokelat, yang diatasnya terdapat tulisan berukuran besar dengan warna mencolok berbunyi,
RUANG TAHANAN
Yang Tidak Berkepentingan
DILARANG MASUK!
Kecuali Petugas Jaga Tahanan
Bunyi derit pintu yang dibuka dengan cepat berhasil memecah kesunyian, bersamaan dengan dua orang petugas yang memerintahkan mereka untuk masuk sebaris terlebih dahulu.
Ia yang berada di baris kedua, masih harus menunggu deretan baris pertama selesai melewati pintu teralis besi yang terlihat begitu mengintimidasi itu. Saat itulah orang yang ada di belakang menyikut punggungnya pelan.
"Lu siapa?" dengan nada ingin tahu.
"Gua nggak pernah lihat lu," bisik orang di belakangnya lagi. "Tadi ikut kena grebek di Kedoya?"
"Anak buah siapa lu?"
Ia hanya bisa merespon dengan mengangguk lalu menggeleng kemudian mengangguk lagi. Sebelum akhirnya berkata, "Salah paham, Bang."
"Mam pus lu! Sial banget!" desis orang yang dibelakangnya dengan mimik prihatin yang terlihat tulus.
"JANGAN NGOBROL!" bentak si senapan panjang yang tiba-tiba lewat di sampingnya, berjalan cepat memasuki sepasang pintu teralis besi untuk kemudian bercakap-cakap dengan petugas yang ada di dalam sambil menunjuk-nunjuk kearahnya.
Setelah menunggu sekitar 15 menit, barisan di depannya mulai bergerak memasuki sepasang pintu penuh intimidasi itu.
Meski telah berada di dalam, ia masih tetap harus berjalan jongkok melewati meja panjang yang lagi-lagi berwarna cokelat di sebelah kanan, dengan deretan whiteboard berukuran besar yang berisi berbagai macam tulisan dan keterangan di belakangnya.
Petugas mengarahkan mereka untuk berjalan ke sebelah kiri, dimana terdapat tembok berkeramik putih dengan beberapa sekat yang bertuliskan tak kalah besar dan mencolok,
RUANG BESUK TAHANAN
Mereka masih harus terus berjalan, melewati lorong bercat putih tulang dengan deretan pintu teralis besi warna cokelat di sebelah kanan, yang tiap jarak temboknya menempel whiteboard ukuran sedang, bertuliskan nama dan keterangan para penghuninya.
Ia sempat membaca yang paling atas,
1. Abcd, titipan, pembunuhan dan pemerkosaan.
Entah mengapa sontak membuat bulu kuduknya tiba-tiba merinding. Namun ia tak sempat memikirkan hal lain, karena orang yang berbaris di depannya telah masuk ke dalam salah satu sel.
"Ikuti gua!" bentak si senapan panjang tiba-tiba ketika ia hendak mengikuti baris di depannya memasuki sel.
"Jalan! Nggak usah jongkok!" bentak si senapan panjang lagi.
Membuatnya sedikit bernapas lega karena tak harus merasakan pegalnya berjalan jongkok lebih lama.
Setelah membuka borgol, si senapan panjang kemudian memasukkannya ke dalam ruangan yang berbeda dengan orang-orang yang tadi berjalan jongkok di depannya. Ia masuk ke sebuah sel kecil, berukuran sekitar 30 m2, yang berisi puluhan orang yang tengah tertidur lelap di kedua sisi tembok, dengan hanya beralaskan kasur tipis atau bahkan kain sarung dan kardus bekas.
Ketika si senapan panjang menutup dan mengunci pintu teralis besi, matanya menangkap sebuah ruangan kecil tak berpintu di salah satu sudut, dan itu adalah kamar kecil alias toilet. Menyatu di dalam ruangan.
Ia yang merasa sedang bermimpi indah pergi berdua ke pasar malam bersama Anja. Menikmati keriaan malam dengan menyicipi bermacam jajanan dan makanan, kini tiba-tiba harus terhempas ke dalam ruangan asing yang hanya bisa melihat dinding, teralis besi, dan orang-orang yang tidur bergelimpangan. Tak ada jendela, tak ada matahari, pengap, panas, sekaligus penuh ancaman.
Ia memilih untuk duduk menyandar di pintu teralis besi, sengaja menjaga jarak dengan penghuni lain yang masih terlelap. Selain tak ingin menggangu, ia juga merasa tidak yakin dengan apa yang sedang dialami.
Meski lelah dan mengantuk, setelah berjalan jongkok sepanjang dua lantai gedung, matanya tak kunjung terpejam. Justru nyalang menekuri lantai keramik berwarna putih yang sedikit kekuningan di luar teralis.
Beginikah rasanya dipenjara?
Waktu ia masih kecil, sebelum masuk SD, tiap malam menjelang tidur Mamak selalu memberinya dongeng tentang kehebatan Ayah. Bagaimana keberanian Ayah membela kebenaran dan keadilan. Memperjuangkan hak dan kepentingan sesama warga. Hingga akhirnya dituduh melawan aparat, hukum, dan negara. Membuat Ayah sering keluar masuk penjara. Waktu kecil ia tak pernah bisa membayangkan bagaimana rupa penjara, dan keadaan di dalamnya.
Namun kini, hampir lima belas tahun kemudian, ia bahkan bisa merasakan sendiri bagaimana dingin dan menakutkannya terperangkap di dalam dinding penjara.
Ya, Cakradonya Ishak, darah daging Hamzah Ishak si pahlawan sekaligus pengkhianat bangsa. Dipenjara bukan karena membela kebenaran dan keadilan yang bertentangan dengan kekuasaan. Dipenjara bukan karena keheroikannya membela kepentingan orang banyak. Tapi ia, dipenjara hanya karena seorang gadis.
Menyedihkan.
Mungkin di alam barzakh ayahnya sedang menangis pilu demi mengetahui kebodohan yang dilakukannya saat ini.
"Ngapain lu bisa masuk kesini?!" sebuah suara berat mengagetkannya.
Ketika menoleh, seorang berbadan besar dengan muka sangar telah berdiri tepat di belakangnya.
"Salah paham, Bang."
"Salah paham apa?! Narkoba?!"
Ia menggeleng.
"Maling?!"
Lagi-lagi ia menggeleng.
"Salah paham aja, Bang," jawabnya memberanikan diri.
Membuat si badan besar bosan, tak lagi mencecar alasan ia bisa dipenjara. Dan lebih memilih untuk melakukan hal lain seperti, "Baju lu bagus!"
Ia memandangi kaos lengan pendek warna navy bertuliskan Champions entah hadiah dari siapa yang kini sedang dipakainya.
"Buka!" perintah si badan besar setengah membentak. "Tukeran sama punya gua!"
Tanpa menunggu ia langsung membuka kaos dan segera bertukar dengan si badan besar. Sebuah pertukaran yang merugikan karena sekarang ia harus mati-matian menahan napas karena kaos dekil dengan leher yang telah belel melar tak karuan itu menguarkan bau yang amat menyengat.
"Copot sepatu!" perintah si badan besar lagi sambil menunjuk sepatunya.
Ia pun langsung mencopot sepatu kanvas -butut- yang tengah dipakainya, dan langsung menyerahkan pada si badan besar. Namun sedetik kemudian dikembalikan lagi dengan wajah tak berminat.
"Sepatu lu sobek! Gua nggak doyan!"
***
Anja
Ia terbangun karena merasa ada orang yang sedang mengusap-usap tangannya dengan lembut. Setelah sekian menit berusaha keras menghalau kepala berat dan pegal di sekujur tubuh, mata berkunang-kunangnya melihat Dipa tengah duduk di samping tempat tidurnya dengan wajah bersedih.
"Anja?" seulas senyum muncul di bibir Dipa saat melihat matanya terbuka.
Ia yang masih merasa bingung dengan apa yang sedang terjadi balas tersenyum. Sungguh menyenangkan bisa melihat wajah tampan Dipa saat bangun tidur begini. Ataukah ia sedang bermimpi?
Namun ketika ia berusaha menggerakkan tangan kanan yang terasa pegal, sebuah gigitan di punggung tangan terasa menyengat.
"Aw," desisnya kaget ketika menyadari ada jarum dan selang infus yang menempel di punggung tangan kanannya.
"Kenapa gue diinfus?" tanyanya heran.
"Kata Mas Tama lo pingsan," jawab Dipa sambil terus mengusap tangan kirinya lembut.
"Pingsan?" ia mengernyit semakin heran. "Kenapa pingsan?"
Namun sedetik kemudian ingatannya mendadak pulih kembali. Ia pingsan saat melihat Cakra dipukul oleh orang berbadan kekar berwajah sangar yang tiba-tiba mendobrak masuk ke dalam kamar mereka, disusul kemunculan Mas Tama di depan pintu dengan wajah cemas.
My, God!
Cakra?
"C-ca....," ia mendadak menghentikan kalimatnya sendiri begitu menyadari yang sedang duduk di samping adalah Dipa, bukan Cakra.
"Iya, Ja?" Dipa menjawab lembut sambil terus mengusapi tangan kirinya. "Lo mau apa ntar gue ambilin."
Ia menggeleng keras-keras, "Mas Tama mana??" tanyanya dengan napas memburu.
"Udah pulang ke Surabaya pagi tadi pas lo abis diperiksa dokt...."
"Pulang ke Surabaya?!?" pekiknya setengah histeris.
Terus kalau Mas Tama sudah pulang ke Surabaya, nasib Cakra bagaimana?!?
No no no.
"Iya, Ja. kenapa?" Dipa mengernyit heran.
"Lo nggak usah khawatir," sambung Dipa masih dengan nada suara lembut. "Ada gue disini."
"Gue bakal nemenin elo tiap hari, sampai lo sehat dan bisa sekolah lagi," ujar Dipa sambil mengacungkan dua jari telunjuk membentuk huruf V, victory.
"Gue nggak akan ninggalin lo sendiri, Ja," lanjut Dipa sambil merapikan rambutnya yang berantakan menutupi kening.
Tidak, tidak, tidak.
Mas Tama nggak boleh pulang ke Surabaya secepat ini. Mas Tama harus memberitahu keberadaan Cakra saat ini padanya. Jangan sampai Mas Tama menjebloskan Cakra ke dalam....
No no no.
"L-lo lihat ponsel gue?" tanyanya dengan suara bergetar karena marah.
Dipa memanjangkan leher untuk mencari letak ponselnya. Dipa bahkan berdiri dan berjalan ke tiap sudut kamarnya untuk mencari ponsel dengan lebih teliti. Namun tetap tak ketemu.
"Nggak ada," ujar Dipa sambil mengangkat bahu.
Ia hampir berteriak marah ketika tiba-tiba teringat sling bag yang dipakainya saat pergi ke pasar malam.
"Lo lihat tas gue nggak? Yang warna putih?" tanyanya cepat. "Kayaknya ponsel gue ada disana."
Dipa mengangkat sling bag warna putih yang dimaksud dari atas meja belajar, "Ini?"
Ia mengangguk gembira, "Tolong ambil ponsel gue di dalam."
Dipa menurut, tapi sedetik kemudian berkata, "Mati. Batrenya abis."
Membuatnya merengut kesal. Sialan. Lagi genting begini malah habis batre.
"Gue charge ya," tawar Dipa. "Dimana chargernya?"
Ia pun buru-buru menunjuk kotak transparan yang tersimpan di rak meja belajarnya, "Disana."
"Oke," Dipa mengangguk dan segera mengecharge ponselnya.
"Sambil nunggu, elo mau makan apa?" tanya Dipa sembari tersenyum yang kini telah kembali duduk di samping tempat tidurnya.
"Tadi Bi Enok udah masak bubur ayam. Mau gue suapin ya?"
Ia mengangguk setuju, karena memang perutnya terasa lapar dan tenggorokannya sedikit sakit.
Dipa tersenyum senang, "Gue ambil buburnya dulu ke dapur. Biar masih hangat."
Ia mengangguk sembari tersenyum, "Makasih Dip."
"I'll be right back," seloroh Dipa sebelum menutup pintu kamarnya.
Sepeninggal Dipa ke dapur, ia bermaksud membetulkan letak selang infus yang sepertinya agak melintir, ketika tangannya tak sengaja menyentuh sesuatu yang halus dan lembut di atas bantal.
Nemo.
Dengan cepat diraihnya boneka berwarna orange itu, kemudian dipeluknya erat-erat. Bayangan bagaimana ia bisa mendapatkan Nemo kembali berputar di dalam kepalanya.
"Iya dong," jawab Cakra bangga. "Dua pertama buat latihan. Dua selanjutnya buat the real battle. Satu lagi cadangan."
"Ngambil boneka doang pakai latihan segala," cibirnya tak percaya.
"Practice make perfect," jawab Cakra lagi sambil tersenyum lebar.
Perlahan tanpa disadari, ingatannya membuat mata mulai memanas.
"The last," ujar Cakra yang tersenyum miring sambil mengacungkan koin terakhir.
"Nggak dapat juga nggak papa," sungutnya sambil membuang pandangan kearah lain. "Cuma game ini. Lagian tadi kamu kan ud...."
GLODAK!
Sebuah suara keras mengejutkannya. Disusul dengan Cakra yang membungkuk untuk mengambil sesuatu dari kotak keluar.
"Tadaaaaa," kini Cakra tengah melambai-lambaikan boneka ikan Nemo berwarna oranye dengan garis putih tepat di depan matanya.
"Dapatnya ini nggak papa kan?" tanya Cakra sambil mengangsurkan boneka Nemo padanya.
Kini ia bahkan telah menangis terisak-isak dengan hati pedih sambil memeluk erat Nemo.
Cakra, kamu dimana sekarang?
Semoga semua baik-baik saja.
udah aku wakilin tuh Ja 🤭🤭
ayo mas Tama cepetan nongol keburu disalip duluan 🤭