Winter Alzona, CEO termuda dan tercantik Asia Tenggara, berdiri di puncak kejayaannya.
Namun di balik glamor itu, dia menyimpan satu tujuan: menghancurkan pria yang dulu membuatnya hampir kehilangan segalanya—Darren Reigar, pengusaha muda ambisius yang dulu menginjak harga dirinya.
Saat perusahaan Darren terancam bangkrut akibat skandal internal, Winter menawarkan “bantuan”…
Dengan satu syarat: Darren harus menikah dengannya.
Pernikahan dingin itu seharusnya hanya alat balas dendam Winter. Dia ingin menunjukkan bahwa dialah yang sekarang memegang kuasa—bahwa Darren pernah meremehkan orang yang salah.
Tapi ada satu hal yang tidak dia prediksi:
Darren tidak lagi sama.
Pria itu misterius, lebih gelap, lebih menggoda… dan tampak menyimpan rahasia yang membuat Winter justru terjebak dalam permainan berbeda—permainan ketertarikan, obsesi, dan keintiman yang makin hari makin membakar batas mereka.
Apakah ini perang balas dendam…
Atau cinta yang dipaksakan takdir?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S. N. Aida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25 — “Perjalanan Bisnis ke Tokyo”
Udara musim gugur di Tokyo terasa tajam dan menusuk saat Winter dan Darren melangkah keluar dari Terminal Kedatangan Bandara Haneda. Kota ini tidak banyak berubah dalam sembilan tahun; aroma udara yang bersih, hiruk pikuk yang teratur, dan papan reklame neon yang menyilaukan masih sama seperti saat Winter berdiri di sini sendirian, menanti pria yang tak pernah datang.
Perjalanan di pesawat selama tujuh jam adalah siksaan bagi Winter. Meskipun mereka duduk di first class, kehadiran Darren yang hanya berjarak beberapa inci darinya terasa lebih menyesakkan daripada kabin ekonomi yang sempit. Darren menghabiskan sebagian besar waktu dengan bekerja di laptopnya, sesekali memesan kopi hitam tanpa gula, tanpa mengucapkan sepatah kata pun selain urusan logistik.
"Mobil sudah menunggu di luar, Nona Winter," ujar seorang asisten lokal yang menyambut mereka.
Mereka berkendara menuju distrik Minato, tempat hotel bintang lima yang telah dipesan oleh tim Alzona berada. Winter menatap keluar jendela, melihat Menara Tokyo yang berdiri kokoh di kejauhan. Kenangan tentang janji-janji manis Darren di bawah menara itu tiba-tiba melintas, membuat dadanya terasa nyeri.
Sesampainya di hotel, masalah pertama muncul.
"Maaf, Nona Alzona," ujar resepsionis dengan sopan dalam bahasa Inggris yang kaku. "Kami mengalami kendala teknis pada sistem reservasi kami. Kamar Suite kedua yang Anda pesan mengalami kerusakan pada pipa air pagi ini. Karena saat ini sedang musim konferensi, kami tidak memiliki kamar kosong lain yang setara."
Winter mengerutkan dahi, firasat buruk mulai merayap. "Lalu apa solusinya?"
"Kami telah menyiapkan Imperial Suite untuk Anda dan Tuan Reigar. Itu adalah kamar terbesar kami dengan ruang tamu luas, namun... hanya memiliki satu kamar tidur utama dengan tempat tidur King-size."
Winter langsung menoleh ke arah Darren yang berdiri di sampingnya dengan wajah datar, seolah sudah menduga hal ini. "Tidak bisa. Aku ingin kamar lain, bahkan jika itu kamar standar."
"Maaf sekali, Nona, kami benar-benar penuh. Namun, suite ini memiliki sofa yang sangat nyaman di ruang tamu jika memang diperlukan," tambah resepsionis itu dengan nada menyesal.
Winter ingin memprotes lebih jauh, namun Darren melangkah maju, menyerahkan paspornya. "Kami ambil kamarnya. Terima kasih."
"Darren!" desis Winter saat mereka berjalan menuju lift. "Kau melakukannya sengaja, kan? Kau menyabotase reservasi ini?"
Darren menekan tombol lantai teratas. "Jangan terlalu narsis, Winter. Aku bahkan tidak tahu timmu memesan hotel yang mana sampai kita mendarat. Ini murni kesalahan hotel. Dan jujur saja, aku terlalu lelah untuk berdebat soal tempat tidur."
Pintu lift terbuka di lantai 45. Imperial Suite itu memang luar biasa mewah. Pemandangan kota Tokyo terbentang luas dari jendela setinggi langit-langit. Di tengah ruangan, sebuah tempat tidur raksasa dengan seprai sutra putih tampak seperti medan perang yang sedang menunggu.
Winter meletakkan tasnya di sofa dengan kasar. "Kau tidur di sofa."
Darren melepaskan jam tangannya, meletakkannya di meja rias. "Sofa itu pendek, Winter. Kakiku akan menggantung. Dan besok kita punya pertemuan merger dengan direksi Japan Tech pukul sembilan pagi. Jika aku kurang tidur, negosiasimu akan berantakan."
"Itu bukan urusanku!"
Darren berbalik, menatap Winter dengan pandangan yang membuat wanita itu terdiam. "Kita sudah menikah secara hukum, Winter. Kita sudah berbagi rumah di Jakarta. Apa yang kau takutkan? Bahwa di kota ini, kau tidak akan bisa menahan diri untuk tidak memelukku saat kau kedinginan?"
"Dalam mimpimu, Reigar!" Winter menyambar jubah mandinya dan bergegas masuk ke kamar mandi, mengunci pintu dengan keras.
Malam itu, ketegangan di dalam kamar terasa lebih tinggi daripada ketinggian gedung hotel tersebut. Setelah mandi, Winter keluar mengenakan piyama sutra tertutup, sementara Darren sudah berbaring di satu sisi tempat tidur, masih mengenakan kaos hitam, sibuk dengan tabletnya.
Winter ragu-ragu di pinggir tempat tidur. Ia merasa sangat lelah, namun pikiran untuk berbagi tempat tidur dengan Darren membuatnya terjaga.
"Naiklah, Winter. Aku tidak akan menggigitmu kecuali kau yang memintanya," ujar Darren tanpa mengalihkan pandangan dari tabletnya.
Winter akhirnya naik ke sisi lain tempat tidur, menjaga jarak sejauh mungkin hingga ia hampir jatuh dari pinggir. Keheningan yang mengikuti begitu panas dan berat. Suara detak jam dinding seolah berdentum di telinga Winter. Ia bisa merasakan panas tubuh Darren yang memancar dari sisi sebelah, sebuah gravitasi yang sangat sulit diabaikan.
"Kenapa kau tidak pernah datang hari itu?" tanya Winter tiba-tiba. Suaranya kecil, nyaris tenggelam dalam keheningan malam Tokyo.
Pertanyaan itu sudah ia simpan selama sembilan tahun. Ia tidak berencana menanyakannya malam ini, tapi atmosfer Tokyo seolah-olah memaksa kejujuran itu keluar.
Gerakan tangan Darren di tablet terhenti. Ia meletakkan perangkat itu di meja samping tempat tidur dan mematikan lampu utama, hanya menyisakan lampu kota yang remang-remang menembus jendela.
"Aku datang, Winter," bisik Darren.
Winter berbalik, menatap bayangan Darren di kegelapan. "Bohong. Aku menunggumu di stasiun Shinjuku sampai kereta terakhir berangkat. Aku menunggumu di bawah salju sampai kakiku membeku."
"Aku datang," ulang Darren, suaranya mengandung kepedihan yang sangat dalam. "Tapi aku berdiri di seberang jalan. Aku melihat ayahmu turun dari mobil hitam, menemuimu, dan menunjukkan dokumen yang mengatakan bahwa jika aku mendekatimu, dia akan menjebloskan ayahku ke penjara malam itu juga karena kasus penipuan yang dia rekayasa."
Winter tertegun. Napasnya tercekat.
"Aku berdiri di sana, Winter. Hanya berjarak lima puluh meter darimu. Aku melihatmu menangis, dan aku harus menahan diri agar tidak berlari memelukmu karena aku tahu, satu langkahku ke arahmu berarti kehancuran total bagi keluargaku. Ayahmu tidak memberiku pilihan."
"Kenapa kau tidak mengatakannya lewat telepon? Kenapa kau menghilang begitu saja?"
"Teleponku disadap. Setiap gerak-gerikku diawasi. Ayahmu ingin aku menghilang sepenuhnya dari hidupmu agar kau bisa 'fokus' menjadi ahli waris Alzona yang sempurna. Dan dia berhasil, bukan?" Darren berbalik menghadap Winter. Di bawah cahaya remang, mata mereka bertemu. "Dia membuatmu membenciku, dan kebencian itu yang membuatmu menjadi CEO yang hebat sekarang."
Winter merasakan air mata mulai menggenang. "Jadi... semua ini adalah permainan ayahku?"
"Kita berdua hanyalah pion, Winter. Tapi sekarang, kontrak ini adalah caraku untuk mengambil kembali apa yang seharusnya menjadi milik kita. Bukan perusahaan, bukan uang... tapi kesempatan untuk bicara jujur padamu di kota ini."
Darren mengulurkan tangannya, ragu-ragu sejenak, sebelum akhirnya menyentuh pipi Winter yang basah oleh air mata. Kali ini, Winter tidak menghindar. Sentuhan itu terasa sangat familiar, sangat hangat, dan sangat menyakitkan.
"Aku membencimu karena kau tidak cukup kuat untuk melawannya," isak Winter.
"Aku tahu. Dan aku membenci diriku sendiri lebih dari kau membenciku," balas Darren pelan.
Keheningan kembali menyelimuti mereka, namun kali ini terasa berbeda. Bukan lagi keheningan yang penuh amarah, melainkan keheningan yang penuh dengan duka atas waktu yang hilang. Di antara kota asing ini dan rasa aneh yang kembali bersemi, Winter menyadari bahwa musuh yang selama ini ia lawan mungkin bukan pria yang ada di depannya, melainkan bayang-bayang masa lalu yang sengaja diciptakan untuk memisahkan mereka.
Malam itu, di kamar hotel yang tinggi di atas Tokyo, jarak di antara mereka memang minim secara fisik, namun secara emosional, ada jurang besar yang mulai perlahan-lahan tertutup oleh kejujuran yang pahit. Winter tertidur dalam kondisi masih merasakan jari-jari Darren yang mengusap lembut rambutnya—sebuah kenyamanan yang seharusnya tidak terjadi, namun sangat ia butuhkan.