Berada di titik jenuh nya dalam pekerjaan Kania memutuskan resign dari pekerjaan dan menetap ke sebuah desa. Di mana di desa tersebut ada rumah peninggalan sang Kakek yang sudah lama Kania tinggalkan. Di desa tersebutlah Kania merasakan kedamaian dan ketenangan hati. Dan di desa itu jugalah, Kania bertemu dengan seorang, Bara.
13
Desa Ranu Asri sedang sibuk mempersiapkan acara tahunan terbesar: Pesta Panen Raya dan Bazar kerajinan. Pesta panen raya adalah urusan semua warga, Bara serta Laras adalah dua orang yang paling bertanggung jawab di dalamnya, mewakili pemuda dan pendidikan.
Bara bertanggung jawab atas logistik komunitas, koordinasi panggung, dan yang terpenting, penyediaan kopi untuk seluruh acara. Bara sibuk mengurus biji kopi dan mengatur stan.
Sedangkan Laras bertanggung jawab atas koordinasi Bazar kerajinan, pendaftaran, dan pengaturan acara sekolah untuk musik dan tari. Keduanya bekerja sama sepanjang hari, dari pagi hingga larut malam.
Kania menyadari bahwa komitmen Bara pada desa jauh lebih mendesak daripada dirinya. Kania menghabiskan sebagian besar waktu di rumah kakek Tirta, mulai mengerjakan desain untuk ‘akar kencana’ di tablet-nya. Ia mencoba untuk bersabar, tetapi hati kecilnya merasa terabaikan.
Bara selalu lupa memberinya kabar. Saat Kania akan ke kedai Senja Ranu, ia selalu melihat Bara dan Laras sedang berdiskusi serius, kepala mereka berdekatan di meja.
Laras terlihat begitu alami di samping Bara. Bahasa tubuh mereka, dan tanggung jawab mereka begitu sinkron. Kania menyadari, inilah yang dimaksud Laras. Ini adalah kenyataan.
Suatu sore, Kania memutuskan menemui Bara di Kedai. Di sana, Kania melihat Bara dan Laras sedang berdebat tentang daftar peserta.
Kania menyodorkan cangkir ke Bara. ‘’Bara, ini teh hangat. Minumlah selagi panas.’’
Bara hanya melirik sekilas, tangannya sibuk dengan kertas-kertas. ‘’Terima kasih, Kania. Bisa kamu letakkan di sana? Laras, coba cek lagi, apakah Ibu Parman sudah membayar iuran untuk stan kerajinan tangannya?”
Laras langsung menjawab. “Sudah, Bar. Aku sudah catat di buku biru. Tapi kita kehabisan spanduk untuk stan kopi. Aku bisa mengambilkan yang lama di gudang sekolah.”
Kania berdiri di sana selama beberapa detik, memegang cangkir kosong. Bara bahkan tidak menatapnya. Ia merasa tidak terlihat dalam hiruk pikuk hidup Bara.
Kania pergi membawa serta rasa sakit dan cemburu.
Balai Desa di malam hari, dua hari menjelang pesta panen raya. Bara dan Laras masih berada di Balai, bekerja lembur setelah semua warga pulang. Waktu menunjukkan pukul 10 malam. Balai Desa sudah sepi, hanya ada lampu pijar yang remang-remang.
Bara sedang membereskan tumpukan formulir pendaftaran stan, sementara Laras sedang membuat checklist akhir untuk jadwal tari sekolah. Keduanya terlihat kelelahan. Mereka bekerja dalam keheningan yang nyaman, jenis keheningan yang hanya di miliki oleh orang-orang yang sudah lama bekerja sama.
Bara menghela napas panjang. ‘’Akhirnya selesai juga perhitungan kebutuhan air untuk stan kopi. Aku butuh 50 liter air bersih ekstra.’’
Laras tanpa melihat, langsung merespon. ‘’Tambahkan 10 liter lagi. Ibu RT tadi bilang irigasi dekat stan kopi akan di putus sebentar besok pagi. Aku sudah catat di daftar, biar tidak lupa.’’
Bara tersenyum kecil. ‘’Terima kasih, Laras. Kau selalu memikirkan detail yang kulewatkan.’’
‘’Tentu. Kalau tidak, kau akan membuat acara ini berjalan dengan biji kopi, tapi tanpa air.’’ Mereka tertawa pelan, tawa kelelahan.
Bara merosot ke kursi, mengusap wajahnya. Laras menyadari betapa lelahnya Bara. Ia kemudian melakukan tindakan sederhana yang menunjukkan kedekatan yang sudah mendarah daging.
Laras berdiri. ‘’Kau sudah makan malam, Bar? Ibu Wati membawakan opor ayam untukmu.’’
‘’Sudah. Dan aku minum kopi hitam sejak jam 5.”
Laras mengambil termos dan menuangkan teh herbal hangat yang ia bawa untuk dirinya sendiri, dan menyodorkannya ke Bara. ‘’Jangan minum kopi lagi. Ini teh herbal.’’
Bara menerima teh itu. Ia menatap Laras, rasa terima kasih yang mendalam terlihat jelas. ‘’Kau tahu betul apa yang kubutuhkan, Laras.’’
Laras menatap mata Bara. ‘’Tentu. Karena aku sudah mengenalmu lama, Bara.’’ Lalu Laras mengalihkan pandangan. ‘’Aku selesai. Sudah kuberi tanda stabilo untuk detail. Besok kita tinggal cek saja.’’
‘’Baiklah aku akan mengunci Balai. Aku antar kamu pulang.’’
‘’Tidak perlu. Kamu harus segera pulang dan beristirahat. Selamat malam, Bara.’’
Saat Laras berjalan pergi, Bara menatap punggungnya. Ia merasa bersalah—Laras adalah pengingat akan kenyamanan yang ia tinggalkan demi semangat yang ia pilih.
Puncak acara Panen Raya
Balai Desa di penuhi warga dan pengunjung dari desa sebelah. Stan kedai Senja Ranu ramai. Stan kerajinan Laras juga penuh.
Tiba tiba terjadi masalah. Generator listrik Balai Desa mati total. Musik berhenti, lampu dekorasi padam, dan peralatan kopi Bara yang menggunakan listrik mati. Panik melanda. Warga mulai berteriak mencari Pak RT.
Bara dan Laras bereaksi secara cepat, tanpa perlu bicara.
Bara tahu ia harus menjaga pengunjung agar tidak kabur. Ia segera menarik grinder manualnya dan mulai menggiling biji kopi dengan tangan secepat mungkin, sambil berteriak ‘’Tenang! Kami tetap bisa menyeduh kopi! kopi panas masih ada!”
Laras tahu ia harus mengatasi logistik. Ia segera berlari ke tempat kerajinan, berteriak ‘’Jangan panik! Pindahkan semua lilin dan lampu emergency ke panggung! Jadwal tari di majukan 10 menit! Aku akan mencari teknisi di rumah Pak Yono!’’
Laras kembali setelah 15 menit, wajahnya berlumuran keringat dan sedikit debu.
‘’Generatornya tidak bisa hidup! Kabel utama putus! Pak Yono perlu waktu dua jam!”
‘’Dua jam? Kita tidak punya waktu! Laras, cepat ambil semua lilin di gudang! Kita harus membuat api unggun kecil di tengah lapangan untuk penerangan darurat! Dan suruh anak anak karawitan bermain tanpa musik.’’
‘’Baik! Tapi kita butuh orang untuk mengorganisir kerumunan.’’
‘’Aku akan mengurusnya! Kamu yang pimpin untuk api unggun nya.’’
Mereka berlari berlawanan arah, kemampuan Laras untuk segera berpikir praktis dan kemampuan Bara untuk mengambil keputusan cepat di bawah tekanan—begitu alami.
Kania awalnya terpaku. Ia ingin membantu, tetapi ia tidak tahu di mana gudang menyimpan lilin, ia tidak tahu di mana rumah Pak Yono, dan ia tidak mengenal anak anak karawitan.
Kania melihat Bara dan Laras kembali bertemu di tengah kekacauan, saling bertukar instruksi dengan tatapan mata, bahu mereka bersentuhan karena terburu buru. Wajah mereka berlumuran keringat, tetapi mata mereka saling mengunci dengan rasa percaya yang sangat dalam.
Saat Bara berbalik, ia melihat Kania yang terdiam di samping stan. Bara melirik Kania, nadanya cepat dan penuh tuntutan. ‘’Kania! Tolong! Cepat ambilkan senter di laci kasir! Kita butuh cahaya di samping grinder.!”
Kania langsung mengambi. Ia senang bisa berguna, tetapi ia menyadari bahwa ia hanyalah pembantu dalam krisis ini, sementara Laras adalah rekan tempur utama Bara.
Setelah krisis reda dan api unggun menyala, Bara dan Laras berdiri berdampingan. Bara menyandarkan kepalanya ke bahu Laras selama sedetik, sebuah gestur kelelahan yang spontan dan tanpa sadar.
Kania melihat itu. Ia merasa kecewa. Tersenyum getir, menyadari bahwa ia telah memenangkan hati Bara, tetapi Laras memenangkan jiwa tempur Bara.
Kania tidak menunggu Bara. Ia mengembalikan senter ke laci kasir dan diam diam berjalan menjauh dari stan kopi. Musik karawitan yang dimainkan tanpa pengeras suara terdengar hambar di telinganya.
Kania berjalan cepat, menembus kerumunan warga yang sibuk dan riuh. Ia menghindari kontak mata. Ia merasa seperti orang asing sejati untuk pertama kalinya sejak ia tiba di desa.
Kania tiba di rumah kakek Tirta, yang terasa sunyi dan damai, sangat kontras dengan hiruk pikuk di Balai Desa. Ia langsung duduk di teras, tangannya gemetar. ‘’Laras benar. Mungkin Bara hanya merasa jenuh, dan kehadiran Kania hanya sebagai hiburan untuk hidupnya yang monoton.’’
Kania tidak mengerti kenapa Bara memilihnya, padahal Laras adalah pasangan yang sempurna dalam setiap aspek kehidupan di desa,
‘’Bara memilih aku karena aku lemah. Dia memilih aku karena aku butuh diselamatkan. Dia memilih Laras saat dia butuh berjuang. Dan Bara, dia akan selalu berjuang. Apakah aku akan selamanya hanya menjadi kekasih yang rapuh yang harus diselamatkannya?”
Pukul 11 malam, pesta Panen Raya telah usai. Bara baru saja menyelesaikan penghitungan terakhir dengan Laras dan Pak RT.
Laras menghela napas lega. ‘’Kerja yang bagus, Bar. Semuanya berjalan mulus, bahkan setelah insiden listrik itu.’’
‘’Terima kasih Laras, kau yang terbaik.’’
Saat Laras pergi, Bara menghela napas, lalu pandangannya jatuh pada laci kasir, tempat Kania meletakkan senter. Bara mengingat Kania.
Bara baru menyadari bahwa setelah Kania mengembalikan senter, ia tidak melihat Kania lagi. Kania tidak ada di stan saat mereka merayakan keberhasilan kecil.
Bara merasakan firasat buruk. Kania tidak akan pergi tanpa mengucapkan selamat tinggal, kecuali ada sesuatu yang mengganggunya. Ia ingat betapa cepat Kania menghilang setelah ia terlihat begitu sibuk dengan Laras.
Bara segera meninggalkan Balai Desa. Ia berjalan cepat menuju rumah kakek Tirta. Langkahnya kali ini tidak sabar bukan karena lelah, tetapi karena cemas. Bara tiba di rumah Kakek Tirta, rumah itu gelap gulita. Tidak ada satupun lampu yang menyala, baik di teras maupun di dalam.
Bara berteriak cemas. ‘’Kania! Kau di dalam.’’
Tidak ada jawaban. Bara tahu Kania ada didalam bisa dilihat dari sepatu asal yang ia lepas saat memasuki rumah. Besok ia akan menemui Kania. Biarlah untuk malam ini.