Harumi

Jangan lupa tinggalkan jejak.

Happy reading.

Sudah sebulan lebih, sejak liburan usai, kehidupan Rumi berjalan seperti biasa, seolah tak ada yang terjadi.

Terakhir Dimas menghubunginya, saat dirinya baru saja tiba di ibu kota, itupun hanya sebatas menanyakan sudah sampai atau belum, setelah itu, Dimas tak lagi menghubunginya.

Lalu soal hubungannya dengan Ari, juga sama, tunangannya itu makin sibuk dengan pekerjaan, dan tesis yang tengah dikerjakan, guna meraih gelar master, mengenai komunikasi berjalan seperti biasa, saling bertukar pesan, foto, atau sekedar panggilan suara, tak lagi ada makan siang bersama seperti dulu.

Sehari-hari, Rumi hanya bekerja, pulang ke kosan, atau berkunjung ke kosan Anggita diakhir pekan, maraton Drakor bersama, itupun kalau showroom tak mengadakan pameran.

Siang itu, salah satu dari teman SMA, mengiriminya pesan, agar membuka akun media sosialnya.

Rumi yang saat itu sedang makan siang, menghentikan aktivitasnya sejenak, dia mulai membuka akun media sosialnya.

Dia temukan sebuah foto, tentang kedekatan sahabat masa kecil Rumi, dengan ibu dari Ari, bukan hanya itu, ada sebuah rekaman video yang mana, calon mertuanya mengatakan jika Ari telah memutuskan pertunangannya dengan Rumi, dan meminta Astuti segera menikah dengan Ari, setelah Ari diangkat menjadi PNS.

Melihat video itu, rasanya Rumi lemas seketika, matanya berkaca-kaca, tak menyangka jika calon mertuanya berkata seperti itu.

Bukankah saat pertunangan Rumi dan Ari setahun lalu, calon mertuanya yang paling antusias, dan mengatakan jika Rumi adalah menantu idaman, kenapa setelah waktu berlalu, malah jadi begini?

"Gue duluan ya," Tak mau menangis didepan rekan kerjanya, Rumi pamit undur diri, dia beralasan jika perutnya tiba-tiba mulas.

Rumi tidak kembali ke showroom, dia melangkahkan kakinya menuju taman yang letaknya tak jauh dari sana.

Dia duduk disalah satu bangku taman yang kosong, lalu sekali lagi membuka video yang sempat dia unduh, untuk didengarkan lagi.

Dan telinganya tidak tuli, benar jika calon mertuanya mengatakan jika Ari telah memutuskan pertunangannya dengan Rumi.

Mata Rumi mula berkaca-kaca, dia sedih, dia marah, tapi dia sadar diri, jika hal ini terjadi mungkin karena dosanya sebulan lalu, saat dengan gampangnya, dia membuka kakinya untuk lelaki lain.

Lalu apa yang harus dilakukannya sekarang?

Yang membuatnya semakin sakit hati adalah, sahabat masa kecil, yang sering menjadi teman curhatnya justru mengkhianatinya.

Astuti adalah sahabat sedari kecil, tetangga, dan teman sekolah, bahkan Astuti tau bagaimana proses Rumi dan Ari mulai merajut kasih, hingga sekarang.

Rumi yang mulai gusar, menghubungi Astuti, sahabatnya itu baru pulang dari luar negeri dua bulan lalu, setelah bertahun-tahun, mengadu nasib menjadi tenaga kerja wanita.

"Halo Tuti, apa kabar?" sapa Rumi basa-basi.

"Aku baik, tumben kamu nelpon aku duluan. Ada apa?"

"Barusan aku buka Facebook, maksudnya kamu apa Tuti?" Meski kesal, Rumi berusaha tetap tenang.

"Seperti yang kamu dengar, bahwa Ari sudah putuskan pertunangan kalian, dan Bu Tejo meminta aku jadi calon istrinya Ari, katanya aku lebih sopan dan baik dibandingkan kamu, yang jarang kasih hadiah buat bu Tejo."

"Tapi mas Ari nggak ngomong sama aku,"

"Mungkin Ari nggak enak kali mau ngomong sama kamu,"

Rumi terdiam sejenak, lalu mendongakkan kepalanya, jangan sampai dia menangis sekarang, dia memang sudah sempat curiga pada Astuti, sepulangnya wanita itu dari luar negeri, beberapa tetangga di kampung, memberitahukan padanya, tentang perubahan sikap Astuti, yang dengan getol mendekati Bu Tejo. Rumi yang tak ada pikiran buruk pada sahabatnya, mengabaikan omongan tetangga.

"Udah kamu lepasin Ari buat aku, asal kamu tau ya Mi, sebenarnya dari dulu Ari sukanya sama aku, cuman karena aku tolak, akhirnya dia nembak kamu, mungkin karena dia pengen balas dendam, Ari kan tau, kamu sahabat dekat aku,"

"Oh gitu ya, oke kalau gitu, udah ya, aku mau lanjut kerja," Meski rasanya ingin memaki pengkhianat itu, Rumi lebih memilih menahannya, jangan sampai dia menunjukan emosinya.

***

Akhir pekan berikutnya, Ari menghubungi Rumi, meminta bertemu, dengan alasan rindu, karena selama sebulan lebih, keduanya belum sempat bertatap muka secara langsung.

Ari menjemput Rumi di kosan, dan mengajaknya menonton bioskop, Rumi bersikap biasa, seolah belum mendengar kabar tentang tunangannya.

Seperti biasa, Ari akan menceritakan tentang pekerjaan, dan kuliah strata duanya, yang hampir mendekati tahap finish.

Rumi memberikan selamat, atas pencapaian yang telah dilakukan oleh tunangannya itu.

Mereka menghabiskan waktu hampir seperempat hari di mall, selain menonton, Rumi menemani Ari berbelanja setelan formal, yang akan digunakannya untuk bekerja.

Tak lupa Rumi membelikan sepatu, sebagai hadiah, atas pencapaian lelaki itu.

"Mas, udah nggak sabar, pengen buru-buru menikah sama kamu, biar tiap hari kita bisa ketemu, rasanya mas tersiksa beberapa bulan kita jarang ketemu," kata Ari, saat keduanya makan malam di warung tenda, dekat kosan Rumi, wanita itu yang memintanya.

Mendengarnya, Rumi hanya bisa tersenyum kecut, sepertinya ini saatnya dia mengkonfirmasi video yang dilihatnya beberapa hari lalu. "Em mas, ada yang mau aku omongin," ucapnya.

Ari menaruh sumpit yang dipegangnya, lalu menyeka mulutnya dengan tisu, kemudian menatap wajah wanita disebelahnya, "Ngomong aja sayang, aku dengerin,"

Rumi mulai menceritakan tentang video yang ada di media sosialnya, juga menunjukan rekaman percakapannya dengan Astuti. Rumi sengaja melakukannya untuk ditunjukkan pada tunangannya.

"Lalu apa kamu percaya, dengan omongan Astuti?" tanya balik Ari.

Rumi menggeleng ragu, "Bukankah dari dulu kamu cintanya sama aku, lalu jika memang kamu mau putuskan pertunangan kita, harusnya kamu nggak ngajak aku ketemuan, benar begitu bukan?"

Ari mengangguk sembari tersenyum, "Terima kasih sudah percaya sama aku," Lalu Ari menceritakan tentang Astuti yang sering kali menghubunginya, saat masih bekerja di luar negeri, mengajaknya mengobrol. Ari yang berfikir bahwa Astuti adalah sahabat baik tunangannya bersedia menanggapi obrolan itu.

Dan dia tak menyangka sikapnya itu, justru memberi harapan pada Astuti, "Memang ibu sempat membujuk mas, supaya menikah dengan Astuti, tapi mas dengan tegas mengatakan, jika mas menikah, harus dengan kamu, karena mas cintanya hanya sama kamu,"

Wajah Rumi memerah, dia malu sekaligus bahagia, mendengar ucapan lelaki yang dicintainya, dia tersenyum lebar.

"Pokoknya dek, begitu SK Mas udah keluar, mas akan menemui bapak kamu, untuk segera melamar, atau langsung menikahi kamu," sambung Ari dengan tatapan penuh cinta.

"Tapi bagaimana dengan ibu?" tanya Rumi ragu, dia tau, jika tunangannya itu begitu menghormati ibunya.

"Biar mas, yang jelaskan pelan-pelan ke ibu, kamu nggak usah khawatir,"

Rumi mengangguk sembari tersenyum, namun senyuman itu langsung pudar, saat kilasan malam panasnya dengan lelaki lain terlintas di otaknya. Apa yang harus dilakukannya?

"Mas, kalau aku buat salah, apa kamu mau memaafkan aku?" tanya Rumi gugup.

Ari mengambil tangan Rumi, lalu mengecup punggung tangan itu, "Aku akan selalu memaafkan kamu, sayang. Sebesar apapun kesalahan kamu,"

"Kalau berselingkuh bagaimana? Apa kamu masih memaafkan aku?"