"Aku mencintaimu, Hayeon-ah. Mungkin caraku mencintai salah, kacau, dan penuh racun. Tapi itu nyata." Jin Seung Jo.
PERINGATAN PEMBACA:
Cr. pic: Pinterest / X
⚠️ DISCLAIMER:
· KARYA MURNI SAYA SENDIRI. Cerita, karakter, alur, dan dialog adalah hasil kreasi orisinal saya. DILARANG KERAS mengcopy, menjiplak, atau menyalin seluruh maupun sebagian isi cerita tanpa izin.
· GENRE: Dark Romance, Psychological, Tragedy, Supernatural.
· INI BUKAN BXB (Boy Love). Ini adalah BxOC (Boy x Original Female Character).
· Pembaca diharapkan telah dewasa secara mental dan legal.
©isaalyn
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon isagoingon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penghancuran Diri
Beberapa minggu berlalu—perubahan pada Jin Seung Jo, oh, itu seperti badai yang tak terduga. Bisnisnya? Tak lagi jadi urusannya. Rapat-rapat penting? Dibuang begitu saja, seolah-olah tak ada artinya lagi.
Pesan dari Junho, penuh ejekan dan tantangan, hanya terbang melintas di telinganya. Dunia yang dibangunnya dengan susah payah—perlahan-lahan runtuh, dan dia? Dia tak peduli sedikit pun.
Hari-harinya kini terbelah antara dua cara yang menyedihkan: terkurung dalam ruang kerjanya yang gelap, menatap dinding dengan tatapan kosong sambil menenggak whiskey—atau menyetir ke bukit, duduk berjam-jam di depan makam, terbenam dalam keheningan yang menyesakkan.
Suatu sore, Kim Daejun, anak buahnya yang paling setia, memberanikan diri—masuk ke ruang kerjanya yang pengap, berbau alkohol dan kesedihan.
“Hyung-nim,” panggil Daejun, suaranya bergetar.
“Geng Junho sudah merebut dua tempat perdagangan kita di pelabuhan. Mereka berani karena kita tak melawan,” lanjutnya, harap-harap cemas.
Seung Jo? Dia hanya memutar gelasnya, matanya kosong, seolah-olah ada jurang yang dalam di dalam dirinya.
“Hyung-nim!” Daejun mendesak, suaranya sedikit lebih keras, berusaha membangkitkan perhatian.
“Kita harus bertindak! Jika ini berlanjut, semua yang kita bangun akan—”
“Biar saja,” potong Seung Jo, suaranya parau, datar, seperti suara angin malam yang dingin.
Daejun terkejut. “Apa? Tapi—”
“Aku bilang, biar saja!” Bentakan itu tiba-tiba, gelasnya meluncur ke dinding, pecah, whiskey memercik—meninggalkan noda di kayu yang seolah teriak.
“Semua ini tak ada artinya! Tidak ada!”
Daejun mundur, melihat bosnya yang hancur. Sepuluh tahun dia mengabdi, dan belum pernah melihat Seung Jo seperti ini—hancur, tak peduli, hampir menyerah.
“Keluar,” desis Seung Jo, menundukkan kepalanya, seolah mengusir bayang-bayang.
“Tinggalkan aku sendiri.”
Daejun mematuhi, tetapi kekhawatiran membara dalam hatinya. Dia bukan satu-satunya yang merasakan perubahan ini. Para pelayan berbisik—mansion ini kini dihantui oleh arwah gadis Jeju itu. Beberapa anak buah mulai meragukan kepemimpinan Seung Jo, bahkan ada yang berpaling ke Junho.
Malam itu, Seung Jo kembali ke bukit. Botol whiskey di tangannya, duduk di depan nisan, seperti ritual yang tak terhindarkan.
“Dengarkan,” bisiknya pada batu nisan, seolah Hayeon bisa mendengarnya.
“Aku... aku tak tahu harus berbuat apa.”
Tawa getirnya pecah, “Junho mengambil alih segalanya. Dan aku... tak bisa menemukan semangat untuk melawannya. Semuanya terasa... hampa.”
Dia menenggak whiskey dari botolnya. “Kau pasti senang melihat ini, kan? Melihat kehancuranku. Ini balas dendam yang kau inginkan.”
Tapi dia tahu itu salah. Hayeon tak menginginkan balas dendam. Dia hanya ingin kedamaian. Dan dia, Seung Jo, telah memberikannya—dengan cara yang paling mengerikan.
“Dulu,” lanjutnya, suaranya semakin samar karena alkohol,
“aku pikir kekuatan adalah segalanya. Kekuatan untuk mengendalikan, untuk menghukum, untuk membunuh. Tapi sekarang...”
Dia menatap tangannya, tangan yang pernah mendorong Hayeon, tangan yang memegang pisau yang dia tolak untuk gunakan.
“Kekuatan apa yang kumiliki jika aku tak bisa melindungi... justru menghancurkan...”
Ucapannya terhenti. Kata “keluarga” terasa terlalu pahit, “anak” terlalu menyakitkan.
Dia menghabiskan whiskey-nya, melemparkan botol kosong itu ke semak-semak. Dengan gerakan lambat, pistol muncul dari balik jaketnya—dingin, berat.
Dia memandanginya, lalu mengarahkannya ke pelipisnya. Jarinya menekan pelatuk dengan lembut.
Mudah sekali. Sangat mudah. Akhir dari semua rasa sakit, semua penyesalan.
Tapi matanya tertuju pada nisan itu. “Jeong Hayeon” dan “Anak kami”.
Dia membayangkan Hayeon kecil, tersenyum bahagia. Hayeon remaja yang berjuang di toko roti, keberanian yang putus asa saat menyerahkan pisau padanya.
Pelatuknya terlepas, pistolnya menurun.
Tidak. Ini terlalu mudah. Pelarian, sama seperti yang dia tolak untuk berikan pada Hayeon.
Dia berdiri, tubuhnya oleng karena alkohol dan kelelahan. Pistol itu kembali disimpan.
Hidup adalah hukuman yang lebih berat daripada kematian. Dia akan menjalaninya, menanggung setiap detik penyesalan ini—sebagai bentuk penebusan yang tak akan pernah cukup.
Dia kembali ke mobilnya, meninggalkan bukit dan makam itu. Tapi kali ini, dia tak kembali ke mansion. Dia menyetir tanpa tujuan, memasuki kegelapan malam—seorang pria yang tersesat dalam dunia yang dia ciptakan sendiri, menghukum dirinya dengan kenangan yang takkan pernah pudar.