Rembulan Adreyna—seorang wanita muda yang tumbuh dari kehilangan dan kerja keras, hidupnya berputar di antara deadline, tanggung jawab,dan ambisi yang terus menekan. Hingga satu hari, langkahnya membawanya ke Surabaya—kota yang menjadi saksi awal pertemuannya dengan seorang pria bernama Bhumi Jayendra, CEO dingin pemilik jaringan hotel dan kebun teh di kaki gunung Arjuno.
Bhumi, dengan segala kesempurnaannya, terbiasa memegang kendali dalam segala hal—kecuali ketika pandangannya bertemu Rembulan untuk pertama kali. Di balik sorot matanya yang dingin, tersimpan sunyi yang sama: kehilangan, tanggung jawab, dan kelelahan yang tak pernah diucapkan.
Pertemuan mereka bukan kebetulan. Ia adalah benturan dua dunia—teknologi dan tradisi, dingin dan hangat, ambisi dan rasa takut. Namun perlahan, dalam riuh kota dan aroma teh yang lembut, mereka belajar satu hal sederhana: bahwa cinta bukan datang dari siapa yang lebih kuat, melainkan siapa yang lebih berani membuka luka lama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lacataya_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2 Saat Pandang Pertama Tak Berniat Menemukan
Udara Surabaya siang itu mulai terasa hangat. Langit biru pucat, dan di kejauhan, deretan gedung kaca memantulkan cahaya yang berkilau seperti cermin raksasa. Mobil yang dikendarai Lintang melambat ketika tulisan Arjuno Grand Hotel muncul dari balik barisan pohon palem di tepi jalan. Bangunan itu berdiri megah, fasadnya berwarna krem muda dengan dinding kaca yang berkilau di bawah matahari.
Cahaya siang menari di permukaan kaca, menciptakan pantulan langit dan awan yang bergerak pelan, seolah hotel itu sendiri menyimpan potongan langit di dindingnya. Bagi Bulan, yang terbiasa dengan gedung-gedung kaca Jakarta yang dingin, tempat ini terasa berbeda. Ada ketenangan yang aneh di balik kemewahannya — hangat, ramah, tetapi juga menyimpan kesunyian yang tak bisa dijelaskan.
dia menghela napas pelan. “Arjuno Grand Hotel,” bisiknya nyaris tanpa suara, seolah menyebut nama tempat yang diam-diam akan mengubah arah hidupnya. Bulan menatap gedung itu dari jendela.
“Wah… jadi ini Arjuno Grand Hotel?” gumamnya, setengah kagum, setengah kagum pada dirinya sendiri yang akhirnya bisa hadir di tempat sekelas ini bukan sebagai tamu biasa, tetapi sebagai pembicara.
“Cocok sangat buat event marketing kamu, Kak Bul,” ujar Lintang sambil turun lebih dahulu. “Hotel ini salah satu yang paling eksklusif di Surabaya, loh. Katanya pemiliknya masih muda tetapi super sukses. Arjuno grup, begitu katanya.”
Bulan membuka pintu, langkahnya anggun tetapi ringan. “Arjuno grup, ya?” dia mengulang pelan, seolah nama itu menyimpan makna yang belum dia tahu.
“Bener,” sahut Liora dari belakang, mengangkat map presentasi. “Katanya owner-nya tidak suka tampil di publik, tetapi kalau dia muncul, katanya auranya bisa bikin ruang jadi dingin plus merinding.”
Lintang menyeringai kecil. “Kayak ketemu hantu aja, eh — jangan-jangan nanti malah Kak Bul bertemu langsung tuh, terus jadi trending karena COO keren dari Jakarta debat sama CEO dingin dari Surabaya.”
“Lintang!” seru Bulan refleks, matanya membulat.
Liora tertawa keras. “Hahaha, imajinasi kamu kebanyakan nonton drama Korea, Lin.”
Ketiganya tertawa kecil sebelum melangkah masuk ke dalam lobi hotel. Begitu pintu kaca otomatis terbuka, hembusan udara sejuk langsung menyambut mereka, membawa aroma mawar putih dan kayu manis yang samar tetapi menenangkan. Aroma itu terasa seperti pelukan lembut setelah perjalanan panjang — hangat tetapi tetap memberi jarak yang anggun.
Langit-langit hotel menjulang tinggi, dihiasi lampu kristal besar yang memantulkan cahaya lembut ke segala arah. Ribuan kristal kecil di dalamnya berkilau seperti butiran cahaya matahari yang terjebak di udara. Cahaya itu menari di lantai marmer putih berurat keemasan, membuat setiap langkah terasa bergema lebih pelan, lebih berwibawa.
Di sisi kanan, barisan meja resepsionis dengan latar panel kayu hitam berlapis emas berdiri rapi, sementara di sisi kiri, lounge hotel dihiasi kursi beludru biru tua dan vas kaca tinggi berisi bunga segar. Suara lembut musik instrumental piano mengalun dari pengeras suara tersembunyi, menambah kesan elegan tanpa berlebihan.
Bulan sempat terdiam sejenak di depan pintu masuk, matanya menelusuri sekeliling dengan kagum yang dia sembunyikan di balik ekspresi profesional.
“Tempatnya... Luar biasa,” ucapnya pelan, nyaris seperti gumaman pada dirinya sendiri.
“Gue baru aja ngerasa miskin, padahal belum sempet bayar parkir,” celetuk Liora, yang langsung disambut tawa pelan dari Lintang.
Bulan menoleh, senyumnya muncul perlahan. “Lo gak miskin, Li. Lo cuma belum terbiasa dikelilingi kemewahan yang tidak perlu pamer.” Nada suaranya ringan, tetapi matanya kembali menatap langit-langit hotel dengan tatapan yang lebih dalam — seolah dia sedang membaca cerita tersembunyi di balik kemegahan tempat itu.
Di sudut ruangan, staf hotel berdiri tegak dengan senyum ramah. Salah satu dari mereka menunduk sopan, mempersilakan mereka menuju meja registrasi event. Langkah-langkah mereka di lantai marmer terdengar lembut, berirama dengan denting piano yang masih mengalun.
Entah mengapa, saat itu Bulan merasa seperti memasuki babak baru dalam hidupnya — bukan hanya karena acara hari ini, tetapi karena udara di ruangan itu seolah membawa sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang tak terlihat, tetapi membuat dadanya terasa hangat... dan sedikit berdebar tanpa alasan.
Bulan mendongak sebentar, mengatur napasnya. Dalam hati, dia berbisik, “Jakarta sudah tertinggal di belakang. Ini awal baru.”
Sementara itu, di lantai dua puluh tujuh hotel yang sama, Bhumi Jayendra baru saja selesai dari pertemuan singkat dengan kepala cabang resort di Batu. Langkahnya teratur, tubuhnya menjulang dengan kemeja putih, dasi abu-abu muda, dan jas abu muda yang membentuk bahu tegapnya sempurna. dia bukan tipe yang suka datang ke acara publik, tetapi hari ini entah mengapa pikirannya terus memikirkan nama itu: PT Global Teknologi.
Sebuah perusahaan digital baru yang dipimpin dua wanita muda dari Jakarta. dia bahkan tak tahu mengapa itu menarik perhatiannya. Mungkin karena dunia teknologi terasa asing baginya, berbeda dari dunia perhotelan dan perkebunan yang dia kuasai.
Atau mungkin karena suara hati kecil yang jarang dia dengarkan berkata, “Pergilah, ada sesuatu yang harus kamu lihat.”
Ballroom utama dipenuhi meja-meja bundar dengan taplak putih dan hiasan bunga hydrangea biru. Musik instrumental lembut mengalun dari pengeras suara. Para tamu duduk rapi — CEO, investor, dan para pengusaha lokal. Di sisi kanan ruangan, Bhumi berdiri tenang, menatap panggung dari lantai balkon atas, segelas teh melati di tangan.
Saat itu lampu mulai meredup. MC naik ke panggung, suaranya bergema lembut.
“Selanjutnya, kita akan menyambut tim dari PT Global Teknologi, perusahaan digital yang baru saja memperluas jaringannya ke Surabaya. Presentasi akan dibawakan langsung oleh COO mereka, Ibu Rembulan Adreyna.”
Nama itu terucap, dan Bhumi, tanpa sadar, berhenti bernapas sepersekian detik. Satu tangan yang memegang gelas teh terhenti di udara.
Rembulan...
Ada sesuatu dalam nama itu yang terasa familier, seperti gema lembut di kepala yang tak bisa dia jelaskan.
Dari balik layar, Bulan melangkah naik ke panggung. Dress abu-abu muda dengan potongan sederhana membingkai tubuh rampingnya dengan elegan. Rambut hitamnya dikuncir setengah, poni curtain bangs jatuh lembut di kedua sisi wajahnya. dia tampak profesional, tetapi juga memancarkan ketenangan yang tidak dibuat-buat.
Sorot matanya tegas ketika menatap layar presentasi di belakangnya, suaranya jernih namun lembut — seperti ombak kecil yang menenangkan tetapi tetap kuat memukul pantai.
“Selamat siang, Bapak dan Ibu sekalian. Kami dari PT Global Teknologi percaya bahwa inovasi terbaik bukan yang menggantikan manusia, tetapi yang membantu manusia bekerja dengan hati. Karena data hanyalah angka, hingga seseorang memberinya makna.”
Bhumi menatap tanpa sadar. dia tidak tahu apa yang menariknya — cara perempuan itu bicara, atau bagaimana suaranya terasa menembus dinding ruangan dan sampai ke dadanya tanpa izin.
Ada ketenangan di sana, tetapi juga luka samar yang dia rasakan entah dari mana.
Matanya mengikuti setiap gerak Bulan: tangan yang sesekali menekankan poin dengan elegan, senyum kecil saat audiensi mengangguk, dan sorot fokus di matanya yang penuh dedikasi.
Sementara dia sendiri, pria yang selalu bisa menguasai ruang, kini justru merasa ruang itu sedang menguasainya.
Setelah dua puluh menit presentasi, tepuk tangan bergema memenuhi ruangan. Bulan menunduk sopan, lalu tersenyum singkat — senyum yang sederhana, tetapi cukup untuk membuat Bhumi menatap sedikit lebih lama dari yang seharusnya.
Di sisi kanan panggung, sekretaris Bhumi menatapnya heran. “Pak Bhumi, apakah Anda ingin bertemu langsung dengan tim PT Global Teknologi setelah ini?”
Bhumi masih menatap panggung. Butuh waktu beberapa detik sampai dia menjawab, dengan suara rendah tetapi tenang, “Tidak. Belum sekarang.”
dia meletakkan gelas teh di meja kecil, lalu berjalan pelan meninggalkan ruangan itu. tetapi di langkah ketiganya, dia sempat menoleh lagi. Satu kali.
Cukup untuk memastikan bahwa senyum perempuan itu bukan halusinasi semata.
Sementara itu, di bawah panggung, Lintang menunggu kakaknya bersama Liora.
“Gila, Kak Bul! Tadi Kakak kayak presenter kelas dunia. Semua orang pada diem, loh,” katanya antusias.
Bulan tertawa kecil sambil menuruni tangga panggung. “Aku cuma ngelakuin tugas, Lin. Udah, ayo cepat — kita harus beresin check-in apartemen sore ini.”
Liora menyahut pelan, “Bulan, lo sadar gak? Tadi ada seseorang di sisi kanan yang tidak lepas liat lo dari awal sampai akhir.”
Bulan menatapnya bingung. “Seseorang?”
Liora mengangkat bahu, senyum misterius di wajahnya. “Gak tahu zzzzzzzzzsiapa, tetapi aura cowok itu... dingin, tetapi matanya panas sangat.”
Bulan terkekeh. “Lo kebanyakan baca novel, Li.”
Namun, tanpa dia sadari, langkah kakinya sedikit melambat saat keluar ballroom, seolah bagian dari dirinya diam-diam ingin tahu siapa yang dimaksud.
Langit sore di atas Surabaya berwarna keemasan. Di lantai dua belas, Bhumi berdiri di depan jendela kaca, memandangi kota yang perlahan tenggelam dalam cahaya matahari senja. Cangkir tehnya sudah dingin. tetapi di dalam dirinya, sesuatu baru saja mulai hangat — pelan, tetapi pasti.
**
Malam turun perlahan di atas Surabaya. Langitnya berwarna nila, menelan sisa jingga sore yang tadi masih menggantung di jendela hotel. Mobil yang dikendarai Lintang melaju pelan melewati jalanan kota yang ramai tetapi tertib, lampu-lampu jalan memantul di kaca depan seperti bintang yang turun terlalu dekat.
Di kursi belakang, Bulan bersandar lelah. Jas formalnya sudah dia lepas, dan rambut yang tadi tertata kini terurai lembut di bahu. Matanya menatap keluar jendela — melihat pantulan lampu toko, gedung-gedung tinggi, dan bayangan dirinya sendiri yang tampak samar di kaca.
“Capek banget, Kak Bul?” tanya Lintang dari depan sambil melirik kaca spion.
Bulan tersenyum kecil. “Capek, tapi lega. Presentasinya berjalan lancar. Aku cuma... ingin mandi air hangat dan tidur tanpa alarm besok pagi.”
“Setidaknya gak akan ada yang nanyain data sistem sampe tengah malam,” celetuk Liora, membuat mereka bertiga tertawa kecil.
Tawa yang ringan, tetapi hangat — suara yang membuat mobil malam itu terasa seperti rumah kecil di tengah kota besar.
Sekitar dua puluh menit kemudian, mereka tiba di apartemen baru Bulan — bangunan tinggi berwarna krem yang menghadap langsung ke jalan utama Surabaya. Dari lobi, pemandangan kota terlihat berkilau. Lampu kendaraan seperti aliran bintang di bumi, bergerak pelan di antara gedung-gedung yang menjulang.
Lift berhenti di lantai dua belas. Bulan membuka pintu unitnya perlahan, dan udara baru menyapa — ruangan yang masih setengah kosong, tetapi bersih dan rapi. Dinding putih, jendela besar, dan balkon kecil yang menatap langit malam.
“Wah…” seru Lintang sambil melangkah masuk, menaruh koper. “Aku sangat suka sama tempatnya, Kak Bul. Minimalis tetapi hangat. Cocok buat kamu.”
Lintang tidak tinggal dengan kakaknya, dia memilih ngekos dekat kampusnya agar lebih cepat sampai pagi hari. Lintang menyadari dirinya bukan tipe yang gampang bangun pagi, maka dari itu dia lebih memilih ngekos dekat kampus.
Bulan meletakkan tasnya di sofa abu-abu muda, lalu berjalan ke arah jendela. “Masih kosong, sih. Tapi nanti kalau udah ada rak buku sama tanaman sedikit, mungkin bakal kerasa kayak rumah.”
Liora membuka kulkas kosong dan tertawa. “Kecuali lo lupa belanja. Jangan-jangan hidup lo nanti cuma kopi sama mi instan.”
“Gak juga,” jawab Bulan sambil menatap pemandangan kota dari jendela. “Gue punya alasan buat makan bener sekarang. Ada Lintang yang bakal sering mampir.”
Lintang mendekat, memeluk kakaknya dari belakang. “Yaps, aku bakal sering gangguin Kak Bul-bul.”
Bulan tertawa kecil, tangannya menepuk kepala adiknya. “Kamu boleh ganggu, asal tidak bawa cucian dari kosan kamu.”
Suasana mereka penuh tawa ringan, tetapi di sela-sela itu ada keheningan yang manis — keheningan orang-orang yang akhirnya sampai di tempat aman setelah perjalanan panjang.
**
Beberapa kilometer dari sana, di kantor pribadi lantai tiga puluh Arjuno Grand Hotel, Bhumi Jayendra duduk di ruang kerjanya. Satu lampu meja menyala redup, menerangi setumpuk berkas di depannya yang belum dia sentuh sejak sore. Tablet di mejanya masih terbuka di halaman jadwal event, tetapi pikirannya… jauh sekali.
Suara Bulan masih terngiang di kepalanya — nada tenang tetapi berwibawa, seperti seseorang yang sudah terlalu sering bertahan tetapi tidak kehilangan kelembutan. dia bahkan mengingat jelas cara perempuan itu menatap audiensi — tidak mengintimidasi, tetapi mengundang untuk mengerti.
Bhumi bersandar di kursinya, melepaskan dasi, dan menatap keluar jendela besar yang menampakkan langit Surabaya malam itu. Dari ketinggian itu, lampu kota tampak seperti lautan bintang yang jatuh ke bumi. dia memutar cangkir teh di tangannya perlahan — kebiasaannya saat pikirannya tak tenang.
Sekretarisnya, Arsen, mengetuk pintu. “Pak Bhumi, ini laporan hasil event tadi sore. Saya taruh di meja, ya.”
Bhumi hanya mengangguk tanpa menoleh. “Terima kasih. Besok pagi kita bahas.”
Arsen hendak keluar, tetapi sempat menoleh. “Kalau boleh tahu, Pak… tadi Bapak kelihatan cukup fokus saat sesi presentasi PT Global Teknologi. Ada sesuatu yang menarik perhatian?”
Bhumi menatapnya sekilas, lalu berkata datar, “Tidak ada. Hanya cara mereka menyampaikan konsep yang... berbeda.”
tetapi saat Arsen menutup pintu dan keheningan kembali mengisi ruangan, Bhumi menarik napas panjang. dia tahu itu bukan tentang konsep. Bukan juga tentang bisnis.
Ada sesuatu yang berubah di dirinya sore tadi — sangat kecil, tetapi nyata. Sebuah rasa penasaran yang tidak bisa dia kendalikan.
dia berdiri dan berjalan mendekati jendela, menatap pantulan dirinya di kaca. Dalam bayangan itu, dia seperti melihat dua sosok — dirinya yang dingin, dan sosok perempuan yang dia lihat di panggung, yang entah mengapa terasa hangat meski jauh. Nama itu kembali muncul di kepalanya, pelan, seolah dibisikkan oleh udara malam:
Rembulan Adreyna.
Bhumi menatap kota yang bersinar di bawah sana, matanya tenang tetapi pikirannya tidak. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama, dia tidak tahu bagaimana cara mematikan pikirannya.
Di bawah langit yang sama, Bulan berdiri di balkon apartemennya, menatap bintang-bintang redup di langit Surabaya. Angin malam menyapu ujung rambutnya, membawa aroma teh samar dari kejauhan. Mereka tidak saling tahu, tetapi malam itu — di antara cahaya lampu kota — dua hati yang berbeda mulai berdetak di ritme yang sama.
**
tbc