Di balik tawa yang menghiasi hari-hari, selalu ada luka yang diam-diam disimpan. Tak semua cinta datang di waktu yang tepat. Ada yang datang saat hati belum siap. Ada pula yang tumbuh di antara luka yang belum sepenuhnya sembuh.
Namaku Cakra.
Aku anak dari seorang perempuan yang terlalu kuat untuk mengeluh dan terlalu sabar untuk marah. Aku juga anak dari seorang pria yang namanya selalu disebut dengan kebanggaan, namun hanya hidup dalam kenangan.
Sejak kecil aku tumbuh dalam bayang-bayang ayahku yang gugur sebelum sempat menggendongku. Ibuku membesarkanku sendiri, menyematkan namanya dan kenangan tentang ayah dalam setiap langkahku. Aku tumbuh dengan satu tujuan—menjadi seperti dia. Seorang perwira.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kaka_21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32: Hari H
Mentari baru saja menembus tirai jendela kamar Cakra. Langit masih berwarna biru pucat, dan embun tipis masih menyelimuti dedaunan di halaman. Di dalam kamar, suasana begitu sunyi, hanya terdengar napas yang tertahan dan detak jantung yang berdetak lebih cepat dari biasanya. Cakra duduk bersila, mengenakan sarung dan baju koko putih bersih. Wajahnya terlihat tegang namun khusyuk. Di sampingnya, duduk Gahar dengan pakaian batik rapi, dan di hadapan mereka, penghulu mulai membuka prosesi akad nikah.
Suasana terasa sakral. Hanya beberapa keluarga terdekat yang hadir, namun kehangatan dan getaran haru menyelimuti ruangan kecil itu.
Penghulu membuka lembaran buku nikah, membacakan khutbah nikah, lalu menatap Cakra.
“Saudara Cakra.… apakah saudara siap?”
Ayah shifa menjabat tangan cakra "Cakrawala Pradipta Yudha,
Cakra menarik napas panjang. Tatapannya sejenak mengarah ke Gahar, yang memberikan anggukan perlahan, penuh keyakinan dan doa yang tak terucap. Lalu ke arah ibunya yang telah meneteskan air mata sejak tadi. Dengan suara mantap, Cakra menunduk sedikit dan berkata: “Saya terima nikahnya Lailatul Ashifa binti Haris dengan mas kawin tersebut, tunai.” Sejenak, dunia seperti membeku. Lalu, saksi di kiri dan kanan penghulu mengangguk bersamaan. Suara pengesahan dari penghulu terdengar begitu menenangkan:
“Sah. Alhamdulillah...”
Senyum haru mekar di wajah semua yang hadir. Ibunya menutup wajah dengan kerudungnya, tak kuasa menahan air mata bahagia. Shifa, dari balik tirai, juga tak sanggup menyembunyikan gejolak perasaan yang tumpah lewat senyum dan tetes air mata. Cakra menoleh ke Gahar. Sosok yang selama ini menjadi panutannya menatapnya dalam-dalam, lalu tersenyum kecil dan mengangguk sekali lagi. Itu bukan sekadar gestur biasa, tapi isyarat bahwa kini, tanggung jawab sebagai laki-laki sejati telah berpindah tangan.
Langkah-langkah mantap terdengar menggema di aula yang telah dipenuhi tamu undangan. Cakra berjalan perlahan dengan seragam upacara lengkap jas kebesaran berwarna hijau dengan garis emas, topi perwira di tangan kiri, dan pedang upacara menggantung di pinggang kanannya. Seragam itu bukan sekadar pakaian, tapi lambang tanggung jawab dan kehormatan. Ruangan yang megah itu sunyi sejenak saat ia masuk. Semua mata tertuju padanya, tapi ia hanya tertuju pada satu titik.
Shifa.
Berdiri di ujung karpet merah, tepat di bawah lengkungan bunga, Shifa tampak begitu anggun dalam gaun pengantin dusty rose yang lembut. Gaun itu menjuntai sempurna, sederhana namun memukau, dengan veil tipis yang jatuh dari kepala hingga punggung. Wajahnya memerah, bukan karena riasan, tapi karena senyum malu-malunya yang begitu tulus.
Untuk sesaat, dunia berhenti berputar bagi Cakra. Langkahnya terhenti. Napasnya tercekat. Dalam batinnya, hanya satu suara bergema “Ini perempuan yang sekarang sah menjadi istriku.”
Ada desir halus di dadanya, bukan gugup… tapi perasaan hangat yang tidak bisa dijelaskan. Rasa syukur. Rasa percaya. Dan rasa cinta yang kini terasa lebih dalam dari sebelumnya.
Shifa menatapnya, dan saat mata mereka saling bertemu, senyumnya semakin dalam. Tatapan itu cukup untuk meyakinkan Cakra bahwa semua perjuangan, semua luka, semua pengorbanan semuanya bermuara di sini, pada Shifa. Ia melangkah kembali, mendekatinya dengan tenang. Beberapa tamu tersenyum melihat betapa dalamnya tatapan mereka satu sama lain. Dita yang duduk di kursi depan menutup mulut, menahan tangis haru.
Begitu sampai di hadapan Shifa, Cakra tak berkata apa-apa. Ia hanya mengulurkan tangan perlahan. Shifa menyambutnya. Tangan mereka bertaut. Dunia seakan menghela napas lega. Perjalanan mereka baru saja dimulai.
Setelah resepsi berjalan lancar, kini saat yang dinanti datang: Upacara Pedang Pora, tradisi kehormatan bagi seorang perwira yang melepas masa lajang.
Di halaman aula yang telah dihias dengan nuansa krem dan emas, enam sahabat Cakra sesama perwira berdiri membentuk dua barisan memanjang. Masing-masing memegang pedang upacara yang bersinar di bawah cahaya matahari sore. Cakra berdiri bersama Shifa, menggandeng tangan istrinya yang kini tampak semakin gugup namun bahagia. Di depannya terbentang gerbang pedang yang menjulang tinggi—simbol perjalanan baru sebagai suami istri.
“Siap?” bisik Cakra.
Shifa mengangguk kecil.
Komando terdengar. Pedang-pedang terangkat membentuk lengkungan indah di udara.
Cakra dan Shifa mulai melangkah perlahan melewati barisan itu.
Langkah demi langkah mereka ayunkan, melewati enam gerbang pedang yang megah. Setiap ayunan kaki terasa penuh makna. Para hadirin memberi tepuk tangan hangat, beberapa bahkan menyeka air mata—terutama Dita, yang memeluk tas kecilnya erat-erat. Di gerbang terakhir, salah satu rekan Cakra menurunkan pedangnya dan menghalangi jalan.
“Cium pengantin wanitamu untuk melanjutkan langkah!” katanya, berseru bercanda. Shifa menunduk malu, pipinya memerah. Cakra tersenyum, lalu menunduk pelan, mengecup kening Shifa dengan lembut. Tepuk tangan langsung pecah. Gerbang terakhir pun dibuka, dan mereka pun keluar dari formasi pedang pora dengan tawa bahagia. Kini, momen hening dan haru kembali menyelimuti ruangan. Shifa dan Cakra duduk bersimpuh di depan Dita dan Gahar. Musik gamelan lembut mengalun di latar. Cakra menunduk, mencium tangan ibunya terlebih dahulu. Dita mengusap kepala anaknya pelan.
“Kamu sekarang sudah menikah,” ucap Dita, suaranya bergetar.
“Semoga kamu bisa menjadi imam yang baik. Bahagiakan dia seperti kamu pernah bahagiakan ibu…”
Tangis mereka tak terbendung. Cakra memeluk ibunya erat, untuk waktu yang singkat namun terasa panjang dan hangat.
Lalu ia beralih pada Gahar.
Ayah sambung yang menjadi sosok panutan seumur hidupnya.
Cakra mencium tangannya dengan penuh takzim. Gahar menatapnya dengan mata berkaca.
“Sekarang kamu sudah menikah,” katanya tegas, tapi suaranya bergetar.
“Kamu bukan anak kecil lagi, om serahkan tanggung jawab kepala keluarga ke kamu.”
“Jaga dia, jangan pernah kau sakiti hatinya. Ingat itu baik-baik.” Cakra hanya mengangguk, tak sanggup berkata apa-apa. Ia menatap Shifa di sampingnya. Istrinya yang kini menjadi tanggung jawab hidupnya dalam suka maupun duka. Mereka bersimpuh berdua. Suasana ruangan hening, hanya isak haru terdengar dari tamu-tamu terdekat.
Pesta mulai mereda. Tamu-tamu sebagian besar telah pamit, hanya tersisa keluarga dekat dan para sahabat. Lampu aula diredupkan, menyisakan nuansa hangat dan romantis. Lagu lembut mengalun dari pengeras suara. Cakra dan Shifa duduk berdua di sudut ruang, di meja makan yang kini hanya tersisa piring-piring kosong dan gelas yang tinggal setengah isi. Di depan mereka, dua sendok dan satu mangkuk es krim yang sudah setengah mencair.
Shifa menatapnya dengan alis terangkat. “Dari mana kamu dapet es krim ini? Kayaknya tadi udah habis…” Cakra menyeringai nakal. “ngambil dari meja prasmanan. Yang paling pojok, belakang tumpukan buah. Nggak ada yang lihat, tenang aja,” katanya bangga sambil menyendok es krim ke mulutnya. Shifa terkekeh geli. “Dasar. Hari pertama jadi suami udah ngajak nggak bener.”
“Bukan kriminal. Ini bentuk kasih sayang suami ke istri yang manis,” ucapnya, lalu menyuapi Shifa dengan gaya khasnya. Mereka tertawa pelan. Suasana begitu damai sampai…
BRAK!
“WOI PENGANTIN BARU!”
Darma dan Hakim muncul dari sisi aula dengan gaya lebay, keduanya menyerbu meja mereka dengan senyum jahil yang sudah bisa ditebak. “Astaga…” Shifa langsung menutupi wajahnya dengan tangan, malu campur geli. Cakra pura-pura kesal. “Gue baru aja mulai adegan romantis loh!” Hakim duduk sembarangan di kursi kosong, mengambil sendok cadangan dan langsung mencolek es krim.
“Wah, ini yang katanya curian? Manis juga. Kayak cinta kalian~”
Darma ikut menyuap dengan santai. “Kami datang sebagai pengacau profesional. Tidak usah terima kasih.” Shifa tertawa tak tahan. Cakra menatap dua sahabatnya sambil geleng-geleng kepala. “Kalian tuh…”
“…sahabat terbaik sekaligus paling rese yang pernah gue punya.”
Mereka semua tertawa bersama. Keempatnya larut dalam canda dan obrolan ringan, meninggalkan segala penat. Di antara gurauan dan sisa-sisa es krim, kebahagiaan kecil itu menjadi kenangan hangat yang akan mereka simpan seumur hidup.
perhatikan lagi huruf kapital di awal paragraf