ongoing
Tian Wei Li mahasiswi miskin yang terobsesi pada satu hal sederhana: uang dan kebebasan. Hidupnya di dunia nyata cukup keras, penuh kerja paruh waktu dan malam tanpa tidur hingga sebuah kecelakaan membangunkannya di tempat yang mustahil. Ia terbangun sebagai wanita jahat dalam sebuah novel.
Seorang tokoh yang ditakdirkan mati mengenaskan di tangan Kun A Tai, CEO dingin yang menguasai dunia gelap dan dikenal sebagai tiran kejam yang jatuh cinta pada pemeran utama wanita.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon frj_nyt, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#14
Wei Li baru sadar tangannya dingin saat gelas kopi di depannya bergetar pelan. Bukan karena AC. Tangannya sendiri yang gemetar.
Ia duduk di kursi kafe kecil dekat kampus elit tempat ia dalam identitas Lu Xian Yue kadang muncul buat “menjaga citra”. Kafe ini mahal, bersih, wangi kopi asli, dan dipenuhi orang-orang yang tidak pernah memikirkan harga makan siang. Wei Li melipat kedua tangannya, jari-jarinya saling mengunci kuat. Ia menunduk, menatap pantulan wajahnya di permukaan kopi hitam.
Tenang, katanya ke diri sendiri. Belum kejadian apa-apa. Tapi tubuhnya bohong. Sejak pagi, rasa diawasi itu nempel terus. Seperti ada mata di belakang kepala. Seperti setiap langkahnya dicatat. Ponselnya bergetar. Bukan pesan. Telepon. Dari nomor yang ia kenal. “Jae Hyun?” jawab Wei Li cepat.
“anda di mana?” suara Jae Hyun terdengar lebih rendah dari biasanya. “Kafe dekat kampus. Kenapa?” Ada jeda. Terlalu lama. “nyonya” kata Jae Hyun akhirnya, “anda sendirian?” Wei Li refleks menoleh ke sekeliling. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal, lalu mengangguk kecil meski lawan bicaranya tidak melihat. “Iya.”
“Keluar,” kata Jae Hyun cepat. “Sekarang.” Nada suaranya bukan panik. Lebih buruk dari itu masih terkendali, tapi tegang. “Kenapa?” Wei Li berdiri. Kursinya berderit pelan.
“Kita kehilangan jejak satu mobil pengawal,” jawab Jae Hyun. “Dan terakhir sinyalnya… di dekat lokasi anda.” Perut Wei Li langsung mual. “Lo bercanda?” suaranya merendah.
“saya tak pernah bercanda untuk h seperti ini” jelasnya dengan nada serius Wei Li mengambil tasnya. Tangannya sedikit gemetar saat meraih tali tas. Ia berjalan cepat menuju pintu kafe.
“Gue ke luar sekarang,” katanya.
“Jangan naik mobil apa pun,” perintah Jae Hyun. “Jalan ke arah jalan utama. Tetap di tempat ramai.” suruh Jae Hyun nadanya tenang tapi ada kepanikan di kalimat nya. Wei Li mendorong pintu kaca. Udara luar lebih panas, lebih berisik. Suara klakson, langkah kaki, percakapan orang-orang semuanya menabrak indranya sekaligus.
“Jae Hyun,” katanya pelan, “gue ngerasa kayak orang tolol sekarang.”
“anda merasa hidup,” jawab Jae Hyun. “Itu bagus.” celetuk Jae Hyun absurd. Wei Li melangkah menyusuri trotoar. Tangannya masuk ke saku jaket, menggenggam ponsel kuat-kuat. Ia mencoba berjalan normal, meski jantungnya berdebar tidak karuan. Ada langkah di belakangnya.
Satu.
Dua.
Ia tidak menoleh. “Kita hampir sampai,” suara Jae Hyun terdengar di telinganya. “Jangan berhenti.” Wei Li mengangguk kecil, meski tenggorokannya kering. Tangannya mengusap lengan kiri, mencoba menenangkan diri. Tiba-tiba—
Seseorang menabraknya dari samping. “Eh, maaf—” Wei Li refleks mundur. Tasnya hampir jatuh. Ia mendongak. Pria itu memakai topi, wajahnya biasa saja. Terlalu biasa. “Maaf,” kata pria itu lagi, lalu berjalan pergi. Wei Li berdiri kaku.
Ada sesuatu yang salah. Ia menurunkan pandangan ke lengannya. Ada rasa perih kecil. Ia menarik lengan bajunya sedikit. Goresan tipis. Darah hampir tidak terlihat, tapi cukup untuk membuat jantungnya jatuh ke perut. “Jae Hyun,” katanya pelan, hampir berbisik. “Gue kena.”
“Apa?” suara Jae Hyun langsung berubah. “Goresan. Kecil,” jawab Wei Li. “Kayaknya… peringatan.”
“Jangan sentuh nyonya,” kata Jae Hyun cepat. “Jangan di apa-apain. Terus jalan saja.” pinta Jae Hyun. Wei Li mengangguk, napasnya mulai pendek. Tangannya mengepal, kukunya menusuk telapak tangan. Ia merasa bodoh. Ini baru ancaman, pikirnya. Bukan serangan penuh. Dan itu justru lebih menakutkan.
Mobil hitam berhenti di pinggir jalan beberapa meter di depan. Pintu belakang terbuka. Wei Li hampir lari. ternyata itu mobil Jae Hyun. Ia masuk, pintu langsung tertutup. Mobil melaju cepat. Baru saat itu ia sadar napasnya berantakan. Bahunya naik turun. Ia menyandarkan kepala ke kursi, menutup mata sebentar.
“Gila,” gumamnya. Jae Hyun duduk di seberangnya. Wajahnya pucat, rahangnya mengeras. “anda baik-baik aja?” tanyanya. Wei Li membuka mata. “Masih hidup.”
“Itu cukup untuk hari ini,” jawab Jae Hyun. Beberapa menit kemudian, mobil berhenti di mansion. Kun A Tai sudah menunggu. Begitu Wei Li turun, tatapannya langsung tertuju pada lengan Wei Li. Matanya mengeras.
“Apa itu?” tanyanya. Wei Li menarik napas. “Goresan. Seseorang nabrak ku tadi” Kun A Tai mendekat. Terlalu dekat. Ia meraih lengan Wei Li tanpa minta izin. Wei Li menegang refleks. “Hei—”
“Diam,” kata Kun A Tai singkat. Ia menatap luka kecil itu. Wajahnya datar, tapi ada sesuatu yang bergerak di rahangnya. “Pisau mikro,” katanya pelan. “Bersih, ini Sengaja.”
Wei Li tertawa kecil, tapi suaranya kosong. “Mereka sopan juga.” Kun A Tai menatapnya tajam. “Ini bukan hal lucu.” Wei Li menghela napas. Tangannya terlepas dari genggaman Kun A Tai. Ia melipat lengannya sendiri, defensif.
“yah saya tau itu,” katanya. “Tapi aku masih di sini.” Kun A Tai menoleh ke Jae Hyun. “Keamanan ditingkatkan. Semua jadwal Wei Li ditunda.”
Wei Li mengangkat kepala. “ehh tunggu—”
“Bukan permintaan,” potong Kun A Tai.Wei Li menatapnya. Ada kelelahan di matanya sekarang. Bukan takut tapi lelah. “kau ingin aku ngurung diri?” tanyanya. Kun A Tai mendekat satu langkah. “akj mau kau hidup.” Keheningan muncul seketika. Wei Li mengusap wajahnya. “hais aku tak suka ini.”
“aku juga tidak,” jawab Kun A Tai.
Malam itu, Wei Li duduk sendirian di kamar. Luka di lengannya sudah dibersihkan. Kecil. Hampir tidak terasa sakit. Tapi rasanya berat. Ia duduk di tepi ranjang, kedua tangan bertumpu di paha. Jarinya menekan kain celana, bergetar pelan. Ini dunia mereka, pikirnya. Dan gue baru masuk halaman pertama. Pintu diketuk pelan.
“Masuk,” katanya.
Kun A Tai masuk, membawa segelas air. Ia meletakkannya di meja. “Minum.” Wei Li mengambil gelas itu. Tangannya menyentuh dingin kaca. “aku tak merasa menyesal,” katanya tiba-tiba. Kun A Tai menatapnya. “hmm aku tau.”
“Tapi aku juga tak sebodoh itu,” lanjut Wei Li. “aku tau kapan harus pelan.” Kun A Tai mengangguk. “Bagus.”
Wei Li menatapnya. aku akan mundur kalau ini semakin kotor?”tanya Wei Li wajahnya tak bisa di deskripsi kan. Kun A Tai diam sejenak. Lalu berkata, “Dunia ini seudah kotor sejak awal.”
Wei Li tersenyum tipis. “Jawaban seorang CEO.” Kun A Tai membalas dengan senyum tipis juga. “Jawaban orang yang sudah lama hidup di neraka.” Keheningan kembali datang. Kali ini tidak menekan. Wei Li meneguk air. Tangannya sudah tidak gemetar lagi. “Ternyata,” katanya pelan, “aku tak sekedar mebaca novel ini.”
Kun A Tai menatapnya. “ya kau hidup di dalamnya sekarang.” Wei Li mengangguk. Dan jauh di luar sana Seseorang menandai namanya.bBukan lagi sebagai pengamat. Tapi sebagai ancaman.