Saran author, sebelum membaca novel ini sebaiknya baca dulu "Gadis Bayaran Tuan Duren" ya kak. Biar ceritanya nyambung.
Novel ini menceritakan tentang kehidupan putra dari Arhan Airlangga dan Aina Cecilia yaitu King Aksa Airlangga dan keempat adiknya.
Sejak tamat SMP, Aksa melanjutkan studinya di Korea karena satu kesalahan yang sudah dia lakukan. Di sana dia tinggal bersama Opa dan Oma nya. Sambil menyelesaikan kuliahnya, Aksa sempat membantu Airlangga mengurusi perusahaan mereka yang ada di sana.
Tak disangka sebelum dia kembali, sesuatu terjadi pada adiknya hingga menyebabkan sebuah perselisihan yang akhirnya membuat mereka berdua terjebak diantara perasaan yang seharusnya tidak ada.
Bagaimanakah kelanjutan ceritanya?
Jangan lupa dukungannya ya kak!
Semoga cerita ini berkenan di hati kakak semua.
Lope lope taroroh untuk kalian semua 😍😍
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kopii Hitam, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TPTG BAB 32.
Pukul empat sore mobil yang dikendarai Rai dan Hendru tiba berbarengan di depan kediaman Airlangga. Setelah memarkirkan mobil tersebut, keempat pria tampan beda generasi itu turun dan melangkah memasuki rumah.
Sesampainya di dalam, Arhan, Hendru dan Rai duduk di sofa ruang tengah. Sedangkan Aksa langsung berjalan menuju ke belakang mencari keberadaan Aina.
Sebenarnya Aksa masih sangat enggan pulang ke rumah, tapi karena permintaan Arhan di kantor tadi, mau tidak mau dia terpaksa menurut. Dia tidak ingin mengecewakan Aina yang tengah bersedih karena kehilangan dirinya. Dia juga tidak mau dianggap anak durhaka.
"Sore Bun, Tan, lagi ngapain? Mama mana ya?" sapa Aksa saat melewati dapur, tapi tak melihat Aina di sana. Manik mata Aksa menggelinding menyisir sudut lainnya.
"Aksa..." pekik Nayla dan Inda berbarengan. Keduanya berhamburan dan berlari ke pelukan Aksa.
"Sayang, kamu kemana saja Nak?" tanya Nayla lirih.
"Iya, kenapa kamu baru pulang? Mama kamu sedih tuh, dari tadi mengurung diri terus di kamar. Katanya kamu sudah tidak sayang lagi sama Mama." sambung Inda dengan air muka sendu.
"Kemarin Aksa ada keperluan Bun, Tan, makanya tidak langsung pulang." alibi Aksa mengalihkan kebenaran. Dia tidak ingin masalahnya dan Inara diketahui semua orang. "Ya sudah, Aksa ke kamar Mama dulu ya."
Nayla dan Inda melepaskan pelukan mereka. "Iya Nak, pergilah! Kasihan Mama," ucap keduanya bersamaan.
Setelah pelukan mereka terlepas, Aksa meninggalkan dapur dan berjalan melewati ruang tengah. "Rai, kau masuklah ke kamarmu! Aku mau menemui Mama dulu di atas."
"Kamar? Kamar yang mana?" Rai mengerutkan kening, dia tidak tau kamar mana yang dimaksud oleh Aksa. Salah-salah dia bisa dipenggal sama sahabatnya itu.
"Tuh, di sana. Kau lurus saja dulu, nanti mentok ketemu pintu kamar di sebelah kanan." Aksa menunjuk ke arah pojok ruangan yang dia maksud.
"Ya sudah, kebetulan aku mau istirahat sejenak." Setelah memperhatikan kemana jari telunjuk Aksa mengarah, Rai pun melenggang menuju kamar tersebut. Kamar yang dulunya akan diberikan kepada Baron dan Inda, tapi malah ditolak oleh mereka karena lebih memilih tinggal di paviliun depan.
"Pa, Yah, Aksa ke atas dulu ya. Mau lihat Mama," ucap Aksa kepada Arhan dan Hendru yang masih duduk di ruang tengah.
"Iya Nak, pergilah!" sahut keduanya bersamaan.
Aksa langsung berbalik dan berjalan mendekati anak tangga yang lebih dekat dengan dirinya, lalu menaikinya menuju lantai dua.
Saat kaki Aksa baru menapak di atas sana, matanya tiba-tiba tertuju ke arah pintu kamar Inara. Air mukanya mendadak sendu mengingat kenangannya bersama gadis itu. Aksa sebenarnya rindu, tapi keadaan membuatnya harus menahan diri untuk tidak mendekati Inara.
Bukan apa-apa, di kantor tadi Hendru sudah menceritakan niatnya untuk menikahkan Inara. Pertunangan akan dilangsungkan dalam waktu dekat, sementara pernikahan akan dilaksanakan setelah Inara wisuda.
Berat rasanya mengindahkan keinginan Hendru itu, tapi Aksa tidak bisa menentangnya. Apapun keputusan Hendru, mungkin itulah yang terbaik buat Inara. Aksa hanya berharap Inara bisa bahagia dengan perjodohan ini.
Dengan langkah gontai, Aksa melanjutkan langkahnya menuju kamar Aina. Tanpa mengetuk, Aksa langsung menekan kenop pintu dan mendorongnya sedikit.
Dari balik pintu, Aksa mendapati Aina yang tengah berbaring di atas ranjang. Mata ibu tiga anak itu terpejam tapi jelas terlihat jejak air mata yang baru saja mengalir di sudut matanya, kantung matanya nampak hitam dan sembab.
"Ma..." lirih Aksa sambil berjalan menghampiri Aina.
Aina tak menyahut, dia seperti tengah berada di alam mimpi. Ya, Aina mendengar suara itu namun tidak berdaya menjawabnya. Lidahnya mendadak kelu untuk berucap.
"Ma..." lirih Aksa lagi. Dia menekuk kaki di sisi ranjang dan mengusap lengan Aina dengan lembut.
"Ma, ini Aksa. Aksa sudah pulang," Dengan perasaan yang bercampur aduk antara sedih dan juga bimbang, Aksa menunduk lalu mengecup pipi Aina.
Perlahan mata Aina mulai terbuka saat merasakan sentuhan putra sulungnya, Aina tau itu Aksa. Perasaannya sebagai seorang ibu tidak mungkin salah.
Saat manik mata keduanya bertemu, bongkahan air mata Aina kembali berjatuhan. Percaya tak percaya tapi dia benar-benar melihat putranya. Bola mata berwarna coklat milik Aksa menyiratkan kesedihan yang mendalam di hatinya. Bukannya dia sengaja menjauh, tapi ada alasan yang tidak bisa dia utarakan untuk saat ini.
"Aksa, kamu pulang Nak?" Dalam balutan tangis dan duka lara, Aina tersentak dan berhamburan dari pembaringannya. Pelukan hangat seorang ibu menyatu mendekap luka yang berkembang biak di relung hati Aksa.
"Mama kenapa begini Ma? Aksa di sini, Aksa tidak kemana-mana." lirih Aksa dengan mata berkaca. Saking tak kuasa menahan diri, satu bongkahan bening turun dari sudut matanya.
"Jangan pergi lagi sayang, Mama mohon! Sudah cukup Mama berpisah selama tujuh tahun dengan kamu, Mama tidak mau lagi. Biarkan Mama menikmati hari tua Mama dengan kalian semua anak-anak Mama, kalian tidak boleh kemana-mana lagi." isak Aina berderai air mata, pernafasannya mulai menyempit hingga menyebabkan sesak di dada.
"Aksa tidak pergi kok Ma, Aksa masih di sini. Hanya saja-"
"Hanya saja apa Aksa?" potong Aina sembari melepaskan pelukannya. Dia dengan cepat menyeka air mata serta ingus yang keluar dari mata dan hidungnya.
Aksa bergeming untuk sesaat, kemudian membantu Aina membersihkan sisa-sisa air mata dan ingus yang masih mengalir di hidung sang mama. "Tidak apa-apa Ma, yang penting Aksa sudah pulang. Mama jangan sedih lagi ya!" alibi Aksa mengalihkan perhatian Aina. Hampir saja dia keceplosan, entah apa yang akan terjadi saat Aina tau bagaimana perasaan Aksa saat ini.
Kembali Aksa memeluk Aina dan mencium keningnya, tangannya bergerak naik turun mengusap lengan sang mama dengan harapan Aina bisa tenang dan tidak sedih lagi.
Ditengah-tengah kehangatan pelukan yang tercipta diantara ibu dan anak itu, Arhan datang dan tersenyum melihat keduanya. "Mentang-mentang sudah ada putra kesayangan, terus suami dianggurin begitu saja. Hadeh, nasib nasib..."
Arhan mengulum senyum dan memilih duduk di sofa sembari menikmati pemandangan itu.
"Apaan sih Bang? Masa' sama putra sendiri cemburu sih?" Aina menjauh dari pelukan Aksa, lalu mengerucutkan bibir mengarah pada Arhan.
"Tuh kan, giliran putranya di sayang-sayang. Giliran suami dicemberuti. Ah, emang dasar pilih kasih wanita satu ini. Pergi dulu ah," Arhan kembali bangkit dari duduknya dan berjalan menuju pintu.
"Tunggu! Abang mau kemana?" sorak Aina yang membuat langkah Arhan terhenti seketika.
"Nyari daun muda, yang pastinya lebih segar dan enak buat dipeluk." jawab Arhan enteng. Sepertinya sifat jahil Arhan tak mau hilang sejak dulu, dia paling suka bikin Aina kesal dan cemburu.
"Ingat umur Bang! Sudah tua, jangan sok-sokan mau nyari daun muda! Malu sama uban nya tuh," sindir Aina yang membuat Arhan langsung putar badan dan urung meninggalkan kamar.
Padahal Arhan cuma mau pergi ke kamar Avika, tapi ucapan Aina barusan membuat nyalinya remuk dan terhempas dengan gelombang dahsyat. Pakai sebut-sebut uban segala, Arhan kan jadi malu mendengar itu.
"Hahahaha... Ingat ya Pa, sudah tua! Jangan macam-macam kalau tidak mau menduda lagi!" ejek Aksa sambil menertawakan Arhan sampai terpingkal-pingkal.
Bersambung...