Bagaimana jika sahabatmu meminta mu untuk menikah dengan suaminya dalam bentuk wasiat?
Dara dan Yanti adalah sahabat karib sejak SMA sampai kuliah hingga keduanya bekerja sebagai pendidik di sekolah yang berbeda di kota Solo.
Keduanya berpisah ketika Yanti menikah dengan Abimanyu Giandra seorang Presdir perusahaan otomotif dan tinggal di Jakarta, Dara tetap tinggal di Solo.
Hingga Yanti menitipkan suaminya ke Dara dalam bentuk wasiat yang membuat Dara dilema karena dia tidak mencintai Abi pria kaku dan dingin yang membuat Yanti sendiri meragukan cinta suaminya.
Abi pun bersikukuh untuk tetap melaksanakan wasiat Yanti untuk menikahi Dara.
Bagaimana kehidupan rumah tangga Dara dan Abi kedepannya?
Follow Ig ku @hana_reeves_nt
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hana Reeves, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Belajar Menjadi Dewasa
Dara sedang bersiap untuk tidur ketika Naina, sepupunya mengetuk kamarnya. Diliriknya jam di dinding baru pukul 20.30, masih pagi untuk tidur cuma Dara merasa ingin istirahat cepat.
Dibukanya pintu kamarnya dan tampak Naina di depan dengan wajah gelisah.
"Ada apa Nai?" tanya Dara.
"Emmm mbak... dicari siswanya" bisik Naina. "Mbak ganti baju dulu deh" mata Naina menunjukkan daster kakak sepupunya yang hanya bertali spaghetti.
"Mbak, ganti baju dulu ya. Anaknya dimana?"
"Di teras mbak. Kasian dia kayaknya habis shock berat".
Dara mengangguk. Kemudian ia mengganti pakaiannya dengan kaos rumah yang sopan dan celana batik panjang. Tidak ada aura guru sama sekali jika dia seperti itu. Gadis itu kemudian keluar kamarnya lalu menuju teras, namun di ruang tamu ada kedua orangtuanya yang memberi kode bahwa ada anak lagi panik.
Dengan langkah perlahan, Dara menengok siapa yang datang ke rumahnya malam-malam.
"Tara?"
Anak itu, Tara, menatap Dara dengan raut wajah yang tidak bisa dijabarkan. Ada kesedihan, kemarahan, kecewa, murka... Dara sendiri tidak bisa menjabarkan.
"Bu Dara..." tanpa basa basi Tara menubruk gurunya dan menangis keras. Dara hanya bisa mengelus punggung siswanya yang tingginya melebihi Dara yang 168 cm.
Kedua orang tua Dara pun tercengang melihat putrinya dipeluk siswanya. Pelan Dara membawa Tara yang masih menangis masuk dan dituntunnya untuk duduk di sofa ruang tamu.
Bu Haryono kemudian membawakan teh hangat untuk Tara yang masih menangis di pangkuan sambil memeluk Dara sekarang.
"Nak, ayo udah nangisnya. Kasian Bu Dara keberatan kamu peluk gitu. Kamu besar soalnya badannya, Bu Dara kecil gitu" bujuk Bu Haryono dengan sedikit bercanda.
Bisa berabe kalau nak Abi lihat Dara dipeluk siswanya begini.
Tara pun mulai melerai pelukannya. Pak Haryono memberikan tisu kepada anak remaja itu, sedangkan Bu Haryono pelan memberikan teh manisnya.
"Minum dulu ya nak. Tenangkan hatinya dulu" bujuk Bu Haryono sambil mengelus punggung Tara.
Ketiga orang disana dengan sabar menunggu Tara menenangkan dirinya. Setelah beberapa saat, anak remaja itu mulai tenang.
"Udah tenang kamu nak?" tanya Pak Haryono.
Tara mengangguk.
"Kamu kenapa Tara? Ohya ini orangtua Bu Dara, bapak dan ibu Haryono. Kamu boleh manggil Oom dan tante atau eyang kalau mau" senyum Dara.
"Enak ajah eyang, ibu masih muda ini" Bu Haryono membalas omongan putrinya dengan cemberut.
"Kamu udah maem belum?" tiba-tiba Naina muncul dari dapur. Meskipun dia termasuk pemalu jika bertemu orang asing, namun melihat seorang anak yang terluka membuatnya iba.
Tara menggeleng.
"Mbak ambilkan maem ya" Naina masuk kembali ke dalam.
Tara menatap Dara dengan tatapan bertanya.
"Itu adik Bu Dara, namanya mbak Naina, dosen di UNS."
Tara masih diam. Rasanya nyaman dan hangat di rumah Bu Dara, tidak seperti di rumahnya.
Tak lama, Naina keluar dengan membawakan pizza mie yang dibuat dari mie instan.
"Maaf nasinya abis ternyata jadi mbak bikin ini. Maaf ya cuma ada ini" Naina menyerahkan piring berisi pizza mie yang disertai saus sambal dan mayonaise.
"Apa...apa nggak papa saya makan?" tanya Tara pelan. Jujur dia lapar sekarang.
"Maem saja nak, yang penting kamu ada energi masuk karena nangis itu nguras energi" kekeh pak Haryono.
Suara ponsel dari kamar Dara terdengar.
"Bu Dara terima telpon dulu ya Tara. Kamu disini dulu sama mbak Naina, Oom dan Tante ya".
Tara mengangguk sambil mengunyah pizza mie nya.
Dara pun masuk ke kamar dan dilihatnya layar ponselnya ada nama Bu Sofia Ibunya Bamantara. Dara selalu menuliskan nama orang tua siswanya seperti itu.
"Selamat malam Bu Sofia"
"Bu Dara..." suara Bu Sofia terdengar sedih.
"Kalau ibu mencari Tara, dia ada di rumah saya dan sekarang ada di ruang tamu bersama orang tua saya."
"Syukurlah" suara Bu Sofia terdengar lega.
"Bu Sofia mau menjemput Tara?"
Hanya ada kesunyian di sebelah sana.
"Saya titip Tara ya Bu Dara. Kalau Tara mau pulang ke rumah, bilang saya tidak ada disana agar tidak bertemu saya." dapat didengar suara Bu Sofia bergetar menahan tangis.
"Nanti saya akan bujuk Tara, bu. Tapi alangkah baiknya ibu tetap di rumah jangan melarikan diri karena perbuatan ibu hanya semakin membuat jurang komunikasi ibu dan Tara melebar. Jika ibu dan Tara ingin berkonsultasi dengan saya, Monggo bisa bertemu di sekolah."
"Terimakasih Bu Dara. Selamat malam."
"Malam."
Dara menyimpan ponselnya di meja rias lalu keluar dari kamar. Tampak di ruang tamu, ayahnya mengajak ngobrol Tara seputar otomotif yang membuat wajah remaja itu lebih relaks.
"Telpon dari siapa Ra?" tanya ibunya.
"Dari ibunya Tara" jawab Dara sambil tersenyum kepada Tara sedangkan remaja itu mendengus kesal.
"Tara, cerita sama ibu. Apa yang terjadi antara kamu dan mama kamu?" tanya Dara lembut.
Tara memandang Dara, lalu kedua orangtuanya Dara dan Naina.
"Tara nggak enak Bu. Tara malu" bisiknya.
"Kalau kamu nggak mau cerita, ibu minta kamu pulang ke rumah kamu. Tidak baik kamu minggat begini" Dara menatap Tara mengintimidasi.
Tara terkesiap melihat wajah gurunya yang sudah menjadi galak mode on seperti biasanya. Akhirnya dia memberanikan diri menceritakan semuanya.
Kedua orang tua Dara dan Naina tersenyum maklum anak ABG ini suka dengan gurunya. Wajar lah umur-umur segini.
"Nak Tara, boleh bapak eh Oom bicara?" Tara mengangguk ke pak Haryono.
"Oom tidak menyalahkan ibu nak Tara atau nak Tara sendiri karena kalian masih diselimuti emosi, masing-masing merasa dirinya benar dan masing-masing merasa dirinya terluka. Kita berbicara sebagai sesama pria, oke? Mau semarah apapun nak Tara ke ibu, memang tidak patut mengatakan hal-hal seperti itu."
Tara menunduk.
"Ibu nak Tara ada alasan tersendiri kenapa bisa seperti itu, ayah nak Tara pun sama. Oom tidak tahu latar belakang kedua orang tua nak Tara tapi kita sebagai anak, terkadang harus bisa berpikir lebih dewasa daripada orang tua kita sendiri. Dan mungkin sekarang ibu nak Tara ada rasa sesal selama ini tidak mau mengerti anak dan bagaimana nak Tara untuk mengeluarkan uneg-uneg itu benar tapi caranya salah."
"Mama susah kalau diajak bicara baik-baik Oom. Ada saja alasannya. Mungkin ini puncak kekesalan saya ditambah Bu Dara mau menikah dan pergi ke Jakarta. Saya merasa tidak ada yang bisa mengerti bagaimana perasaan saya sebagai anak. Sampai-sampai saya berjanji pada diri saya sendiri, jika saya menikah dan punya anak nanti, saya tidak mau seperti orang tua saya yang hanya memikirkan harta tapi interaksi pada anak tidak ada. Dianggapnya anak nilai raport bagus, ya sudah. Uang sekolah, uang jajan terpenuhi, cukup. Tapi bukan harta yang membuat saya bahagia." Tara mengusap air matanya lagi.
"Oom tahu tapi semua sudah terjadi. Terkadang untuk menyadarkan seseorang melalui beberapa tahap. Tahap halus, tahap sedang, tahap kasar cenderung brutal. Nak Tara di tahap ketiga karena kekesalan yang menumpuk lama hingga stok sabar habis dan akhirnya muntab." Pak Haryono menatap lembut ke Tara.
"Oom minta, nak Tara mampu bersikap lebih bijak walaupun di usia nak Tara masih labil tapi inilah proses pendewasaan diri. Oom bukan sarjana psikologi seperti putri Oom tapi Oom sudah banyak makan asam garam kehidupan. Oom minta nak Tara mampu berpikir lebih dewasa."
Tara menatap orang-orang di sekitarnya. Tidak ada yang menjudge dia denga. sikapnya seperti itu kepada sang mama.
"Nak Tara, gimana?" tanya Bu Haryono.
"Tara malu ketemu mama Tante." bisiknya.
"Apakah kamu tahu, mamamu juga malu bertemu denganmu" senyum Dara. "Bahkan tadi mamamu rela pergi agar kamu mau pulang ke rumah."
"Tara harus gimana Bu?"
"Karena kamu sekarang sudah tenang dan perut kenyang, hemat mbak ada baiknya kamu pulang, minta maaf sama mama. Ngobrolah dari hati ke hati. Mbak yakin mama mu sekarang mau mendengarkan dirimu. Buktinya mamamu menelpon mbak Dara karena dia mengkhawatirkan dirimu" ucap Naina.
"Bicaralah dengan mama baik-baik seperti kita ini. Tante yakin jika emosi dan ego bisa ditekan, akan enak nantinya untuk bercerita apapun itu. Percaya sama Tante." Bu Haryono mengusap kepala Tara.
Begini rasanya diusap oleh ibu di kepalaku.
"Baiklah, Tara pulang Oom, Tante, Bu Dara, mbak Naina. Maaf kalau Tara merepotkan" ucap Tara.
"Nggak papa kok nak, kami malah bersyukur kamu datang kemari bukan mencari pelampiasan yang negatif" pak Haryono berdiri dan menepuk bahu Tara.
Akhirnya Tara pulang ke rumahnya dengan hati lebih tenang apalagi keluarga Dara mengijinkan Tara bermain ke rumah jika membutuhkan teman ngobrol. Bahkan pak Haryono ingin mengajak Tara belajar tanaman agar ada kesibukan nanti saat liburan semester.
Dara masuk ke dalam kamarnya lalu ia mengganti bajunya ke daster kesayangannya.
Dilihatnya ada notifikasi di ponselnya.
Selamat tidur Adara.
Bibir indah Dara tanpa sadar tersenyum.
***
Yuhuuu
Up lagi yaaaa
Jangan lupa like vote n gift
Tararengkyu ❤️🙂❤️