Dia adalah pria yang sangat tampan, namun hidupnya tak bahagia meski memiliki istri berparas cantik karena sejatinya dia adalah pria miskin yang dianggap menumpang hidup pada keluarga sang istri.
Edwin berjuang keras dan membuktikan bila dirinya bisa menjadi orang kaya hingga diusia pernikahan ke-8 tahun dia berhasil menjadi pengusaha kaya, tapi sayangnya semua itu tak merubah apapun yang terjadi.
Edwin bertemu dengan seorang gadis yang ingin menjual kesuciannya demi membiayai pengobatan sang ibu. Karena kasihan Edwin pun menolongnya.
"Bagaimana saya membalas kebaikan anda, Pak?" Andini.
"Jadilah simpananku." Edwin.
Akankah menjadikan Andini simpanan mampu membuat Edwin berpaling dari sang istri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tri Haryani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB. 32 Memperingati Edwin
Mata Mona mengernyit melihat Edwin pulang dengan bibir tersenyum.
"Kamu kenapa, Mas?" tanya Mona.
Seolah tersadar dirinya tengah tersenyum, Edwin langsung berdehem. Dia lalu menatap Mona yang membukakan pintu untuknya, mengusap kepala Mona lalu mencium keningnya.
"Bau parfume kamu beda, Mas?" tanya Mona lagi.
"Aku baru beli parfume aroma lain," kata Edwin sembari mengeluarkan botol parfume dari saku celananya.
"Parfume apa itu?" tanya Mona.
"Nanti saja lihat di kamar," kata Edwin. Dia lalu berjalan lebih dulu menuju kamar. Mona mengikuti Edwin dari belakang. Dia takut Edwin masuk kedalam ruangan kerjanya dan melihat lukisan yang baru dia buat. Mona tidak mau Edwin tahu bila dirinya tidak benar-benar berhenti melukis.
Tiba di kamar, Edwin meletakkan botol parfume diatas meja rias. Parfume itu Andini yang memberinya sebagai ucapan terima kasih sudah memanjakan dirinya dan menyemprotkan di baju Edwin saat pria itu hendak pulang.
Mona masuk ke dalam kamar lalu menghampiri Edwin yang sedang melepas kancing kemejanya.
"Kamu dari mana , Mas?" tanya Mona.
"Beli parfume," jawab Edwin.
"Tidak biasanya kamu beli parfume sendiri?" tanya Mona lagi dia menatap curiga pada suaminya yang bertingkah aneh.
Mona juga mengambil botol parfume yang baru saja Edwin letakkan dimeja rias, menelisik botol tersebut lalu menyemprotkan kepergelangan tangan dan menghirup aromanya.
Uhuk.. Uhuk..
Aroma parfume itu seketika menyeruak masuk kedalam hidung Mona membuat wanita itu terbatuk.
"Aku tida suka aromanya, Mas, jangan dipakai parfume ini," kata Mona sembari meletakan kembali botol parfume milik Edwin ke atas meja rias.
"Tidak bisa, Mon, parfume itu sudah aku beli jadi aku akan tetap memakainya."
"Aku bisa belikan yang lain, Mas, aku tidak suka aromanya. Buang saja parfume itu," kata Mona sontak saja membuat Edwin menatapnya tidak suka.
"Jangan hanya karena parfume kita jadi bertengkar," kata Edwin memperingati Mona. Edwin mengambil kembali parfum tersebut lalu membawanya menyingkir dari hadapan Mona.
Edwin menghampiri lemari pakaian dan membukanya. Dia meletakkan parfume pemberian Andini dilemari itu. Edwin lalu mengambil piama tidur dari dalam lemari dan membawanya kedalam kamar mandi melewati Mona yang menatap sebal padanya.
Edwin tentu saja tidak terima bila parfume pemberian Andini dibuang Mona. Menurut Edwin aroma parfume itu menenangkan, harum, dan menyegarkan. Harganya saja tidak main-main Andini membelinya menggunakan semua gaji terakhirnya bekerja di restorant Hamara. Dan tentu saja Edwin menghargai pemberiannya itu.
Mona saja yang tidak bisa menghargai pemberian orang lain meski dia tidak tahu bila parfume itu pemberian dari Andini.
...****************...
Saat jam istirahat Bima menyempatkan diri mendatangi Edwin direstorant Hamara. Beruntung pria itu selalu stand by di restoran jadilah Bima bisa bertemu dengannya.
Bima duduk berhadapan dengan Edwin dengan berhalatkan meja kerja disana. Dia menatap tidak suka pada Edwin yang semena-mena pada Andini.
"Jangan permainan Andini," ucap Bima memperingati. Entah ini peringatan yang ke berapa yang jelas Bima tidak akan pernah bosan memperingati Edwin agar tidak mempermainkan Andini. Bima tidak mau Andini kecewa dan sakit hati karena cinta gadis itu tidak terbalaskan.
"Saya tidak mempermainkan Andini," sahut Edwin.
"Tapi anda memperlakukan Andini seolah dia seseorang yang anda inginkan."
"Saya memang menginginkannya."
"Tapi anda tidak mencintainya."
"Kita tidak bisa menentukan pada siapa kita jatuh cinta, Bima. Mungkin Hari ini saya tidak mencintai Andini tapi tidak tahu besok mungkin juga saya mencintainya atau selamanya saya tak bisa mencintainya."
Kedua tangan Bima mengepal kuat dia menahan diri agar tidak memukul Edwin. Dia masih berusaha berbicara dengan tenang.
"Andini gadis yang baik, Bima, sudah sewajarnya saya memperlakukan dia dengan baik. Saya memanjakannya memberi perhatian padanya semua itu karena Andini juga memperlakukan saya seperti itu. Tidak ada alasan untuk saya memperlakukan dia dengan buruk."
"Saya senang anda memperlakukan Andini dengan baik, hanya saja saya tidak suka karena perlakuan anda itu membuat Andini mencintai anda sementara anda mencintai istri anda. Saya ingin anda tegas, Pak Edwin, bila anda menginginkan Andini lepaskan lah istri anda tapi bila anda menginginkan istri anda maka lepaskanlah Andini."
Edwin terdiam meresapi perkataan lelaki dihadapannya. Bima bukan hanya memperingati dirinya melainkan meminta dirinya memilih salah satu diantara Andini dan Mona.
Edwin menghela nafas berat. Dia lalu menatap Bima yang juga tengah menatapnya menantikan tanggapan dari perkataannya.
"Saya tidak bisa melepaskan Andini karena saya membutuhkannya."
"Kalau begitu lepaskanlah istri anda," titah Bima.
"Saya tidak bisa melepaskan istri saya karena saya mencintainya."
"Anda benar-benar brengsek, Pak Edwin."
Bima sudah hendak melayangkan tinjunya namun Edwin mampu mencegahnya.
"Ingat Bima, Andini tidak keberatan dengan ini semua."
"Tapi Andini yang sakit, Pak Edwin."
"Saya tahu, Bima, sebab itu saya berusaha adil pada Andini dan Mona. Saya akan memperlakukan mereka dengan sama berusaha menjaga dan membahagiakan keduanya."
"Bagaimana bisa anda membahagiakan Andini bila anda tidak mencintainya?" tanya Bima sinis.
"Sudah saya katakan Bima, mungkin hari ini saya tidak mencintai Andini tapi bisa saja besok saya mencintainya."
Bima keluar dari ruangan Edwin dengan perasaan tak menentu. Marah dan sedih membuncah di dalam hati Bima namun lagi-lagi dia tak berdaya mengingat Andini melakukan ini semua karena balas budi pada Edwin ya sudah menolong ketika dirinya hendak menjualnya pada Louis.
Bima masuk ke dalam lift, menekan tombol angka satu lalu menyandarkan keningnya pada dinding lift tersebut.
"Maaf kan, Kakak, An, karena kakak kamu jadi dihadapkan dengan situasi seperti ini. Andai Kakak punya banyak uang pasti saat itu Kakak tidak akan menjualmu pada pak Louis dan berujung kamu menjadi simpanan pria beristri."
Tak lama pintu lift terbuka. Bima kembali menegakkan tubuhnya lalu melangkah keluar dari dalan lift. Langkah Bima terhenti saat melihat sosok atasannya direstorant ini. Dia kemudian menyapanya.
"Siang Bu Mona," sapa Bima.
Mona yang tengah berjalan menuju lift menoleh, dia lalu menghentikan langkah kakinya.
"Eh Bima, sedang apa kamu di sini?" tanya Mona.
"Emm ..." Bima nampak bingung menjawabnya. "Makan siang, Bu," jawab Bima kemudian.
"Jauh sekali makan siang ke restorant ini?" tanya Mona lagi.
"Iya, Bu, sekali-sekali ingin makan yang enak. Anda sendiri mau makan siang juga ya?" tanya Bima balik.
"Iya, tapi mau menemui suami saya dulu."
"Oh suami Bu Mona kerja di restorant ini?"
Mona tersenyum. "Dia pemilik restorant ini," kata Mona membuat Bima terkejut.
"Jadi anda ini istrinya pak Edwin?" tanya Bima.
"Iya, saya istrinya Edwin Pranata."
Seketika Bima merasa langit runtuh menimpa dirinya. Takdir macam apa ini ternyata pria yang menjadikan adiknya simpanan ialah suami atasannya.