"Papa tidak setuju jika kamu menikah dengannya Lea! Usianya saja berbeda jauh denganmu, lagipula, orang macam apa dia tidak jelas bobot bebetnya."
"Lea dan paman Saga saling mencintai Pa... Dia yang selama ini ada untuk Lea, sedangkan Papa dan Mama, kemana selama ini?."
Jatuh cinta berbeda usia? Siapa takut!!!
Tidak ada yang tau tentang siapa yang akan menjadi jodoh seseorang, dimana akan bertemu, dalam situasi apa dan bagaimanapun caranya.
Semua sudah di tentukan oleh sang pemilik takdir yang sudah di gariskan jauh sebelum manusia di lahirkan.
Ikuti ceritanya yuk di novel yang berjudul,
I Love You, Paman
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aurora.playgame, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 32 - Paman jahat!
Prolog
Ketika sedang asyik berbincang di pinggir sungai tiba-tiba saja turun hujan deras. Saga dan Nadia pun segera berlari dan pulang ke rumah Saga.
Keadaan mereka berdua basah kuyup. Lalu Saga menawarkan Nadia untuk berganti baju dan memakai bajunya dulu agar tidak masuk angin.
Karena menggigil kedinginan, Nadia pun setuju dan memakai baju Saga dulu. Sementara Nadia sedang berganti baju di kamar Lea, Saga sedang mengeringkan baju Nadia di dapur.
"Bajunya masih basah, aku akan gosok dulu," kata Saga sambil berjalan menuju kamarnya.
"Tidak perlu Saga, biar aku saja yang melakukannya," balas Nadia menyusul Saga masuk ke kamarnya.
Bertepatan saat itu Lea baru pulang dan melihat Nadia yang keluar dari kamar Saga karena menyadari kedatangan Lea. Dan terjadilah kesalah pahaman.
**
Rasa cemburu, marah, dan sakit hati menyatu menjadi satu. Pemandangan di depannya, Saga dan Nadia bersama, di dalam kamar yang seharusnya hanya milik Saga, sudah cukup menjelaskan semuanya bagi Lea.
Lea merasa dunianya hancur. Ia tidak peduli apa yang sebenarnya terjadi. Ia hanya tahu bahwa apa yang dilihatnya malam ini telah merusak kepercayaannya pada Saga.
Tanpa memberi kesempatan pada Saga atau Nadia untuk bicara lebih lanjut, Lea pun berlari keluar rumah. Tangisnya yang semakin keras menyesakkan dada, sementara Nadia hanya bisa berdiri terpaku.
Adapun Saga, ia mencoba mengejar, tapi Lea sudah terlalu jauh. Ketika akhirnya Saga berhasil menyusulnya, Lea sudah berada di ujung jalan.
"Lea, tunggu!" panggil Saga, tetapi Lea tidak menoleh sedikit pun.
Dia terus berlari, meninggalkan Saga di belakang, hingga akhirnya menghilang dalam kegelapan malam yang semakin pekat.
Tidak ingin Lea terluka atau tersesat, Saga segera berlari menuju motornya. Tanpa membuang waktu, dia menyalakan mesin dan mulai menyusuri jalan-jalan yang biasanya dilalui Lea.
Jantungnya berdegup kencang. Dia tidak tahu ke mana Lea pergi, tetapi dia tidak akan berhenti mencarinya.
Duarrrr!
Sebuah petir menggelegar dengan keras, menerangi langit malam sesaat, menambah kegelisahan di hati Saga. Hujan pun mulai turun lagi sangat deras, sehingga cukup sulit untuk menemukan Lea.
"Lea... di mana kamu?" gumamnya cemas.
Sementara itu, Lea yang sedang terluka merasa berat untuk meneruskan langkahnya hingga kini ia bersembunyi di balik sebuah pohon besar di tepi jalan.
Air mata tidak henti-hentinya mengalir di pipinya, bercampur dengan tetesan hujan yang mulai membasahi wajahnya.
Petir yang mengguntur di langit semakin memperparah rasa sakit di hatinya. Kesedihan dan kecewa menghimpitnya, membuat dada gadis remaja itu terasa sesak.
Saga yang tengah mencari Lea melintas di jalan itu dengan motor, tapi ia tidak menyadari keberadaan Lea yang tersembunyi di balik pepohonan.
Saat petir kembali menggelegar, Lea semakin merasa kecil dan tidak berdaya. Dia menggigil, tidak hanya karena dinginnya hujan, tetapi juga karena kekecewaan yang besar.
Setelah beberapa saat, hujan pun semakin deras sehingga membuat tubuhnya yang basah kuyup semakin kedinginan. Lalu, matanya yang bengkak dan merah itu mulai mencari tempat untuk berlindung.
Di kejauhan, dia melihat sebuah pos ronda. Lea segera berlari ke sana, menembus derasnya hujan dan suara petir yang memekakkan telinga.
Setibanya di pos ronda, ia segera meringkuk di salah satu sudut, memeluk lututnya erat-erat dan berusaha menghangatkan tubuhnya yang semakin menggigil.
Di pos ronda yang sederhana itu, Lea duduk sendirian. Tangisnya masih belum reda, menyatu dengan suara hujan yang menghantam atap pos tanpa tak henti.
Lea merasa sangat lelah, baik fisik maupun batin. Keadaan di sekitarnya begitu dingin dan sepi seolah mencerminkan betapa kosong dan rapuh hatinya saat ini.
Sementara itu, Saga terus berkeliling, mencari Lea dengan putus asa. Dia tidak bisa membayangkan apa yang mungkin terjadi pada Lea di luar sana, di tengah hujan dan petir ini.
Lea merasakan tubuhnya semakin menggigil, sementara hujan masih menghantam atap pos ronda dengan keras hingga membuatnya semakin merasa putus asa.
Dalam keadaan lelah dan basah kuyup, ia merogoh dompetnya yang sudah hampir basah seluruhnya.
Tangannya gemetar saat meraih ponselnya yang, untungnya, tidak terkena air hujan. Ponsel itu adalah satu-satunya harapan yang tersisa baginya saat ini.
Dengan tangan yang gemetar, Lea mencoba membuka kunci ponselnya dan mencari kontak seseorang yang bisa membantunya.
Tanpa pikir panjang, ia menekan nama yang muncul di layar. Saka. Dia tidak tahu lagi harus meminta bantuan siapa, dan di tengah keputusasaan ini, hanya nama Saka yang terlintas di benaknya.
Panggilan terhubung. Lea mendekatkan ponsel ke telinganya seraya menahan isak yang mencoba melarikan diri dari bibirnya.
Lalu, suara Saka pun terdengar dari seberang. "Lea? Ada apa? Apa kamu sudah pulang ke rumah? " tanya Saka cemas.
"Saka... aku... di pos ronda dekat jalan besar..." jawab Lea dengan suara yang nyaris tidak terdengar.
Itu adalah semua yang bisa ia ucapkan sebelum air mata kembali membanjiri wajahnya.
"Lea," Saka berpikir sejenak. "Tunggu di sana! Aku akan segera ke sana!," lanjut Saka bergegas.
Beberapa menit kemudian, sebuah mobil melaju cepat dan berhenti tepat di depan pos ronda tempat Lea berada.
Pintu mobil terbuka, dan Saka turun dengan membawa payung. Dia berlari kecil menuju pos ronda lalu melihat Lea yang duduk meringkuk, basah kuyup, dan terlihat sangat terpuruk.
Saat melihat kondisi Lea yang begitu berantakan, hati Saka terasa seperti diremas-remas.
Gadis yang dia cintai, yang biasanya begitu kuat, kini tampak begitu rapuh dan putus asa.
Lalu, Lea menatap Saka dengan pedih, seolah meminta pertolongan, hingga membuat Saka merasa semakin sakit hati.
Tanpa banyak bicara, Saka segera menutupi Lea dengan payung dan membantunya berdiri.
"Lea, ayo kita masuk ke dalam mobil. Kamu kedinginan," ucap Saka lembut.
Lea hanya bisa mengangguk lemah, tanpa membalas. Dia membiarkan Saka membimbingnya menuju mobil, seperti boneka yang kehilangan nyawa.
Setelah berhasil membawa Lea ke dalam mobil, Saka segera menyalakan pemanas dan melepas jaketnya lalu memakaikannya ke tubuh Lea yang menggigil.
"Maaf, aku terlambat," bisiknya pelan seraya menatap Lea dengan penuh penyesalan.
Namun, Lea tidak bisa menjawab. Tubuhnya yang lelah dan kepalanya yang berat membuat kesadarannya mulai menghilang.
Dia merasa seluruh energi yang tersisa di tubuhnya menguap begitu saja, hingga akhirnya ia tak sadarkan diri di dalam pelukan jaket yang diberikan Saka.
Saka pun panik melihat Lea yang pingsan. "Lea! Lea!," panggilnya, tetapi tidak ada respons.
Dia segera memacu mobilnya menuju rumah sakit terdekat dan berharap bisa menyelamatkan gadis yang dia cintai.
Hujan yang masih turun dengan deras seakan menjadi saksi bisu dari malam yang penuh dengan ketegangan itu.
"Lea bertahanlah, tolong... Demi aku," gumam Saka sambil terus memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi.
Sesampainya di rumah sakit, Lea pun segera di beri pertolongan pertama dan setelah beberapa pemeriksaan, Lea pun di rawat di salah satu kamar rumah sakit disana.
"Apa yang terjadi padamu sehingga kamu sangat rapuh seperti ini?," batin Saka.