NovelToon NovelToon
Rumah Rasa

Rumah Rasa

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen Angst / Teen School/College / Keluarga / Persahabatan / Bullying dan Balas Dendam
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: pecintamieinstant

Rumah Rasa adalah bangunan berbentuk rumah dengan goncangan yang bisa dirasakan dan tidak semua rumah dapat memilikinya.

Melibatkan perasaan yang dikeluarkan mengakibatkan rumah itu bergetar hebat.

Mereka berdua adalah penghuni yang tersisa.

Ini adalah kutukan.

Kisah ini menceritakan sepasang saudari perempuan dan rumah lama yang ditinggalkan oleh kedua orang tua mereka.

Nenek pernah bercerita tentang rumah itu. Rumah yang bisa berguncang apabila para pengguna rumah berdebat di dalam ruangan.

Awalnya, Gita tidak percaya dengan cerita Neneknya seiring dia tumbuh. Namun, ia menyadari satu hal ketika dia terlibat dalam perdebatan dengan kakaknya, Nita.

Mereka harus mencari cara agar rumah lama itu dapat pulih kembali. Nasib baik atau buruk ada di tangan mereka.

Bagaimana cara mereka mempertahankan rumah lama itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon pecintamieinstant, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 31

Duduk dulu, Git." Salma menepuk kursi setelah menariknya. Diperlihatkan bagaimana sikap baiknya memperlakukan teman yang dimiliki.

"Hei, kenapa kau lakukan itu, Sal? Aku tidak menyuruhmu untuk membersihkan kursiku. Biarkan saja disana."

"Sebagai seorang teman, seharusnya membantu yang lemah. Kamu sudah pernah melakukan untukku. Sekarang giliranku untuk melakukan hal sama."

"Suka-sukamu saja, Sal." Gita menggerakkan mata malas, dia bergerak menduduki kursi yang dibersihkan.

Rapi. Buku telah dirapikan memojok meja. Bahkan debu pun takut jika menempel lagi.

"Kakimu pasti terasa nyeri."

"Tidak begitu, tapi memang nyeri. Tapi ah, biarkan saja. Nanti akan hilang sendirinya."

"Kalau masih merasa nyeri, kuambilkan obat di UKS. Salep panas."

"Hei, repot-repot kau lakukan itu. Sudahlah, tidak usah. Aku bisa mengambilnya sendiri. Kau ini selalu saja merepotkan dirimu."

Anak pendiam, susah bergaul dengan anak-anak di kelas sejatinya memang peduli kepada manusia yang dipercaya. Gita adalah orang pertama. Datang di hidup Salma sebagai teman.

"Sekarang kau begitu peduli. Tadi sebelum terjadi kau bahkan pura-pura tidak peduli kepadaku. Kau sengaja memperlakukan anak bandel sepertiku untuk sengaja dihukum berdiri menderita? Sekarang dijawab, apa maumu?" Gita melipat tangan, bertanya heran.

"Kalau menghukum tadi aku juga tidak mau melihat temanku seperti itu. Tidak rela."

"Jadi apa maksudmu berpura-pura tidak mendengarkan?"

"Aku ingin kamu bisa mengerjakan soal dengan mandiri. Kamu bisa mengerti sendiri, bukan melalui proses kecurangan. Kalau nanti lama-lama dibiarkan, kamu akan menyesal karena selalu berbuat curang. Menyontek, tidak paham ilmu yang diberikan guru selama ini. Lantas apa selanjutnya? Kamu akan selamanya menangis karena tidak pernah berbuat benar. Itu adalah yang paling kutakutkan."

Sungguh, Salma menceritakan kegelisahan untuk waktu yang benar.

Kemarin sudah Bian, sekarang Salma. Besok siapa lagi? Tidak tahu.

Tapi benar kata darinya. Curang. Hal menjengkelkan ketika sudah menggunakan taktik itu. Dunia pendidikan mau jadi apa lagi kalau anak didiknya sejak dini selalu diajari cara curang? Tau-tau kalau dewasa kalau jadi ahli bidang, nanti masuk korupsi. Mau jadi apa negeri ini? Menyedihkan.

Gita diam. Benar kata seorang teman. Itu adalah kata-kata mujarab jika diriku telah berbuat yang tidak-tidak.

"Yah... Semoga saja kamu mengerti dengan ucapanku, Git. Sebagai teman seharusnya saling mengingatkan." Salma merapikan buku, dimasukkan ke laci meja.

Diam merenung lagi. Wajah dipangku telapak tangan selama mengamati Salma.

Bel dibunyikan. Berbondong para murid yang tadinya berjalan di dalam kelas berakhir duduk diam. Senyap, menunggu kedatangan guru selanjutnya.

Mereka selalu menunggu. Duduk. Menunggu lama. Mengantuk tetapi tetap mencoba menahan rasa kantuk. Menunggu sabar lagi. Siklus kehidupan sekolah.

Setelah bel tadi bekerja bereaksi, pintu pun tidak bergerak. Diam.

Kami sabar menunggu. Mencoba untuk tidak bersuara. Serak batuk menjadi penemani dikala orang-orang menutup bibir mereka. Takut mengganggu kelas lain.

Dilirik menuju jam dinding bulat dekat tampang wajah presiden, dan wakilnya, sekarang menunjukkan kepada arah jam sebelas. Sebentar lagi jam makan siang, atau lebih tepat jam istirahat kedua.

"Sudah satu jam lebih tidak ada guru yang masuk. Ada apa ini? Aneh."

"Iya, ini aneh. Tidak pernah kan, sekalipun guru-guru disini selalu telat satu jam lebih."

"Apa sedang ada rapat? Tapi mana mungkin rapat diadakan di siang hari? Biasanya pagi. Atau hanya diriku saja yang tidak tau jam-jam rapat kapan saja? Menurutmu bagaimana, Sal?"

"Tunggu saja, pasti guru itu akan datang." Salma tersenyum, kembali menuntaskan membereskan buku. Berganti buku lain yang dibutuhkan.

Gita semakin bosan dengan diamnya. Mengamati teman sekelas. Sedikit-sedikit mengobrol, berbisik. Sisanya menggambar di halaman belakang buku tulis.

Pikiran kami selalu sama. Menggambar apa saja yang menarik. Belakang buku menjadi incaran.

Jarum jam dinding bergerak selalu.

Gita memandang hal lain. Kursi-kursi yang dipakai, perabotan kelas milik sekolah, pajangan dinding buatan anak kelas yang disengaja ditempel memenuhi ruangan menjadi target pemandangan membosankan.

"Hei, kemana si anak tengil itu? Orangnya tidak ada di kursi."

"Si anak tengil? Siapa yang kamu maksud?" Salma menoleh usai kesibukan mengamati pintu kelas yang menutup rapat.

"Hei, seharusnya kau tidak lupa kalau aku pernah memberitahumu siapa yang kusebut."

"Tidak tau. Siapa dia? Siapa anak tengil?"

"Itu... Si Bian. Anak di kelas kita. Kau bahkan suka dengannya."

Salma tertawa pelan. "Kenapa kamu selalu menyebutnya anak tengil? Lucu panggilan itu." Salma diam lagi, mencoba menenangkan diri. "Tapi kamu jangan bicara keras-keras kalau ada yang menyukainya, Git. Jadi malu."

"Buat apa malu? Bisa jadi di luar kelas banyak yang menyukai anak tengil itu. Tidak apa-apa kalau kau sangat menyukai anak itu. Apa salah menyukai orang? Apa itu menjadi pelanggaran manusiawi? Tidak, kan? Tapi jangan pacaran. Aku sungguh tidak menyetujuinya. Walaupun dia baik, bisa saja dia punya sifat jahat. Harus tetap berhati-hati dengannya."

Gita menurunkan bahu, sempat naik karena ceramahnya. Mengingatkan hal baik dengan temannya dalam deretan bangku yang melekat.

"Sekarang kamu seperti guru bk saja, Git. Agak berbeda dengan dirimu sekarang."

Gita tertawa lagi. "Beda darimana? Hei, itu hanya usulanku saja, tapi kau harus tetap berhati-hati dengan anak itu. Kalau dia menjahatimu, teriak saja. Aku akan datang."

"Iya, baiklah. Superman."

"Hei, bukan Superman."

"Jadi, apa?"

"Spiderman," tawa gelak Gita diucapkan.

Saat yang tepat setelah dua murid tertawa bersama-sama, datanglah anak laki-laki berdasi miring. Rambut acak-acakan, sedang menaikkan tangan membawa selembar kertas.

Perasaan tak nyaman kembali hadir, terasa pada Gita. Salma terlihat tersenyum menyadari kehadiran laki-laki di depan kelas. Menghadap kami, dengan napas tersengal lelah.

"Semuanya, dengarkan!" Bian berseru keras menggelegar satu ruangan.

Mereka yang awalnya berbicara sendiri-sendiri, mengoceh, melihat temannya di belakang bangku akhirnya menengok hasil suara teriakan anak laki-laki.

"Dengar. Ada tugas yang harus dikerjakan sekarang. Akan kutulis di papan supaya kalian dapat menulisnya sendiri."

Bian melangkah, mencari spidol yang dimiliki. Setelah tulisan sebelumnya pada papan tulis yang menempel akhirnya di hapus, Bian mengganti dengan soal baru.

"Lalu kemana guru itu? Kenapa kita diberikan soal?" Salah satu murid lain bertanya penasaran.

"Guru-guru sedang melakukan rapat. Oke? Paham? Jadi ada titipan untuk mengerjakan soal." Bian melengking suaranya.

Siswa lain bertanya lagi. "Berapa soal itu? Banyak tidak? Kalau banyak, kami tidak mau mengerjakan."

"Tidak banyak. Ada sekitar sepuluh soal. Kalau kalian selalu bertanya, soal itu pasti akan menumpuk banyak. Kerjakan saja, nanti langsung cepat selesai."

"Terserah saja. Dapat nilai atau tidak, bukan urusanku. Itu pekerjaan kalian. Tanggung jawab kalian. Oke?" Tambah Bian, menjelaskan langsung. Menamatkan orang-orang yang meremehkan soal sederhana."

Gita terkejut, berubah menjadi senyuman setelah penjelasan Bian memangkas pertanyaan-pertanyaan orang-orang disini. "Wah, dia benar-benar sudah marah."

Berganti menatap Salma yang langsung mengerti, mengerjakan suruhan, Gita memandang wajah temannya. "Kau masih menyukainya, bukan?"

1
S. M yanie
semangat kak...
pecintamieinstant: Siap, Kak 🥰👍😎
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!