Sekuel dari Bunga dan Trauma.
Jelita Anindya memutuskan pindah ke desa tempat tinggal ayah dari papanya, sebuah desa yang dingin dan hijau yang dipimpin oleh seorang lurah yang masih muda yang bernama Rian Kenzie.
Pak Lurah ini jatuh cinta pada pandangan pertama pada Jelita yang terlihat cantik, anggun dan tegas. Namun ternyata tidak mudah untuk menaklukkan hati wanita yang dijuluki ‘Iced Princess’ ini.
Apakah usaha Rian, si Lurah tampan dan muda ini akan mulus dan berhasil menembus tembok yang dibangun tinggi oleh Jelita? Akankah ada orang ketiga yang akan menyulitkan Rian untuk mendapatkan Jelita?
follow fb author : mumuyaa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mumu.ai, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kehabisan Nafas
Rian tiba di rumah Kakek Doni tepat di jam yang sama seperti kemarin sore, seolah tubuhnya sudah hafal jadwal tak tertulis itu. Setelah memarkirkan motornya di tempat biasa, ia turun sambil menghela napas panjang, merasakan hari ini benar-benar melelahkan untuknya.
Di teras, Kakek Doni duduk santai dengan kacamata bacanya, fokus menonton berita politik di YouTube Shorts. Suara motor Rian jelas terdengar, tapi Kakek Doni pura-pura tidak merespons.
“Kek…” panggil Rian pelan.
Kakek hanya berdehem, tidak menoleh. “Hmm. Datang lagi, kamu?”
Rian langsung duduk di kursi rotan di sebelahnya, mencoba tersenyum meski wajahnya terlihat letih.
“Harus selalu datang, Kek. Sampai Jelita balas perasaan Rian juga,” jawabnya ringan, meski hatinya hari itu sedang tidak seceria biasanya.
Kakek Doni melirik sekilas, lalu kembali pada ponselnya. “Sok pede amat.”
Rian tertawa hambar sebelum pandangannya menyapu halaman rumah. Barulah ia menyadari sesuatu.
Motor pink itu yang selalu ia tunggu tidak ada.
“Jelita belum pulang ya, Kek?” tanya Rian sedikit gelisah.
“Nggak pulang malam ini,” jawab Kakek dengan nada santai, masih menatap layar ponselnya.
Rian langsung terperanjat, tubuhnya refleks tegak. “Lho? Kok nggak pulang, Kek? Jelita kemana?”
Kakek Doni akhirnya menurunkan ponsel dan menatap Rian. “Ada pasien yang cuma bisa konsul malam. Jadi daripada pulang kemalaman, dia nginap di hotel dekat rumah sakit.”
“Oh…” Rian terdiam, tetapi bukan hanya karena khawatir. Ada rasa lain yang mengganjal di dada.
Kakek Doni mengerutkan kening, memperhatikan perubahan ekspresi Rian yang tampak kusut.
“Kenapa wajah kamu kayak kain kusut belum disetrika gitu?” tegur sang kakek.
Rian mengangkat bahu, mencoba terlihat santai. “Nggak apa-apa, Kek.”
“Bohong,” sahut Kakek Doni cepat.
Rian tersenyum miris. Kakek Doni selalu tahu. “Hari ini… banyak gosip aneh, Kek. Tentang Rian. Tentang Nadya. Tentang… macam-macam. Dan semuanya salah.”
“Hmmm,” Kakek Doni bergumam, tidak terlihat kaget.
“Rian cuma takut…” suara Rian melemah, “kalau Jelita dengar hal-hal itu. Rian takut dia salah paham. Takut dia kecewa.”
Untuk pertama kalinya hari itu, Kakek Doni benar-benar menatapnya, dan nada suaranya tidak setajam biasanya.
“Kalau kamu takut dia salah paham… ya kamu jelasin. Bukan malah duduk disini dan merengek kayak kambing kedinginan.”
Rian tertawa kecil, tapi ada rasa getir. “Rian cuma… nggak mau Jelita lihat Rian sebagai laki-laki yang buruk, Kek.”
Kakek Doni melipat tangan di dada. “Cucu saya itu pintar. Dia bisa bedain mana fakta mana sampah.”
“Rian harap begitu,” gumamnya.
Keduanya terdiam sesaat hingga angin sore berhembus pelan. Rian menyandarkan punggung, mencoba meredakan sesak dan pusing kepala yang sejak pagi menumpuk.
Kakek Doni menepuk bahu Rian, pelan tapi mantap. “Kalau kamu serius sama cucu saya, kamu juga harus siap sama yang beginian. Apalagi katanya kamu mau sampai ke tingkat Bupati. Gosipnya pasti makin banyak aneh-aneh. Orang kalau suka bergosip itu memang kadang nggak pakai otak.”
Rian mendesah panjang. “Iya, Kek. Rian ngerti.”
“Yaudah,” ujar Kakek Doni, berdiri dari kursinya. “Masuk. Makan. Atau kamu mau duduk disini sampai hotel Jelita pindah ke sini?”
Rian baru sadar ia tersenyum. “Masuk, Kek. Tapi… Rian tetap lebih senang kalau ada Jelita.”
“Cukup. Kamu senyum-senyum kayak gitu malah bikin Kakek geli,” cibir Kakek Doni.
Rian cuma tertawa. Ia bersyukur, setidaknya sore itu hati dan pikiran kusut yang sejak tadi pagi menghantuinya bisa teratasi.
*
*
*
Keesokan paginya sekitar pukul tujuh, Rian berhenti di depan Rumah Sakit Umum Daerah dengan nafas yang sedikit tak beraturan. Ia bahkan tidak menunggu lama di rumah. Begitu selesai subuh, ia bergegas mandi, dan berpakaian rapi, ia langsung tancap gas ke rumah sakit.
Matanya sesekali berkeliling. Mencari sosok yang sejak kemarin memenuhi pikiran dan kekhawatirannya.
Begitu masuk ke lobi, hawa dingin AC langsung menyergap, tapi tidak cukup menenangkan gugup yang menguasai dadanya.
“Mas Lurah?” sapa satpam dengan nada heran. Biasanya Rian datang hanya ketika ada acara kelurahan atau menjenguk warga.
“Iya, Pak. Mau ketemu seseorang,” jawab Rian singkat.
Ia melangkah cepat menuju lorong yang mengarah ke ruang psikologi. Semakin dekat, semakin kencang detak jantungnya. Semua gosip kemarin, semua kekhawatiran tentang Jelita yang akan salah paham, terus bergema dalam pikirannya.
Sampai akhirnya, dari kejauhan ia melihat Jelita.
Gadis itu berjalan dengan anggun sambil memegang map. Rambutnya terikat rapi, wajahnya tampak seperti biasa, tenang, datar, tapi cantik dengan cara yang tidak perlu berusaha.
Rian spontan berhenti. Ia mendadak gugup dan mendadak bingung harus membuka percakapan dari mana.
Jelita yang awalnya tidak menyadari kehadirannya, menoleh karena mendengar langkah seseorang berhenti mendadak.
“Mas Rian?” ucapnya pelan, sedikit terkejut.
Rian tersenyum canggung. “Pagi, Jelita.”
“Pagi. Ada perlu… di rumah sakit?” tanya Jelita sopan, namun nada suaranya terdengar berhati-hati. Ia ingat percakapan yang ia dengar kemarin. Tentang dirinya, Rian, Nadya, dan gosip hamil itu.
Rian tahu. Ia bisa membaca sorot mata Jelita. Ada sesuatu di sana. Sesuatu yang membuat dadanya semakin sesak.
“Aku…” Rian menghela napas. “Aku mau ketemu kamu.”
Jelita mengerjap pelan, tak menyangka jawaban itu langsung dilontarkan.
“Ada apa, Mas?” suaranya lembut, namun tetap dingin seperti biasanya.
Rian menatapnya dalam dan serius. “Aku takut kamu dengar hal-hal yang nggak bener tentang aku.”
Jelita terdiam.
“Gosip kemarin?” tanyanya hati-hati.
Rian menelan ludah. “Iya. Aku tahu, dari kemarin kamu pasti sudah dengar.”
Jelita tidak mengiyakan, tidak juga membantah.
Rian melanjutkan, suaranya lebih rendah, seperti bercampur rasa bersalah. “Orang-orang salah paham karena Nadya keluar ruangan sambil nangis. Kuakui memang karena aku. Tapi… bukan karena dia hamil. Demi Allah, Jelita!”
Jelita menunduk sedikit, mencoba menjaga ekspresi agar tetap stabil. “Aku cuma… nggak suka namaku disangkutpautkan.”
“Aku juga nggak suka, Jelita. Aku paling takut kamu salah paham. Itu aja.”
Nada suara Rian begitu tulus, hampir terdengar rapuh.
Jelita menatap Rian. Ada bagian kecil di hatinya yang kembali hangat. Perasaan sama seperti saat pria itu menjadi imam sholat maghrib di rumahnya kemarin.
Tapi Jelita tetap menjaga diri. Tetap menjaga jarak.
“Aku percaya kalau Mas nggak mungkin melakukan hal itu,” ucap Jelita akhirnya.
Rian menghembuskan nafas lega, seolah pundaknya baru saja diturunkan beban setengah kuintal. “Terima kasih, Mbak…”
“Tapi…” Jelita melanjutkan, suara lembutnya berubah tegas, “gosip seperti itu nggak akan muncul kalau masyarakat nggak melihat sesuatu.”
Rian terdiam, menunduk.
Ia memang salah satu pejabat muda yang disorot warga. Dan kemarin, kebetulan atau tidak, Nadya memang menangis keluar dari ruangannya.
“Aku bakal beresin semuanya, Jelita. Aku bakal jelasin pada orang-orang.”
Rian mengangkat kepala. “Aku nggak mau nama kamu jelek gara-gara aku.”
Jelita mengangguk pelan. “Baik, Mas. Aku percaya.”
Rian tersenyum, dan kali ini tidak selebar biasanya, namun lebih tulus. “Kalau gitu… boleh aku antar kamu pulang nanti? Biar sekalian aku jelasin semuanya.”
Jelita menggeleng. “Hari ini aku lembur lagi. Kayaknya pulangnya juga malam.”
“Hotel lagi?” tanya Rian dengan nada sedikit khawatir.
“Ya. Lebih aman.”
“Kalau gitu…” Rian menggaruk tengkuknya gugup. “Aku boleh bawain kamu makan malam?”
Ada sedikit jeda. Dan… Jelita mengalihkan tatapan.
“…lihat nanti, Mas. Aku kabari.” Jelita lalu tersenyum tipis—sangat tipis, tapi cukup untuk membuat jantung Rian berdebar kacau.
“Baik, Mbak Jelita.” Rian menunduk hormat kecil, lalu mundur satu langkah.
“Mas Rian?” panggil Jelita sebelum ia pergi.
Rian berhenti. “Iya?”
“Terima kasih… sudah datang.”
Rian tersenyum. “Selama jantung saya masih berdetak, saya akan selalu datang.”
Jelita terdiam. Dirinya tidak siap dengan gaya bicara itu.
Rian segera sadar dan gelagapan. “Maksudnya—saya maksud—ya, pokoknya… eh…”
Jelita akhirnya tersenyum kecil.
Kali ini lebih jelas.
Dan Rian benar-benar kehabisan nafas.
****
Kehabisan nafas, ntar metong dong Mas Rian 🤭🤣🤣
Sudah senin, saatnya vote 🥰🥰🥰
cabe setan 1 kg 90
rawit 1 kg 70.... ya allah.....😭😭😭😭😭 bawang merah 1 kg 50
Rian harus siapkan mental menghadapi papa Fadi dan kakek Doni
😁
Pak Lurah tolong ya diperjelas, statusnya Nadya buat pak Lurah itu apa. Jangan sampai warganya bergosip lagi lho😂