Kartika Sari, di tinggal suaminya sejak pernikahannya yang baru berjalan enam bulan. Terlebih, saat itu Kartika baru mengandung tiga bulan.
Alasan ekonomi yang membuat Kartika merelakan suaminya pergi. Namun, tidak disangka bagi Kartika bahwa suaminya tidak pernah memberi kabar.
Hari berganti bulan, bahkan tahun. Angga tak kunjung pulang.
Kartika harus membesarkan anaknya seorang diri, walaupun dalam keadaan sulit. Hingga Jenita berumur enam tahun Kartika mencari Angga suaminya di rantau orang. Namun kenyataannya suaminya telah menikah lagi.
Akan kah Kartika mempertahankan rumah tangganya? atau justeru sebaliknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Buna Seta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32
Disalah satu pasar tradisional, genangan air dibeberapa tempat, bekas pemotongan Ayam yang menggenang, dan menimbulkan bau yang tidak sedap. Namun tidak menyurutkan niat Kartika untuk berjihat di jalan Allah, demi keluarga kecilnya. Ia membeli bahan-bahan kue untuk berjualan esok hari.
"Bang, ayam pilet nya satu kg, di cincang halus, ya." ucapnya sambil mengamati Ayam yang baru dipotong masih tampak segar.
"Baik Mbak" tidak banyak bicara si Abang mencincang Ayam hingga halus.
Selesai membayar Ayam, Kartika menuju penjual daging yang tidak jauh dari tempat itu. Ia membeli daging cincang untuk isian roti goreng.
"****. Astagfirrullah..." Kartika menunduk mengamati celananya yang terkena air kotor bekas ikan baunya jangan ditanya. Saat ini Kartika melintas di tempat penjual ikan. Walaupun tidak membeli, ia ingin mencari jalan pintas agar cepat menuju pedagang sayur.
"Maaf, Maaf. Saya tidak sengaja," ternyata seorang ibu sesama pembeli yang berjalan tidak hati-hati.
"Ya sudah Bu, nggak apa-apa," sahut Kartika. Kartika kemudian sampai ditempat sayuran. Ia segera memilih kentang, rencana besok akan membuat kue sus.
"Mbak, kita ketemu lagi" Ibu yang menginjak genangan air tadi, tiba-tiba berdiri di sampingnya.
"Eh Ibu" Kartika tersenyum.
"Belanjaan kamu banyak, mau ada ecara?" tanya Ibu itu.
"Saya jualan kue Bu" jawabnya tersenyum ramah.
"Oh sama kalau begitu, tapi saya tidak produksi sendiri, hanya menjual saja dikios saya, jika kamu ingin bergabung boleh kok" kata Ibu itu.
"Benarkah?" Kartika menganga.
Ibu itu mengangguk. "Saya kasih nomer handphone ya, jika kamu serius... saya serlok. Mbak, bisa mengirim kapan saja, toko kue kami buka jam tujuh pagi" tutur Ibu itu.
"Biasanya yang menjaga Toko kue saya anak buah. Mbak bilang aja sudah seizin saya. "Oh kita belum kenalan, nama saya Huri."
"Saya Kartika Bu Huri" mereka tukar nomor telepon, dan saling menyimpan.
"Okay... Jika ada perubahan hubungi kami." Bu Huri memasukkan handphone kedalam tas.
"Siap Bu," Kartika bersemangat.
"Toko Ibu biasanya menjual kue harga berapa?" tanya Kartika. Kali ini mereka duduk di kursi plastik, yang Kartika pinjam dari pedagang.
"Kalau kue yang spesial, lima ribuan Mbak"
Kartika mengangguk paham. "Baik Bu, dari saya 3500 terserah Ibu mau jual berapa."
"Okay... deal." kata Ibu kemudian Ibu pamit pulang duluan.
Kartika memandang langkah gontai Ibu paruh baya hingga tidak terlihat. Ia melihat celananya yang kotor, karena cipratan air comberan. Ternyata berkat air yang bau bentek ini membawa berkah.
Kartika sadar, Allah memberi rezeki hamba Nya dengan banyak cara. Contohnya, karena kejadian yang mungkin orang menganggapnya sial, justeru mendatangkan rezeki. Kuncinya harus sabar dan ikhlas, jika tadi menanggapinya dengan marah pasti Ibu tadi tidak akan menawarkan kerja sama.
Kartika kembali belanja, kali ini tinggal membeli bahan-bahan kering. Setelah mendapatkan semuanya, Kartika berjalan tampak miring-miring karena berat membawa tentengan. Ia meletakkan dua kantong sisi kiri dan kanan sejenak, di lantai pasar. Menggerak-gerakkan tangan karena terasa pegal.
Kartika terkejut karena dua kantongnya ada yang mengangkat, pria itu berjalan cepat membawanya keluar.
"Hee... kembalikan belanjaan saya" Kartika mengejar ngos ngosan setelah agak dekat Kartika berhenti.
Karena yang membawa belanjaan ternyata Rangga. Rangga melambaikan tangan mengukir senyum. Lalu membuka bagasi memasukan belanjaan.
Setelah selesai Angga bergegas mendekati Kartika. "Ayo naik, kok kamu mematung disitu?" meraih lembut tangan Kartika lalu menariknya perlahan.
"Aku nggak mau" Kartika berkeras.
"Kenapa?" Angga menatap penuh harap.
"Lihat, celanaku bau, tadi kena genangan air" kilah Kartika.
Tidak kehabisan akal Angga mengangkat tubuh langsing Kartika, membawanya ke mobil. Kartika menepuk-nepuk dada suaminya.
Angga menurunkan Kartika di dekat pintu mobil, lalu membukanya. "Ayo naik" Angga mengusap wajah istrinya gemas karena selalu memberikan penolakkan.
"Kan sudah aku bilang Mas, celanaku bau."
"Jangan alesan, nanti anak kita menunggu kelamaan loh." Jeni adalah jembatan paling kokoh bagi Rangga.
"Iya, iya. Aku naik" ucapnya cemberut. Jika sudah alasan Jeni Kartika pun menurut.
Kartika masuk kedalam mobil. Kali ini duduk didepan tidak ada lagi penolakan.
"Memang kenapa celanamu kotor?" tanya Angga seraya menyalakan mobil.
"Namanya juga dipasar tradisional, ya begitulah, kalau orang kaya tidak akan merasakan ini." sindirnya.
Membuat Angga tersentil hatinya. Mobil pun berjalan sedang, hingga beberapa menit keduanya terdiam. Angga sudah merangkai kata tiap kali ingin bertemu dengan Kartika, tetapi begitu bertemu lidahnya kelu tiap kali ingin berucap.
Masih seperti hari-hari sebelumnya Kartika tampak asing dengan suaminya. Walaupun sudah berulang kali Angga ingin memperbaiki tidak semudah itu bagi Kartika. Betapa tidak? ada Diana yang menjadi tembok pemisah di antara keduanya.
"Kamu jualan kue ya?" Angga memecah kesunyian.
"Ya" sahutnya masih tetap menatap kesamping menatap jalanan.
"Tik, menurut aku kamu tidak usah jualan, aku bisa menghidupi kalian, ayo dong buka hatimu." Angga menoleh kesamping sekilah menatap Kartika yang menempelkan pipi di kaca berbantal telapak tangan tetap diam tidak menyahut.
Andai kamu tau yang aku pikir Mas, aku ingin kamu bersikap tegas. Memeilih aku atau Diana. Jika kamu memilih aku. Aku ingin kamu bekerja bukan di kantor istrimu, kerja apa saja walaupun gaji kecil, yang penting halal cukup untuk menghidupi aku dan anakmu. Tetapi aku hanya bisa bermimpi.
"Tik" Angga mengulangi.
"Tidak ada jawaban lain Mas, sudah berapa kali aku bilang. Aku tidak ingin dimadu." tegas Kartika.
"Tidakkah kamu ingat sedikit... saja, tentang komitmen kita dulu. Tidak akan pernah ada orang ketiga di antara kita. Terapi, semua itu omong kosong!" Kartika mulai ingat ketika janji Angga dulu mulai tersulut emosinya.
"Tidak seperti yang kamu kira Tik, hubungan kami tidak seindah yang kamu pikirkan." Angga menarik napas sesak.
"Hahaha..." Kartika tertawa meledek. "Boleh saja Mas, bicara seribu kali padaku, tetap saja dia itu istrimu yang selalu Mas tiduri kan? iyakan Mas?!" Kartika menyeka air mata dengan punggung tangan. "Mas pikir aku kuat membayangkan itu setiap hari?!"
"Jangankan dirumah, di kantor pabrik saja, kalian melakukan itu. Mas pikir, aku nggak tahu?!" Tubuh Kartika bergetar hebat mengingat suami yang dicintainya berhubungan badan segitu menikmatinya, dan dengan mudahnya bilang tidak seperti yang dibayangkan dan tidak mencintai Diana.
Angga menoleh menatap Kartika yang sedang sesegukan. Segitu terlukanya hatinya? Angga menepikan mobil.
"Maaf" Angga tidak bisa berkata-kata. Tanganya menggenggam tangan Kartika yang mencengkeram jok.
Kartika menarik tanganya kasar. "Mudah saja Mas bilang maaf, seribu kali, tapi Mas sudah melukai aku, tidak hanya menyakiti aku. Mengingkari janji yang sudah Mas ucap dihadapan Allah."
"Masalah aku berjualan, Mas tidak usah sok perduli dan perhatian. Selama ini Mas kemana? hahh?!" Kartika menoleh Angga meluapkan kemarahannya yang sudah ia tahan selama ini kembali sesegukan.
"Tik" Angga menatap sendu wanita yang dicintainya itu. Ingin rasanya memeluk dan menenangkan tetapi tidak ada keberanian.
Angga tidak berucap kembali menjalankan menjalankan mobilnya menatap kedepan.
sedih banget, sabar y Tika