Kita tidak pernah tau bagaimana Tuhan akan menuntut langkah kita di dunia. Jodoh.. meskipun kita mati-matian menolaknya tapi jika Tuhan mengatakan bahwa dia yang akan mendampingimu, tidak akan mungkin kita terpisahkan.
Seperti halnya Batu dan Kertas, lembut dan keras. Tidaklah sesuatu menjadi keindahan tanpa kerjasama dan perjuangan meskipun berbeda arah dan tujuan.
KONFLIK, SKIP jika tidak sanggup membacanya..!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bojone_Batman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
7. Berusaha sadar mencari jawaban.
"Apa begitu cara Papa mengajarimu?? Beraninya kamu membuka paha di hadapan laki-laki yang bukan suamimu." Senyum Pak Johan mendadak hilang. Ia hendak menampar putrinya tapi Bang Shano menahan tangannya.
"Salahkan saya sepenuhnya. Jena tidak pernah menggoda, saya yang tidak bisa menahan diri, sayalah yang kurang ajar." Kata Bang Shano secara ksatria mengakui kesalahannya.
Seringai di wajah Pak Johan begitu menakutkan, tak memikirkan pangkat dan derajat, Pak Johan menghajar Bang Shano tanpa ampun di hadapan Papa Rinto yang saat ini sudah menjabat sebagai pemegang tahta tertinggi dalam matranya.
Papa Rinto hanya bisa memejamkan mata namun inilah konsekuensi yang harus di tanggung putra keduanya karena melakukan kesalahan besar.
Satu tendangan mengarah pada Bang Shano tapi Jena menghadangnya, secepat itu pula Bang Shano sadar, ia memeluk Jena hingga tendangan tersebut sampai pada bagian ulu hatinya.
"Menikahlah, saya pasrahkan pada Abangmu. Tapi. Mulai detik ini juga, kau keluar dari rumah. Tidak ada kamu dalam hidup saya..!!" Ucap Pak Johan kemudian meninggalkan tempat. "Kamu mengecewakan almarhumah Mama."
💐💐💐
bruuugghh
Bang Shano tersentak dari lamunannya. Ia terjungkal dari kursi saking lelahnya dengan aktivitas yang ada. Jena hanya menoleh dengan wajah datar.
Tak paham mengapa sekujur tubuhnya tiba-tiba merasa ngilu dan nyeri seakan semua bayang dalam lamunannya bukanlah sekedar mimpi.
Hari sudah semakin siang. Para pengurus cabang menyudahi acara karena nampaknya Letnan Harshano sudah mulai lelah.
Bang Shano memfokuskan pandangannya. Pakaiannya lumayan basah, entah kenapa pakaiannya jadi terasa tidak nyaman. kemudian ia pun mengajak Jena keluar dari ruangan untuk makan siang.
"Mimpi buruk?" Tanya Jena. Wajahnya seakan penuh dendam dan kebencian.
"Haaa.. Oohh, nggak. Nggak mimpi apa-apa." Jawab Bang Shano yang tidak mungkin menceritakan mimpinya.
Bang Shano pun tak paham mengapa bisa terbayang angan sepanas dan separah itu bersama Jena. Kini perasannya semakin tak karuan, cemas sendiri membayangkan banyak hal.
...
"Tanya apa?"
"Semalam, ada pembicaraan apa antara kamu dan Hanan?? Lama sekali kalian, hanya berdua." Tanya Bang Shano ragu tapi sekaligus penasaran.
Jena malas sekali untuk menjawabnya apalagi tatap mata Bang Shano seakan menghakiminya penuh kebencian. "Abang hanya tanya soal semalam??"
Suasana terdiam sejenak.
"Seperti apa kata Jena kemarin, pa ca ran."
Bang Shano meneruskan acara makannya namun di dalam hatinya panas bagai bara api menyala dalam sekam. Perutnya terasa lapar tapi bayang tentang Jena dan Hanan terus membuatnya tidak tenang.
"Lain kali.. Abang akan menemanimu jalan, dek." Kata Bang Shano setengah terbata.
Kening Jena berkerut, tumben sekali suara pria di hadapannya ini melunak. Sesuatu yang langka untuk di rasakan.
"Abang ngigau atau mabuk tuak?"
Bang Shano menghela nafas. Biarlah gadis ini sembarang bicara asal tidak lagi bertemu wajah dengan Hananto. Wajah Jena yang sembab membuatnya gelisah.
'Nyata atau mimpi??? Kenapa aku tidak bisa mengingatnya??'
//
Papa Rinto, Ayah Rakit dan Ayah Johan duduk bersama. Situasi canggung masih kental terasa di antara mereka.
Risha pun meladeni mereka layaknya seorang istri dan menantu, jelas Papa Rakit begitu bangga karena putranya tidak salah memilih pasangan hidup.
"Silakan di minum, di cicipi kuenya."
"Panggil ayah to, ndhuk. Terima kasih ya sudah mau di repotkan." Kata Ayah Rakit.
Mama Ayu tersenyum kecut dengan suasana tersebut dan akhirnya turun tangan. "Mama bantu."
"Ngomong-ngomong Shano dimana? Kenapa belum kelihatan?" Tanya Papa Rinto.
"Tadi Shano nggak enak badan, menggigil. Mungkin istirahat sebentar sama Jena."
"Bocah itu niat atau tidak???" Papa Rinto mengepalkan jemarinya, namun dalam hatinya sudah penuh dengan umpatan.
...
Jena begitu sedih dan tidak bisa berbuat apapun melihat penolakan sang Ayah. Dengan tangan gemetar Jena menyerahkan kantong kecil berisi uang.
Pertemuan malam itu bukannya menjadi perundingan yang manis namun malah menjadi malapetaka bagi mereka.
"Ayah.. Ini uang untuk menebus ruko kita."
Pak Johan melirik dengan tatap mata geram. "Kau menjual diri untuk mendapatkan uang ini??"
Jena gelagapan menjawabnya.
"Matilah kah bersama uangmu. Kau bukan putriku..!!" Ucap tegas Pak Johan.
Jena terhuyung, Bang Shano pun memeluk Jena. Kejadian hari ini membuatnya begitu syok tanpa paham banyak situasi.
...
Bang Shano mencoba merenung dan mengingat apa yang terjadi namun tetap saja ingatannya tak juga terkumpul. Tiga batang rokok belum juga menjernihkan akal pikirnya.
"Ada apa ini Ya Allah, tolong jernihkan pikiranku. Apa yang sudah kulakukan hingga sekujur tubuhku terasa remuk." Gumam Bang Shano kemudian mengusap wajahnya.
"Lebih baik cepat kau hubungi Dewo." Tegur Bang Hananto.
"Apa kamu paham apa yang terjadi??" Tanya Bang Shano.
Bang Hananto menepuk bahu sahabatnya. Ia tersenyum tipis. Ada rasa prihatin yang tak terlukiskan. Pria di hadapannya itu sedang terjebak masalah besar yang jelas pasti terjadi tanpa disadari.
"Agaknya kamu belum bisa mengontrol diri. Periksakan lagi kondisimu, bicaralah dengan Papa mu. Siapa tau ada solusi dari beliau."
Bang Shano tersenyum kecut mendengarnya. "Kalau aku mati baru menjadi solusi terbaik."
.
.
.
.
okelll lanjutt MBK naraa