NovelToon NovelToon
Teluk Narmada

Teluk Narmada

Status: tamat
Genre:Tamat / Teen Angst / Teen School/College / Diam-Diam Cinta / Masalah Pertumbuhan / Keluarga / Persahabatan
Popularitas:3.1k
Nilai: 5
Nama Author: Chira Amaive

Angin pagi selalu dingin. Ia bergerak. Menerbangkan apa pun yang sekiranya mampu tuk diterbangkan. Tampak sederhana. Namun ia juga menerbangkan sesuatu yang kuanggap kiprah memori. Di mana ia menerbangkan debu-debu di atas teras. Tempat di mana Yoru sering menapak, atau lebih tepatnya disebabkan tapak Yoru sendiri. Sebab lelaki nakal itu malas sekali memakai alas kaki. Tak ada kapoknya meskipun beberapa kali benda tak diinginkan melukainya, seperti pecahan kaca, duri hingga paku berkarat. Mengingatnya sudah membuatku merasakan perih itu.

Ini kisahku tentangku, dengan seorang lelaki nakal. Aku mendapatkan begitu banyak pelajaran darinya yang hidup tanpa kasih sayang. Juga diasingkan keluarganya. Dialah Yoru, lelaki aneh yang memberikanku enam cangkang kerang yang besar.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chira Amaive, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 32

"Jadi, maksud kedatangan Yoru apa, Cine? Nggak jadi minta makan. Main pergi pula." Kerudung yang dikenakan Niji kini dilepasnya setelah Naima pergi.

"Ngapain perlu ditanya, Ji. Memangnya kamu pernah melihat tingkah Yoru normal?" tanyaku sembari merapikan beberapa botol kecil krim kecantikan.

"Nggak pernah, sih. Tapi, kakak tirinya juga sama nggak jelasnya. Capek-capek ke sini buat jemput adiknya, tapi malah ngebiarin adiknya pergi."

"Baiklah, kamu juga pagi-pagi buta ke sini mau ngapain, Niji?" tembakku yang kini mengarah ke Niji yang sibuk memiliki tujuan Yoru dan Naima.

Jendela yang menganga lebar membiarkan angin pagi merasuki raga dengan  kesejukannya. Dua bersaudara itu sudah tidak ada di bingkai jendela. Kami sudah meminta Naima untuk masuk dan ikut sarapan. Ibu juga sempat masuk ke kamarku setelah mendengar perbincangan seperti yang keluar bukan dari mulut Niji, membuatnya penasaran tentang siapa gerangan itu. Akan tetapi, Naima langsung pamit setelah memperkenalkan dirinya kepada ibu. Bertambah bingung pula ibu setelah dulu pernah mendapati Yoru di luar jendela dan meminta makanan. Sampai diajak makan di dalam pula. Baru saja ia melihat seseorang yang baru, ada hubungan kekeluargaannya dengan Yoru pula. Makin berkerut lagi kening ibu melihatku, atas keheranannya melihat Yoru dan saudaranya mampir dengan cara tak wajar.

"Oh, iya. Aku sampai lupa. Mau minta manik-manik lagi. Boleh, nggak?" Mata Niji berbinar-binar. Menampakkan tampang menggemaskan untuk meraih hatiku. Padahal, tanpa seperti itu pun aku pasti akan memberikannya. Koleksiku terlalu banyak untuk seseorang yang jarang berkreasi dengan semua manik-manik tersebut. Sehingga, memang lebih baik sering-sering diminta oleh Niji.

"Boleh." Aku menjawab singkat.

Sesaat, wajah Niji seperti agak suram, "Cine!"

"Hm" lirikanku ke arah Niji.

"Aku merasa bersalah sudah memikirkan hal buruk terhadap Yoru. Kasihan sekali dia, orang-orang selalu memandangnya buruk. Padahal, masih ada cercah kebaikan pada dirinya. Bahkan kebaikan yang ia lakukan pun selalu terlihat sebagai keburukan. Padahal waktu itu aku pernah iba dan menyesal sering berkata pedas kepadanya. Kemarin, di sungai itu aku malah berburuk sangka lagi padanya." Niji bertutur.

"Tenang saja, aku juga masih suka kesal dengan Yoru. Siapa pun akan kesal kepadanya. Aku nggak akan lupa bagaimana ia menghajar anak kecil tanpa ampun. Padahal, anak kecil itu hanya sedang memainkan roda sepeda bekas. Kita nggak bisa menyangkal, bahwa Yoru memang orang yang patut dikesali."

"Kamu nggak masalah jika dia ikut kakaknya ke Sumatera?"

Seolah ada sesuatu yang mengunci rapat pintu pada mulutku. Sehingga penghuni yang bernama suara itu tertahan untuk ke luar. Niji menyunggingkan senyuman. Lantas mengambil salah satu cangkang kerang yang ukurannya paling besar. Berbentuk seperti keong. Namun warnanya putih keunguan. Ia menarik telapak tanganku, dan meletakkan cangkang kerang itu di atasnya.

"Mana tahu, Yoru sengaja memberikanmu ini sebagai kenang-kenangan. Karena firasatnya mengatakan bahwa ia akan pergi ke Sumatera suatu saat nanti. Walau tidak tahu kapan. Bukankah kamu sendiri yang pernah cerita, bahwa Yoru sangat menyayangi kemeja lusuh itu karena itu adalah milik bapaknya. Lalu bapaknya berjanji akan membawanya untuk tinggal bersama jika bisa menjaga kemeja itu dengan baik," urai Niji sembari merapikan poni pendeknya yang dimajukan angin.

"Lalu, artinya apa dengan kerang ini kepadaku?"

"Bukankah sudah kubilang, kenang-kenangan. Dia menganggapmu istimewa. Kamu tidak pernah mendapatkan luka darinya, 'kan. Bahkan kamu sering disebut teman. Sedangkan kak Naima, yang kamu anggap membuat Yoru menurut. Ia dicakar Yoru sampai berdarah, lengannya digigit seperti zombie kelaparan, kena tonjok. Kamu mendengar sendiri 'kan cerita Naima seperti apa. Mereka beda ibu, beda bapak. Mendapatkan gelar saudara hanya karena bapak Yoru dan ibunya menikah. Tapi apa, Naima tetap bersikeras ingin memperjuangkan Yoru agar bisa diterima oleh bapaknya," tambah Niji. Tubuh tingginya kini berdiri tegak. Meregangkan raga yang sejak tadi rebah di atas kasur.

"Yoru sering mengejek dan mendorongku. Dia tidak benar-benar bersikap baik. Sikapnya terhadapku sama saja dengan semua orang."

"Memangnya dia ada memberikan orang lain kerang yang cantik?"

"Nggak tahulah. Siapa tahu ada."

"Kalau datang pagi buta demi menjadi seseorang yang pertama kali melihatmu di hari yang baru? Bahkan seolah ia tak mau matahari terlebih dahulu menyapamu," ujar Niji dengan tatapan menyebalkan.

"Dih, istilah lebay macam apa itu. Dia datang cuma buat minta makan," jawabku sebal.

Gadis tinggi di hadapanku ini malah tertawa puas. Keras sekali suaranya sampai kepala ibu nongol dari pintu yang seketika membuat tawa menjelma jeritan karena terkejut. Giliran aku yang tertawa melihat ekspresi lucu Niji.

❀❀❀

Firasatku mengatakan Yoru akan muncul di tempat ini. Sembari berjongkok menghadap purnama. Sebab dulu, aku melihatnya memandangi bulan paruh. Kedua kali, bukan sabit. Kukira saat kita ketika bulan purnama, maka ia akan datang lagi. Nyatanya tidak. Pikiranku terlalu terpaku terhadap kebetulan-kebetulan sejak mengenal Yoru sedikit lebih dalam.

Sayang sekali tidak ada yang menyaksikan hiasan langit seindah ini. Sekantong buah delima dalam genggamanku. Seperti kala Yoru meminta satu. Lalu berakhir dengan pukulan dari pak Addin tepat di depan mataku. Ah, sudah lama sekali itu. Sekarang, entah mengapa. Aku ingin melihatnya benar-benar makan delima dengan tenang. Tanpa diganggu pak Addin yang tiba-tiba merebut dan membuang delima yang baru beberapa biji masuk ke mulutnya.

Malam yang terang. Beraroma bunga sedap malam. Juga suara langkahku yang sempat kusebut mirip kaki kuda. Rumah nenek Mei sudah tertinggal di belakang. Namun, aku hanya lewat tanpa berkunjung. Karena sudah terlalu malam. Apa jadinya nenek Mei jika Naima sudah kembali ke Jakarta atau Sumatera. Lalu jika Yoru tidak diizinkan tetangganya untuk menemani. Tersisa aku yang kerap kali malas mendengar ocehan panjang. Kenapa aku tidak setulus mereka?

Tanaman bunga sedap malam yang berderet panjang sudah terlewat juga. Aku benar-benar melaluinya seorang diri. Dengan satu-dua motor yang melintas. Hanya itu. Setelahnya, aku kembali menyusuri sunyi seorang diri.

Benarkah Yoru akan pergi dari sini? Bahkan dari pulau ini. Jika iya, aku belum melihat dia dalam versi terbaik. Juga belum pernah bercakap-cakap dengan benar seperti dua orang teman. Memangnya, sudah layak istilah teman itu untuk menggambarkan kami berdua? Ah, mungkin masih terlalu dini untuk menyebutnya demikian. Tak adakah sebuah kebetulan yang tersisa? Kebetulan bertemu Yoru dengan wajah teduh itu misalnya. Bukan Yoru si pengacau itu. Setidaknya, untuk melihat sisi Yoru yang sebenarnya. Sejujurnya, aku benar-benar penasaran. Sebab ia terlihat banyak berpura-pura. Terutama ketika enggan menanggapi perkataan orang dengan respon yang nyambung. Ah, dasar menyusahkan pikiran orang. Setiap lewat jalan ini, selalu saja pikiranku mengarah pada lelaki nakal itu. Seolah, jiwa Yoru selalu ada di tempat ini. Atau seolah, jiwa aslinya akan menyatu dengan raganya ketika ia berada di sini. Bersama aroma bunga sedap malam.

1
_capt.sonyn°°
ceritanya sangat menarik, pemilihan kata dan penyampaian cerita yang begitu harmonis...anda penulis hebat, saya berharap cerita ini dapat anda lanjutkan. sungguh sangat menginspirasi....semangat untuk membuat karya karya yang luar biasa nantinya
Chira Amaive: Thank you❤❤❤
total 1 replies
Dian Dian
mengingatkan Q sm novel semasa remaja dulu
Chira Amaive: Nostalgia dulu❤
total 1 replies
Fie_Hau
langsung mewek baca part terakhir ini 😭
cerita ini mengingatkan q dg teman SD q yg yatim piatu, yg selalu kasih q hadiah jaman itu... dia diusir karna dianggap mencuri (q percaya itu bukan dia),,
bertahun2 gk tau kabarnya,,, finally dia kembali menepati janjinya yg bakal nemuin q 10 tahun LG😭, kita sama2 lg nyusun skripsi waktu itu, kaget, seneng, haru..karna ternyata dia baik2 saja....
dia berjuang menghidupi dirinya sendiri sampai lulus S2,, masyaAllah sekarang sudah jd pak dosen....

lah kok jadi curhat 🤣🤦
Chira Amaive: keren kak. bisa mirip gitu sama ceritanya😭
Chira Amaive: Ya Allah😭😭
total 2 replies
Iif Rubae'ah Teh Iif
padahal ceritanya bagus sekali... ko udah tamat aza
Iif Rubae'ah Teh Iif
kenapa cerita seperti ini sepi komentar... padahal bagus lho
Chira Amaive: Thank youuuu🥰🤗
total 1 replies
Fie_Hau
the first part yg bikin penasaran.... karya sebagus ini harusnya si bnyak yg baca....
q kasih jempol 👍 n gift deh biar semangat nulisnya 💪💪💪
Chira Amaive: aaaa thank you🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!