NovelToon NovelToon
Suamiku Mencintai Adikku

Suamiku Mencintai Adikku

Status: tamat
Genre:Romantis / Tamat / CEO
Popularitas:19.6M
Nilai: 4.9
Nama Author: IkeFrenhas

Hanna Mahira adalah seorang wanita berumur 27 tahun. Dia bekerja sebagai karyawan staff keuangan pada sebuah cabang dari perusahaan ternama. Anna panggilannya, menjadi tulang punggung keluarga. Setelah ayahnya meninggal dunia, semua kebutuhan hidup ada di pundaknya.
Dia memiliki adik perempuan yang sekolah dengan biaya yang di tanggungnya.

Anna mencintai atasannya secara diam-diam. Siapa sangka jika sang atasan mengajaknya menikah. Anna seperti mendapatkan keberuntungan, tentu saja dia langsung menerima lamaran sang bos tersebut.

Namun, di hari pertamanya menjadi seorang istri dari seorang David Arion Syahreza membawanya pada lubang kedukaan.
Sebab di hari pertamanya menjadi seorang istri terungkap fakta yang amat menyakitkan. Bahwa David sang suami yang sangat Anna cintai mengatakan bahwa pernikahan ini adalah kesalahan terbesar yang dia lakukan.

Ada apa sebenarnya?
Anna berusaha menyingkap tabir rahasia David dan berusaha tegar atas pernikahan tersebut.

Baca kisahnya dan temani Anna mengungkap rahasia besar David

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IkeFrenhas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab. 32

Mobil kembali melaju dengan santai. Aku mulai gelisah karena merasa tidak nyaman dengan pak Adrian. Apalagi setelah pertanyaannya tadi. Rasanya, waktuku sedang diburu.

"Kita makan dulu, ya? Belum makan, kan?" Pak Adrian bertanya dengan suara pelan. Mungkin karena keheningan dan kegelisahan di hati ini, sehingga suaranya seolah menghantam gendang telingaku.

"Tapi ... kasihan ibu di rumah." jawabku ragu, mencoba mencari alasan agar segera sampai rumah.

"Oh, yaudah kalau gitu. Langsung aku antar pulang." Aku bernapas lega saat pak Adrian menuruti penolakan halusku.

Namun, saat mobil berhenti di lampu merah terdengar suara yang seketika membuatku merasa bersalah pada lelaki di sampingku ini.

Apa dia belum makan? Cacing-cacing di perutnya berontak ingin diisi.

"Bapak belum makan, ya?" tanyaku khawatir. Kupindai wajahnya dari samping, lelaki itu tidak langsung merespon tanyaku.

"Pak ...." Aku memanggilnya pelan.

"Hmmm." Sekilas pak Adrian menoleh. Tatapannya terlihat sendu.

"Bapak belum makan?" tanyaku lagi. Aku benar-benar khawatir sekarang.

Mengingat semua kebaikan dan ketulusan lelaki itu, pantaskah aku membalasnya dengan cara yang tak baik?

Ya Tuhan! Apa yang telah aku lakukan?

"Kita makan dulu ya ... Pak." Aku berkata sungguh-sungguh. Masih menatapnya lekat.

"Kita langsung pulang saja. Maaf telah membuatmu tidak nyaman." Serasa ada yang mencubit hatiku. Mendengar suaranya yang lemah seperti putus asa begini mengapa ada yang sakit di dada ini?

Aku lebih senang mendengar canda tawanya, godaannya. Apakah pak Adrian menyerah padaku?

"Pak ...." Aku memanggilnya lebih pada menuntut. Aku tidak ingin dia seperti ini. Maafkan aku Pak.

Pak Adrian menghela napas panjang. Tanpa membalas perkataanku, dia segera melajukan mobilnya lebih kencang.

Sekarang mobil telah sampai di lorong rumah. Mobil berhenti. Apa pak Adrian akan menurunkanku di sini?

"Pak ...." Aku memanggilnya lagi. Air mataku telah menggenang di kedua bola mata. Ternyata, aku tidak tahan jika pak Adrian bersikap dingin seperti ini. Aku sudah terbiasa menerima perlakuan hangat darinya.

Pak, tolong jangan begini.

"Turunlah, udah sampai ... aku mau langsung jalan." Suaranya datar, sikapnya dingin seperti gunung es.

Luruh sudah air mataku. Aku benar-benar tidak tahan menerima sikapnya.

Suasana malam yang dingin menambah suasana di sini semakin mencekam.

"Maafkan saya. Saya tidak bermaksud menyakiti Bapak. Hanya saja, saya masih merasa takut." Aku sesunggukan menangis.

"Aku tahu. Seharusnya aku tidak datang hanya untuk bertanya kesiapanmu menerimaku. Mungkin karena memang aku belum pantas untukmu." Suaranya terdengar datar, tapi tegas.

"Tidak ... bukan itu. Sa-saya yang merasa tidak pantas untuk Pak Adrian. Saya merasa rendah diri. Setelah semua yang telah terjadi, saya masih ta-kut." Pecah sudah air matakum Aku tidak bisa menahan lagi

Satu hal yang aku sadari. Pada lelaki inilah aku mampu menumpahkan segala resahku. Pada lelaki inilah aku mampu mengeluarkan semua beban hatiku.

"Maafkan aku, Ann." Pak Adrian menenggelamkan kepalaku dalam dadanya. Perasaan hangat menjalar dalam dadaku.

Lama aku menangis sampai membasahi baju yang pak Adrian kenakan. Saat tangisanku mereda, aku malu untuk mengangkat kepala sekadar bertatapan dengannya.

"Sudah belum?" tanyanya sembari tertawa.

Aku menggeleng. "Saya malu, Pak."

"Nanti kita kelamaan di sini, aku sudah sangat lapar. Dari siang belum makan," akunya.

Serta-merta aku menarik kepala, memandang lekat wajah lelaki itu. "Bapak belum makan dari siang?" tanyaku meyakinkan.

Pak Adrian mengangguk. "Setelah meeting, aku langsung ke sini. Waktu ke rumahmu, kata ibu kamu lagi ada kerjaan di mal itu. Jadi aku langsung ke sana."

Mendengar pengakuannya, aku menangis lagi. Betapa egoisnya diriku, tidak memperhatikannya sama sekali. Padahal pak Adrian bela belain ke sini untuk menemuiku.

"Sudah jangan nangis, cengeng ... ih." Pak Adrian mengusap air mataku yang mengalir di pipi.

"Sekarang pulang ya, mau diantar sampai rumah?" tanyanya pelan.

Aku mengangguk. "Bapak nanti makan di rumah saja ya, saya masakin."

"Wah serius, kalau gitu ... ayoo."

Pak Adrian melepas tangkupan tangannya di pipiku. Lantas melajukan mobilnya menuju rumahku.

"Sepertinya ada tamu." Pak Adrian memajukan dagunya, menunjuk ke depan.

Ah, mobil Bang David terparkir manis di halaman.

"Cuekin aja, Pak. Sering datang ke rumah, kok." Aku berkata datar.

"Oh ya?" Pak Adrian membelalakkan mata, seperti kaget.

Aku mengangguk yakin.

"Kamu enggak apa-apa?" tanyanya mencoba menelisik. Menatap mataku lekat, mencari jawaban sebuah kejujuran sekaligus harapan, mungkin.

"Ya enggak apa-apa. Emang kenapa, Pak?" aku balik bertanya padanya.

Kami masih dalam ikatan pernikahan aja, dia sering mampir. Apalagi sekarang saat kami sudah tidak ada ikatan apapun.

Entahlah, hatiku sudah kebal atau mungkin perasaan itu sudah musnah.

Cinta yang tak berbalas, bagaimana dia akan bertahan? Pergi adalah keputusan terbaik. Dan biarkan hati menemukan cinta yang pantas untuk dimiliki.

"Ayo, Pak." Aku mengajak pak Adrian turun. Kami berjalan bersisian menuju ruang tamu.

"Eh, Kak Anna udah pulang. Sama siapa lagi, Kak?" Pertanyaan Anna menyambut kami di pintu masuk.

Apa maksudnya dengan siapa lagi? Memangnya aku pernah dengan siapa ke rumah?

Aku memilih tidak menanggapi ucapannya. Menoleh pak Adrian yang sepertinya tengah menatap seseorang di sana.

Benar saja, pak Adrian dan bang David tengah saling menatap tajam. Andai aku berdiri di antara keduanya, bakalan bisa langsung mati terhunus benda tak kasat mata yang saling mereka lemparkan.

Dua lelaki ini sangat menyeramkan. Aku bergidik ngeri membayangkan mereka berdua.

"Ayo, Pak! Masuk." Aku menoleh, memegang tangan pak Adrian. Menahannya agar tidak terpancing sesuatu yang mungkin saja akan terjadi.

Pak Adrian menoleh, tatapan tajamnya seketika berubah hangat. Mengangguk lalu tersenyum.

"Duduk di kursi dekat dapur saja. Saya siapkan makanannya. Kalau di sini gak nyaman." Aku berucap lirih.

"Oh, jadi kalian mau pamer sama kami." Bang David menimpali ucapanku dengan nada ketus.

Apa-apaan lelaki itu. Norak. Aku menarik tangan pak Adrian saat mulutnya terbuka, seperti ingin menjawab ucapannya. Aku menggeleng sebagai isyarat tidak usah meladeni mereka.

Kami pun berlalu meninggalkan mereka menuju dapur.

"Ibu, Anna pulang."

"Eh, udah pulang Ann." Aku mencium punggung tangan keriput ini. Tangan yang senantiasa mengelus kepalaku memberikan ketenangan.

"Iya, tadi ketemu pak Adrian. Jadi Anna ajak mampir, Bu. Belum makan, Anna masak dulu, ya ...."

Pak Adrian berdiri menyalami ibuku. Basa-basi sebentar. Kemudian ibu kembali ke kamar. Capek katanya.

Sembari aku menyiapkan bahan masakan, pak Adrian duduk di kursi meja dapur. Matanya lekat menatapku, memperhatikan setiap gerakan ku.

Sesekali aku menoleh padanya, tersenyum pada lelaki yang menatap dengan hangat. Dia membalas tersenyum.

Tidak sampai satu jam, menu sederhana siap aku hidangkan.

Kami makan dalam diam. Ternyata pak Adrian kalau makan enggak berisik. Aku senang karena dia menghabiskan masakanku bahkan nambah.

"Makasih, Anna. Masakanmu enak. Aku suka." Pujian sederhana darinya membuat hatiku berbunga.

Semburat merah terbit di kedua pipiku. Baru kali ini aku merasa dihargai oleh seorang lelaki.

Terima kasih, Pak.

Sejenak kami saling bertatapan, menyelami manik mata yang hanya ada kami di dalamnya. Namun, tiba-tiba pandangan kami menoleh pada suara yang membuyarkan moment romantis ini.

"Kak, mau juga dong, makan. Belum makan nih. Laper banget ...." Alina datang.

"Kenapa belum makan, Dek?" aku mengernyit. Menatap heran padanya.

Bisa-bisanya mereka belum makan. Ngapain aja dari tadi dalam rumah. Aku menggeleng, merasa konyol dengan kedua manusia ini. Bang David pasti enggak mau makan sembarangan di luar, dia juga sangat pemilih soal makanan.

"Bang David enggak mau makan di luar. Capek katanya. Aku bingung mau masak apa?" Alina menjawab manja.

Aku menghembuskan napas kasar. Kalau mereka berdua jadi menikah, aku merasa tidak khawatir, karena di rumah Bang David ada pembantu yang siap memasak semua makanan kesukaannya. Jadi Alina tidak perlu repot.

Alina memang cenderung malas ke dapur. Berbeda denganku yang setiap waktu membantu ibu.

"Ya udah, makanlah. Kami udah selesai, kok."

Alina tersenyum lebar, lalu kembali ke ruang tamu memanggil bang David.

Aku dan pak Adrian berdiri memberi kesempatan kepada mereka untuk makan. Untung saja aku masak dengan porsi lebih tadi.

1
Dewi Nurani
segala hormon jadi alasan , dicerita ini orang² nya pada lemah semua , gak punya pendirian gampang kerayu
sungguh menyebalkan
Dewi Nurani
anna terlalu manjain s alina makanya jadi kurang ajar , adik itu dididik bukan dibiarkan semaunya , itu baru namanya sayang
Dewi Nurani
si anna nya cengeng tingkat tinggi sungguh menyebalkan , gak ada tangguh²nya jadi perempuan gak ada jaga harga dirinya takut banget ditinggalin , jaga gengsi dong
Dewi Nurani
si anna cengeng dikit² nangis , tegas dong sama adiknya
terus adiknya juga kenapa gak sopan gitu , rasanya gak mungkin ada yg gitu amat , gak ada segen² nya sama kaka sendiri
Rini Haryati
bagus
Firgi Septia
buat apa menyayangi adik pelakor macam gitu Alina gimana nasibmu begitu kalau kamu jadi orang yg bodoh /Frown//Frown/
Firgi Septia
bodoh Anna buat apa minta maaf aduh /Frown//Frown/
Wiwit
ga jelas ceritanya
Rose 19
David mau jadi duri di antara anda sama adrian
Rose 19
selsaikan hubunganmu sama David, trus pergi yang jauh sama sampai luka di hatimu sembuh.fdan buktikan pda mereka klo kmu wanita yg kuat dan hebat.
Rose 19
sakit ya an, klo di bohongin org yang kita sayang.
Fitrian Delli
dasar anaknya saja bodoh, mau d bohongi
Fitrian Delli
minta cerai saja bodoh
Elin Handoko
bnr membosankan
Ike Frenhas: 😁😁😁

terima kasih udah mau mampir baca yaa
total 1 replies
Fazira Fauziah
ceritanya bagian ini keren kak
semangat
Ike Frenhas: terima kasih sudah mampir baca ya, Kak
total 1 replies
Fazira Fauziah
ka ceritanya bagus tapi terlalu muter muter yah ka gitu lagi gitu lagi kelakuannya
Lienda nasution
Adrian ini apa tidak punya kelg thor
Lienda nasution
kok aq berharap ana meninggalkan Adrian walau cuma sebentar sebagai hukuman karena bersikap terlalu lunak sama Alina sang perempuan jalang itu biar tau rasa itu Adrian
Lienda nasution
ceritanya bagus 👍👍👍👍🤭
Elis Rosyidah
lanjut ka
Ike Frenhas: sudah tamat. baca cerita yang lain yaa. banyak yang udah tamat. hehe
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!