"Ambil saja suamiku, tapi bukan salahku merebut suamimu!"
Adara yang mengetahui pengkhianatan Galang—suaminya dan Sheila—sahabatnya, memilih diam, membiarkan keduanya seolah-olah aman dalam pengkhianatan itu.
Tapi, Adara bukan diam karena tak mampu. Namun, dia sudah merencanakan balas dendam yang melibatkan, Darren—suami Sheila, saat keduanya bekerjasama untuk membalas pengkhianatan diantara mereka, Darren mulai jatuh dalam pesona Adara, tapi Darren menyadari bahwa Adara tidak datang untuk bermain-main.
"Apa yang bisa aku berikan untuk membantumu?" —Darren
"Berikan saja tubuhmu itu, kepadaku!" —Adara
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Tiga Puluh Tiga
Hari ini langit tampak terang, tetapi hati Sheila gelap. Dia melangkah dengan langkah yang berat, setiap detak jantungnya seakan terhenti di antara bayangan ketakutan. Sejak hari itu — ketika semua berita tentangnya tersebar dan menuduhnya mencemarkan nama baik Darren, mantan suaminya — hidupnya tak lagi sama. Sheila merasa semuanya berantakan, dunia ini seperti berputar tanpa arah, dan dirinya hanya bisa terjebak di tengah kepungan duka.
Apa lagi laki-laki yang dia harapkan akan dapat membantunya, ternyata mengabaikan dirinya. Galang sama sekali tak peduli dengan apa yang akan terjadi padanya.
Hari ini dia dan sahabatnya Luna janjian bertemu di salah satu kafe. Sheila mengatakan semua masalah yang sedang dia hadapi saat ini.
“Hei, Sheila! Jangan terlalu dipikirkan!” suara temannya, Luna, terdengar sambil berusaha menarik Sheila kembali dari lamunan suramnya.
“Apa kamu tahu, Luna? Darren bisa membuat diriku masuk penjara. Dia punya semua bukti untuk menghancurkan hidupku!” Sheila mengangkat suaranya, kesedihan bercampur dengan kemarahan menggema di antara mereka.
Luna memberikan tatapan empati, “Tapi kamu tidak bisa menyerah. Kita harus berjuang, Sheila. Ini bukan akhir untukmu. Cobalah kau datangi lagi Darren dan minta maaf padanya."
“Berjuang? Aku tidak melihat ada jalan keluar. Hanya ada penjara menanti'ku, karena Darren tak mau memaafkan aku dan Adara juga tak mau membantu.” Dia menatap jalanan kota yang sibuk, pikirannya jauh melayang ke masa lalu saat semuanya terasa lebih sederhana.
"Cobalah dulu. Siapa tau dia berubah pikiran. Kau katakan saja kalau kau mau melakukan apa saja asal dia mau memaafkan'mu. Dan jangan lupa minta kasihani karena kamu sedang hamil. Tapi, kamu seharusnya tetap melakukan konferensi pers, kamu harus mengakui semua kesalahanmu."
"Baiklah, Luna. Akan aku pikirkan semua saranmu." Setelah berbincang cukup lama, Luna akhirnya pamit. Begitu juga Sheila. Dia keluar dari kafe dan berjalan menuju ke jalan raya.
Kehamilannya dengan Galang, lelaki yang dia cintai saat ini, seharusnya menjadi alasan baginya untuk bahagia, tetapi tekanan mental itu membebaninya lebih dari yang bisa ia rasakan. Apa lagi Galang yang seolah mencampakkannya.
Dia mulai menyeberangi jalan saat lampu merah menyala, tetapi perhatiannya teralihkan. Pikiran tentang Darren dan ancamannya mengguncang sisi rasionalnya. “Seandainya aku bisa kembali ke masa lalu ...," gumamnya pelan.
Namun, langkahnya terhenti ketika sebuah mobil melaju kencang menuju arahnya. Sebelum sempat berteriak, semuanya menjadi gelap.
***
Darren menerima telepon itu di tengah kesibukannya di kantor agensinya. Suaranya tegas dan penuh perasaan. “Yang benar saja. Kecelakaan? Sheila?” Dia tertegun mendengar berita tidak terduga tentang mantan istrinya itu. Meski mereka berpisah dengan cara yang pahit, melihat dia terlibat kecelakaan menimbulkan rasa khawatir yang mendalam dalam dirinya.
“Ya, Dokter,” suara Darren melanjutkan. “Jadi, Sheila saat ini berada di rumah sakit A. Dan dia pingsan, mengalami pendarahan, dan ... bayinya, sepertinya tidak bisa diselamatkan?” tanya Darren setelah mendengar keterangan dari dokter tersebut.
Sejenak, seluruh dunia di sekeliling Darren seakan melambat. Perasaannya bercampur aduk. Dia merasa marah, tetapi di tengah kemarahan itu, ada rasa penyesalan yang tak terdefinisi. “Aku akan segera ke sana,” katanya dan memutuskan sambungan telepon.
Pria itu bergegas meninggalkan kantor dan mengendarai mobilnya dengan cepat, setiap detik menegangkan baginya. Dia memikirkan bagaimana betapa cepatnya nasib seseorang berubah. Bagaimana mungkin semua ini terjadi ketika mereka dulu pernah berbagi cinta. Semua kenangan akan tawa, air mata, dan pertengkaran kembali terbayang di benak.
Di dalam hati, Darren berusaha untuk mengekang emosinya. Meskipun kemarahan pada Sheila masih membekas, rasa kemanusiaannya sebagai mantan suami tidak bisa dipungkiri. Adara, sahabat Sheila yang memang sangat dekat, ditelepon untuk menemaninya.
“Adara, tolong temani aku ke rumah sakit. Sheila mengalami kecelakaan,” Darren berkata singkat ketika Adara menjawab teleponnya.
“Aku segera ke sana, Kak Darren. Tunggu sebentar, ya?” jawab Adara dengan nada khawatir.
Satu jam kemudian, Darren tiba di rumah sakit yang dipenuhi lampu berkelap-kelip dan suara riuh. Rasa cemas dan marahnya berbaur. Dia lalu bertanya pada petugas resepsionis dan setelah mendapat kepastian dia akhirnya menunggu di ruang tunggu. Beberapa saat kemudian Adara muncul, wajahnya terlihat cemas dan tertekan. Dia datang dengan di antar supir.
“Bagaimana keadaan Sheila, Kak?” Adara bertanya dengan kuatir. Walau Sheila telah sangat menyakiti hatinya, dia tetap mengkuatirkan wanita itu.
“Belum ada kabar. Masih dalam penanganan dokter. Tapi aku dapat kabar buruk tentang bayinya,” jawab Darren, masih memandang ke arah pintu ruang perawatan.
Adara menyentuh bahunya Darren dengan lembut. “Kamu harus kuat, Kak. Ini bukan saatnya untuk saling menyalahkan,” ujar Adara lembut. Tadi Darren mengatakan jika dia merasa sangat bersalah atas kecelakaan yang dialami Sheila.
Darren juga merasa bersalah karena mengancam mantan istrinya itu. Namun, tujuannya hanya untuk membuat Sheila menjadi jera.
Beberapa saat kemudian seorang dokter keluar dari ruangan operasi. Darren dan Adara langsung menghampirinya.
“Apakah Anda keluarga dari pasien Sheila?” dokter bertanya ketika Darren dan Adara berada dihadapannya.
“Ya, Dok," jawabnya dengan tegas.
“Bu Sheila mengalami kecelakaan serius. Kami sudah berusaha sekuat tenaga, tetapi … bayinya tidak dapat diselamatkan,” kata dokter itu.
Darren merasakan dunia seakan runtuh di hadapannya. Dalam sekejap, kemarahan dan kebencian yang dia rasakan terhadap Sheila lenyap. Dia hanya bisa terdiam, wajahnya tertegun.
“Seharusnya,” gumam Darren. “Seharusnya ini tidak terjadi. Dia seharusnya tidak mengalami ini."
"Semua sudah terjadi dan tak usah disesali, Kak. Siapa tau dengan kejadian ini, Sheila akan berubah lebih baik."
"Semoga ...," balas Darren.
Darren berjalan pelan menuju ruang perawatan. Saat ini Sheila sudah dipindahkan ke ruang perawatan. Ketika mereka berada di hadapan pintu, Darren berusaha memberanikan diri untuk melangkah. Ternyata, tanpa sengaja, semua rasa sakit dan kemarahan sedikit demi sedikit bergeser menjadi rasa empati yang dalam.
Pedih melihat Sheila yang terbaring tak sadarkan diri, dengan wajah pucat dan kembali teringat betapa kemarin-kemarin dia pernah mencintainya. Mungkin semua yang terjadi adalah akibat kesalahannya juga.
Sepersekian detik, Sheila membuka matanya. Tatapannya kosong, wajahnya penuh luka, dan saat melihat Darren, senyuman tipis tersungging di bibirnya, meskipun itu hanya sekejap.
“Darren …,” suara Sheila lirih, dan matanya mulai berkaca-kaca. “Maafkan aku .…”
Tapi tak ada jawaban dari Darren. Dia tertahan oleh emosi yang membenamkan hatinya. Dia hanya bisa menatap Sheila, yang kini terbaring lemah, tanpa daya.
“Darren…” suara Sheila sedikit bergetar. “Aku tidak ingin kau membenciku dan melaporkan aku ke polisi.”
Dengan pelan, Darren melangkah maju, “Sheila, nanti saja itu kita bicarakan! Sekarang yang terpenting kamu harus sembuh dulu.”
Sheila tampak mengangguk setuju. Semua karena dia masih merasakan sakit. Dia sepertinya belum menyadari jika telah kehilangan buah hatinya.
Adara berdiri di belakang, melihat obrolan mereka. Di dalam hatinya, dia berharap bahwa semua ini meski pahit, bisa menjadi awal dari sebuah perubahan. Semua berawal dari penerimaan, meskipun penuh dengan luka yang harus dijalani.
“Darren,” suara Sheila terhenti. "Aku menyesal karena telah mengkhianati kamu. Aku mohon maaf," ucap Sheila pelan. Rasa sakit di tubuhnya tak dia hiraukan. Sheila teringat apa yang Luna katakan, jika dia harus bisa membuat Darren berubah pikiran dan membatalkan niatnya melapor ke kantor polisi.
banyak kok artis yang pake narkoboy...
bahkan karir mereka aman2 aja
skrng cm bsa mnyesal kn???mga ga trulang d msa dpn....
kalo dikampungku orang galau patah hari gak bisa fokus sulit tidur datangnya ke psikolog atau ustadz atau tuan guru atau pendeta utk mendapatkan pencerahan bukan ke club miaras dan obat terlarang
entah kalo Adara lemah itu