Izinkan Aku Menjadi Orang Ketiga

Dan sebelumnya..

"Bagaimana, apa kalian setuju?" Ucap Laura sambil menyunggingkan senyumnya.

Kedua pria itu saling melirik dan meyakinkan apa ucapan Laura bisa di percaya atau tidak. "Begini, sebelum itu kau haru mencoba mengirimkan Dp nya dulu, setelah itu kami akan percaya dan melepaskanmu." Ucap salahsatu pria.

"Ck, bagaimana aku melakukannya jika tanganku saja kalian ikat!" Jawab Laura dengan sinis.

Salahsatu pria penculik tersebut mencoba untuk membuka tali yang mengikat kedua tangan Laura untuk melepaskannya.

Dan setelah tangannya terlepas, Laura mencoba meregangkan tangannya kembali yang saat ini terasa pegal. "Sini, aku pinjem ponsel kalian untuk mengirimkan uangnya." Mengulurkan tangan.

Pria tersebut memberikan ponselnya pada Laura sambil memantaunya. "Itu nomer rekeningku, kirim uangnya tepat di hadapan kami!" Titahnya.

Laura pun mengotak-atik ponsel untuk mengirimkan jumlah uang pada mereka. Jumlahnya memang tak main-main, Laura mengirimkan uang dengan jumlah lima ratus juta, dan itu berhasil.

"Cukup kah?" Tanya Laura dengan wajah datarnya.

"Wih bro, dia benar-benar mengirimkan uangnya." Ucapnya dengan senang.

Saat itu Laura melangkahkan kakinya untuk duduk di kursi yang ada disana. "Jika kalian berhasil membunuhnya, akan ku tambahkan lagi sisanya menjadi satu milyar.

Kedua mata pria tersebut langsung berbinar memandakan senang mendengar ucapan Laura, dengan cepat mereka pun menuruti ucapan Laura. "Baiklah, jika kau berbohong kami tidak segan akan melenyapkanmu lebih dulu."

Dengan cepat Laura langsung mengangguk meyakinkan mereka berdua. "Kalian boleh pergi sekarang." Titahnya.

"Siap, bos."

"Jangan lupa, kabari aku jika sudah menyelesaikan semuanya. Nomerku ada di sana, nama Queen adalah nomerku." Ucap Laura sambil menyugarkan rambutnya.

Kedua pria tersebut memberi hormat sebelum pergi. "Tidak usah kau ragukan, kami pasti akan memberikan hasil yang bagus." Melangkahkan kakinya keluar dari ruangan.

"Huft.." Laura menghela nafasnya sejenak dan merasa lega, pasalnya sekarang dia masih hidup. "Benar-benar hari sial"

"Hahahaha.. Kau pikir kau bisa melenyapkanku begitu saja, Vina? Mungkin saat ini kau sedang bahagia dan sedang menunggu kabar kematianku." Tertawa.

Laura mengelap sudut bibirnya yang berdarah akibat tamparan dua pria yang menculiknya tadi. "Dasar bodoh, kau sedang menunggu kematianmu sendiri." Menyeringai.

*******

"Sayang. Maaf, aku lalai menjagamu." Memeluk Laura di dalam mobil.

Ya, saat ini mereka sedang berada di dalam mobil. Tidak hanya Dimas dan Laura, Rika pun ada di dalam mobil yang sekarang sedang menyetir.

"Tidak papa, yang penting aku baik-baik saja." Membalas pelukan.

"Ck, kalian bisa berhenti bermesraan di belakangku? Aku jomblo nih!!" Pekik Rika kesal.

Laura pun hanya tersenyum saat mendengar sahabatnya menggerutu. "Aku merasa lemas dan pusing, bolehkah aku tidur?"

"Sebelum kamu tidur, jawab dulu. Apa penculik tadi menyebutkan nama siapa yang menyuruhnya menculikmu?" Menangkup wajah Laura dengan tatapan serius.

Laura tidak langsung menjawab dan hanya menggelengkan kepalanya dengan pelan. "Aku tidak tahu siapa yang menyuruh mereka, yang jelas mereka pergi setelah menerima telepon dari seseorang."

"Baiklah.. Sekarang kamu tidur saja, para polisi akan segera menangkap para penculik itu."

*

*

*

Di tempat lain.

Prang!

Terdengar suara benda terjatuh yang menggelegar di dalam ruangan. Bahkan Vina dan Amelia pun menoleh bersama.

"M-maaf, aku tidak bisa menyeimbangkan kakiku." Ucapnya dengan wajah panik.

Vina terkejut melihat Revan yang terjatuh di dekat pintu kamar. "Apakah Revan barusan mendengarnya? Ck, sial. Kenapa aku ceroboh sekali." Paniknya.

"R-revan.." Gumamnya sambil menghampiri Revan. "Kamu gak papa?"

Revan menggeleng cepat. "Tidak, aku baik-baik saja." Mencoba berdiri kembali.

"Ayo aku bantu." Vina membantu Revan berdiri. Wajah Revan nampak berbeda dari biasanya, dia terus menunduk dan enggan menatap Vina.

"Kukira kamu sudah pulang tanpa pamit padaku, maaf aku tadi langsung meninggalkanmu." Ucap Vina sambil memapah Revan.

Dugh!

Tidak sengaha seseorang menabrak bahu Revan dari arah belakang.

"Aww.. Astaga, minggir sana! Kenapa kau malah ikut masuk ke ruangan cucuku?!" Pekik seseorang yang tak lain adalah Fani.

"Maafkan sa--"

"Bu.. Jangan bicara seperti itu, Amel nanti mendengarnya dan bisa memperburuk kondisinya." Jawab Vina dengan tegas.

Fani langsung memutar bola mata malasnya. "Ck, suruh pergi saja orang ini. Mamah muak melihatnya." Pekiknya dengan nada ketus.

"Huft.. Revan, aku minta maaf sebelumnya. Lebih baik kamu pulang dulu ya, besok kamu bisa kesini lagi. Aku tidak ingin membuat istrimu cemas."

"Haaa, istri?"

Bersambung.